Saat Butet dan Mama Membolos
Setelah sukses rajin masuk sejak awal tahun ajaran, bahkan di dua jam tambahan selama libur musim gugur kemarin sebagai pengganti agenda mudik Sensei, Kamis 14 November ini saya bolos kursus bahasa Jepang.
Sudah sejak Minggu siang saya tak enak badan. Sakit kerongkongan dan pegal-linu. Tubuh lemas, dan lekas kehilangan tenaga. Untuk belajar sih mustinya nggak masalah. Tapi untuk jalan ke lokasi kursus, rasanya sayang tak mampu. Apalagi di cuaca yang tiba-tiba dingin beberapa hari ini.
Bukan. Sakit saya bukan karena perubahan suhu. Paling tidak bukan itu penyebab langsungnya. Karena sudah jelas bahwa saya ketularan Paksu!
Memang periode sakit kali ini dimulai dari Paksu. Dia mengeluh dingin sejak Kamis siang lalu. Sudah saya ingatkan untuk mengenakan sandal rumah dan sweater. Dia tetap saja berkaus, celana pendek, tanpa alas kaki.
Agak sore mengeluh tidak enak badan. Katanya sebenarnya sudah mulai merasa tak nyaman sebelum keluar lari pagi. Lha nggak enak badan kok tetep lari?
Kamis malam itu saya pergi kursus seperti biasa. Pulangnya, baru mendapati bahwa suami saya benar-benar tumbang, sampai-sampai meminta saya untuk menerima delivery Uber Eats.
Saya sudah mulai mengeluhkan merasakan kerongkongan kering sejak Sabtu siang. Minggu pagi saya terbangun dengan kerongkongan kering. Hari itu saya masih menyetir untuk menonton film Flow di bioskop di pinggir kota berdua Butet.
Saat makan siang burger di lokasi bioskop, saya sudah mulai tak berselera. Keinginan minum milkshake pun saya tahan. Sadar diri tak akan mampu. Sorenya saya menyerah, minta absen memasak padahal Sodexo tak berlaku. Eh? Hehehe.
Senin siang saya menguatkan diri untuk memasak. Pundak kambing panggang saja. Gampang. Soalnya hari itu libur nasional. Alias tidak bisa memanfaatkan Sodexo lagi!
Selasa siang saya minta suami pesan Uber Eats lagi. Niatnya menghemat tenaga untuk malam. Biasanya saya sakit cuma sehari dua. Kali ini ternyata berkepanjangan.
Saat saya cerita ke salah satu teman Indonesia di Prancis, dia langsung menanyakan apakah Covid? Saya pun mencari informasi. Gejala yang kami miliki cocok dengan deskripsi!
Entah apakah benar Covid atau bukan. Yang jelas, sudah terlambat untuk melakukan prevensi untuk Butet. Satu-satunya yang bisa dilakukan hanyalah menjaga staminanya.
Kebetulan Rabu kemarin tak ada pelajaran di sekolah Butet. Journée pedagogique. Pertemuan guru-guru. Butet tak ada rencana. Berniat di rumah saja untuk belajar dan mengerjakan tugasnya yang banyak itu.
Butet megeluh pilek berat pagi itu. Saya suruh istirahat saja. Saya sendiri seperti biasa di Rabu pagi mengawal pengajian meski dengan slow down. Alhamdulillah ada teteh-teteh lain yang membantu co-hosting.
Kami sudah merencanakan delivery lagi untuk makan siang. Padahal Paksu akan berangkat business trip sore itu. Biasanya kami membiarkan jatah Sodexo untuknya. Dan memang itu jatah dia sebagai pekerja, kan!? Hihihi.
Paksu belum sehat benar. Tapi tak ada pilihan sebagai karyawan. Saya dan Butet menyarankannya untuk membawa masker. Mengenakannya jika kerongkongan gatal di dalam pesawat. Memang selama sakit ini dia lebih sering batuk ketimbang saya.
Makin malam, Butet makin merasa lemas. Sedih sekali rasanya karena saya tak bisa berbuat banyak. Keluar belanja pun tak bisa. Tak bisa memasakkan makanan kesukaannya.
Saya melepas Butet ke sekolah Kamis pagi dengan berat. Dia tak mau bolos karena ada evaluasi Matematika. Saya pesankan untuk mengukur diri, minta izin pulang kalau merasa tak kuat. Dan di jam makan siang tadi dia menelepon, mengabarkan kalau mau pulang!
SMS dari sekolah, meminta orang tua memberikan justifikasi absennya siswa |
Begitulah. Akhirnya hari ini tak hanya saya yang bolos. Butet juga bolos setengah hari sekolah. Setelah makan siang—yang hanya mi instan, karena selain memang isi kulkas kami sudah menyedihkan sekali, Butet ingin makan kuah pedas—dia tidur. Mengistirahatkan diri, menghemat tenaga. Apalagi malam ini adalah jadwalnya bimbingan online sekolah animasi.
Saat Butet bimbingan, saya memasak. Bebek madu, kesukaan Butet. Di situlah saya baru menyadari bahwa saya kehilangan sensitivitas indera penciuman! Cukup parah. Saya tak mampu mengenali bumbu 5-spices yang sayangnya saya simpan di botol bekas bumbu lain dan tidak saya beri label khusus.
Butet tak bisa membantu saya. Dia tak mengenali aroma 5-spices mentah. Saya pun meraba-raba saja. Kalaupun salah, paling itu kayu manis. Atau jintan. Belakangan, sepertinya itu jintan. Karena menurut Butet rasanya aneh sekali!
Bukan cuma aneh, bebek masakan saya gosong! Saya memang telat menyadari bahwa bebek saya gosong. Ternyata selama ini saya banyak mengandalkan indera penciuman dalam memasak. Dan perlu tingkat kegosongan lebih akut untuk baunya sampai ke saya yang sedang tak sehat! Yang kalau dilihat sisi positifnya: saya tak sampai sepenuhnya kehilangan indera penciuman. Hiposmia. Tak sampai anosmia.
Akhirnya Butet meminta saya memasak telur dadar. Yang kemudian di mulut saya hanya terasa teksturnya, tidak rasanya! Mengingatkan telur dadar cabe saya saat makan siang, yang saya pikir saya lupa membumbui. Ternyata masalahnya ada di indera penciuman.
AstaghfiruLaahalazhiim. Baru terasa nikmatnya punya indera penciuman yang sehat ....
Saya menulis ini sambil menemani Butet menyelesaikan tugasnya. Paksu juga dalam perjalanan pulang berpesawat. Tadi dia sempat mengeluh KO!
Semoga Butet tak sampai sakit seperti saya dan papanya saja. Semoga besok pagi dia bisa bangun dengan segar untuk bisa presentasi tugas kelompok yang tak mau dia lewatkan. Dan semoga saya dan paksu lekas sehat kembali juga. Tak lupa, semoga Ucok yang di perantauan selalu sehat-sehat saja. Aamiin.
P.S. Saya sudah mengirim SMS ke Sensei, mengabarkan bahwa saya absen kursus. Saya juga sudah membuat justifikasi absennya Butet di platform sekolah. Jadi kami nggak bisa dibilang bolos juga kali ya? Hehehe.
Comments
Post a Comment