Usus Buntu

Hari ini, setahun yang lalu...

10h00
Ruang tunggu dokter.

Setelah sakit di perut tak tertahan lagi, setelah suami menyatakan ambil cuti menjaga anak kami, saya berangkat berkonsultasi. Dokter langganan, atau tepatnya sekretaris dokter langganan saya paksa untuk menerima saya pagi.

Dokter memanggil saya masuk 30 menit dari janji. Standar. Langsung saya sampaikan keluhan. Langsung disuruhnya saya naik ke kasur pemeriksaan.

Usus buntu. Atau mungkin batu empedu?

Melihat sensitifnya perut saya, dokter menyuruh saya tes darah, tes urine, dan USG. Siang itu juga! Di depan saya, dia mencoba menelepon rekannya ahli USG. Tanpa hasil. Saya disarankan untuk ke UGD di rumah sakit. Saya bilang, konsultasi dulu dengan suami, untuk membahas penjagaan anak kami. Dokter sepakat akan menelepon saya setengah jam kemudian untuk memastikan...


11h10
Sampai rumah.

Suami bilang oke untuk memperpanjang cutinya sampai sore. Saya menunggu telepon bu dokter sambil baringan. Tak terasa ketiduran. Saat bangun kesakitan, saya telepon sekretaris yang menjawab bahwa dokter akan menelepon saya segera. Akhirnya…

Saya panggil uber, dan berangkatlah saya ke rumah sakit di bawah guyuran hujan. Sendirian...


13h09

Saya tercatat di UGD Rumah Sakit Cannes. Ukur suhu badan dan tekanan darah, lalu menunggu di ruang tunggu.

Setengah jam saya menunggu. Melihat ambulan dan mobil pompier (pemadam kebakaran) yang berdatangan membawa pasien. Mungkin saya tak terlihat urgent. Toh saya masih bisa datang sendiri ke UGD...


14h00

Saya dipanggil. Diajak jalan menyusuri lorong-lorong panjang, beriringan dengan seorang perawat yang mendorong sebuah tempat tidur. Sampai di sebuah ruangan. Saya disuruh berganti pakaian dengan blus rumah sakit. Disuruhnya saya naik ke tempat tidur sambil menunggu dokter yang akan memeriksa.

Dokter datang tak berapa lama. Memeriksa sambil bertanya-tanya. Bertanya-tanya dan tak lupa mencatatnya. Seorang mahasiswi keperawatan menyusulnya. Dia harus mengambil darah untuk diperiksa dan memasang infus.

Calon perawat agak panik. Pergelangan tangan kanan saya jadi korbannya. Biru lebam tak hilang hingga lebih dari 2 minggu sesudahnya. Padahal pergelangan tangan kiri, yang sukses dipasanginya infus, hanya berbekas lubang selang saja…

Selesai pengambilan darah, katanya saya harus menunggu 1,5 jam untuk mengetahui hasilnya. Saya dibawa ke hall besar, yang sudah penuh dengan deretan pasien-pasien UGD lainnya. Beruntung saya ditempatkan di pojok. Rasanya tak mampu saya melayani perbincangan dengan pasien lain yang rata-rata seusia eyang saya itu…

Pasien tepat sebelah saya sih tak banyak bicara. Yang lain? Waaahhh… Mengeluh tak ada hentinya. Tapi wajar saja. Saya dengar, ada di antara mereka yang sudah menunggu sejak jam 9 pagi. Artinya, sudah 6 jam dia di bangsal tanpa kejelasan nasib!...

Nenek di sebelah saya diambil pergi. Dia harus opname. Jadi ditempatkan di kamar rawat inap. Tak lama tempatnya digantikan pasien lain. Nah, yang ini … sangat spesial!

Sejak datang (dan sampai saya meninggalkan bangsal kemudian), nenek ini tak ada hentinya bicara. Bicara tak jelas. Bahkan tak ada yang tahu, bahasa apa yang dia gunakan. Tentu makin lama makin terasa mengganggu. Dan jelas saja makin banyak omelan berdatangan!...

Uniknya, saat dokter datang menyampaikan hasil pemeriksaan, nenek ini menjawab dengan jelas dan lugas! Saya yang tadinya berpikir bahwa mungkin nenek ini sudah tidak sempurna daya pikirnya, jelas jadi terheran-heran. Dan saya tak sendiri! Terdengar dari komentar pasien-pasien lain. Uniknya lagi, begitu dokter pergi, rentetan kata2 tak jelas keluar lagi dari mulut si nenek!... Hadeuh!...


15h30

Akhirnya hasil tes darah keluar. Ada infeksi. Harus menjalani scanner untuk mengetahui dengan pasti penyebabnya.

Menunggu lagi…


17h00

Saya dibawa ke ruang scanner. Tak lama. Cepat saja. Perawat yang membawa saya kembali ke hall besar sangat baik. Dia menempatkan saya ke pojok yang berseberangan dari tempat saya sebelumnya. Lebih tenang, katanya…

Baru saya kembali mengeluarkan buku bacaan dari tas, seorang dokter datang menyatakan bahwa saya harus operasi saat itu juga! Dia bertanya apakah ada yang menunggu saya di ruang tunggu UGD, yang saya jawab tidak, sambil terheran-heran apakah mungkin ada yang benar-benar menunggu selama 5 jam di ruang tunggu?...

Saya dibawa ke sebuah ruangan untuk bersiap mengenakan pakaian operasi. Seorang perawat bertanya apakah ada yang bisa dipanggil datang untuk mengurus barang-barang saya. Saya bertanya balik, kalau tidak ada bagaimana? Karena memang tak mungkin suami saya menyusul ke rumah sakit dengan segera. Katanya, barang-barang bisa dititipkan di loker. Saya meminta solusi itu…


18h00

Dokter yang akan mengoperasi saya datang memperkenalkan diri. Namun dia bilang kalau mungkin saya harus ditransfer ke rumah sakit lain karena tidak ada ruang operasi yang bebas saat ini. Kondisi saya terlalu parah untuk menunggu keesokan harinya. Itu yang saya tangkap. Saya tak yakin kalau benar-benar mengerti...

Perawat lagi-lagi menanyakan apakah ada yang bisa datang mengurus barang-barang saya. Beruntung saya memiliki Laïla, seorang sahabat yang bekerja sebagai perawat di rumah sakit itu. Saya telepon Laïla, apakah dia bekerja malam itu. Saya tak mau juga merepotkannya. Ternyata dia malah sudah dalam perjalanan menuju ruang saya bersiap dioperasi. Karena memang, selain ke suami, saya juga sms update berita selama di rumah sakit kepadanya…

Ada Laïla, saya jadi curhat. Bukan operasi yang saya takutkan, tapi bagaimana rumah tanpa saya? Saya sudah pesan ke suami tentang menempatkan anak saya yang biasa makan siang di rumah untuk bisa makan di kantin. Saya sudah mengirimkan nomor telepon tetangga yang bisa dimintai tolong untuk menjemput sekolah. Tapi tetap, tak bisa membayangkan meninggalkan rumah tanpa persiapan begitu…

Laïla menenangkan saya. Dia akan mengurus barang-barang saya. (Belakangan saya baru tahu kalau dia pp ke rumah saya untuk menyerahkan barang-barang ke suami saya, dan kemudian kembali lagi ke rumah sakit untuk jaga malam!) Mengingatkan kalau anak-anak saya sudah besar dan cukup mandiri. Mengingatkan kalau saya ada teman-teman yang bisa membantu kalau diperlukan… Menenangkan saya dengan meyakinkan bahwa dokter yang akan mengoperasi saya adalah salah satu yang terbaik di Cannes…

Dokter kembali datang. Saya bisa dioperasi di tempat. Uf! Saya tak bisa membayangkan bagaimana kalau saya harus dioperasi di luar Cannes…

Laïla menemani saya menuju ruang operasi. Menitipkan saya ke dokter bius yang dikenalnya baik, yang katanya juga salah satu yang terbaik di Cannes…


19h30

Itu yang saya lihat di jam dinding saat seorang perawat membebat kaki kanan saya. Laïla masih mengobrol santai dengan saya. Setelah itu saya kehilangan kesadaran...


Saya terbangun di sebuah ruangan. Pandangan saya kabur. Dokter bius terlihat samar-samar. Vous êtes réveillée? Sudah sadar? Begitu tanyanya. Saya jawab, je n’arrive pas. Saya tidak bisa. Saya sempat mendengar dia berkata, c’est normal. Lalu saya tenggelam lagi…

Saya dibawa menyusuri lorong-lorong lagi. Ada dua orang yang membawa saya. Kamar mana yang kosong? Tidak ada kamar dobel yang kosong. Rasanya ingin berteriak, saya mau kamar singel! Mau sekamar sendiri! Tapi saya tidak bisa. Seakan berada di dimensi lain…

Kamar yang ini kosong. Itu kan kamar laki-laki. Ini pasien perempuan! Saya teringat sempat menunggu di sebuah lorong. Ada kamar singel yang kosong! Dan dibawalah saya ke sana. Ditempatkan dengan nyaman, dan ditinggal pergi…


23h30

Saya benar-benar sadar. Telepon saya ada di samping tempat tidur. Saya kirim sms ke suami untuk mengabarkan bahwa semua lancar. Lalu saya tertidur kembali didalam sisa pengaruh bius dan obat penahan rasa sakit...

Comments

Popular posts from this blog

Memimpikan Bandung Tanpa Macet

Televisi

Pindah or not Pindah