Romantisasi Novel dalam Adaptasi Film My Name is Loh Kiwan

Akhirnya saya tuntaskan juga menonton film My Name is Loh Kiwan. Dengan tekad bulat dan adanya dorongan karena sedang tak ada tontonan lain, saya bisa menyelesaikannya dengan cukup cepat. Tidak sekali duduk, tentu saja. Namanya juga ibu-ibu ya!? Hehehe.

Perjalanan Loh Kiwan

Seperti yang sempat saya singgung di ulasan novel karya Cho Haejin yang menginspirasinya, film My Name is Loh Kiwan berbeda arah dibanding buku I Met Loh Kiwan. Sejalan dengan pemilihan formulasi judulnya, di dalam film, kisah berpusat pada perjalanan Loh Kiwan sendiri.

Dimulai dari sedikit latar kisahnya saat di Tiongkok, di mana Kiwan dan ibunya tinggal setelah melarikan diri dari Korea Utara. Setelah ibunya meninggal dunia, Kiwan yang sudah beberapa waktu menjadi buronan polisi karena terlibat perkelahian pun beremigrasi ke Belgia.

Foto: Tudum by Netflix

Begitu tiba, Kiwan langsung mengajukan permohonan suaka. Tak semudah itu, tentu saja. Apalagi dia tak memiliki kartu identitas sebagai warga Korea Utara. Belgia tak memberikan suaka bagi warna Tiongkok seperti yang tertera di paspor yang dimilikinya. Selama menunggu prosedur, dengan bekal uang terbatas, Kiwan sempat harus tinggal di toilet umum. 

Suatu hari, saat tertidur di sebuah laundromat, seseorang mencuri dompetnya. Kiwan melapor ke polisi dan ditemukanlah sang pencuri yang dikenali dari CCTV. Ternyata perempuan pencurinya adalah seorang berdarah Korea bernama Marie Lee.

Marie meminta Kiwan untuk berdamai dan tidak menuntutnya, dengan janji akan mengembalikan uangnya. Kiwan setuju. Dan Marie menepati janjinya. Namun hubungan mereka tak terhenti saat uang dikembalikan.

Romantisasi Novel

Saat melanjutkan menonton setelah terpotong beberapa minggu, saya tak berharap bisa menyelesaikannya dengan cepat. Namun ternyata saya tak begitu terhambat. Mungkin karena terbantu dengan sudah berlalunya lubang-lubang lojik yang saya lihat di awal kedatangan Loh Kiwan di Belgia dan juga dengan memasang kesadaran penuh bahwa adaptasi film jauh berbeda dengan bukunya.  

Apakah artinya bagian berikutnya sudah tak ada kesalahan lagi? Saya tidak bisa memastikannya.

Sambil menulis reviu buku, saya menonton sampai bagian pertemuan Kiwan dengan Marie yang merupakan titik persimpangan dengan kisah novel aslinya. Sesudahnya, mengalir bumbu kekerasan dunia bisnis bawah tanah, perjudian, pemakaian obat-obatan terlarang, ... Duh, jauh, jauuuh sekali dari bukunya. Namun, yang jelas, saya tak mengerti mengenai bagian dunia yang itu. Oleh sebab itu, kalaupun ada ketidaktepatan, saya tak tahu karena sampai saat ini tidak (belum?) tertarik menyelami persoalan itu.

Tentu saja saya terganjal dengan kemampuan berbahasa Prancis beberapa tokoh berdarah Koreanya. Untuk Marie, masih bisa dimaklumi, karena tidak dijelaskan juga sejak kapan dia berada di Belgia. Untuk pengacara yang diperankan Kang Gil-woo, tentunya lebih membuat tersandung dalam proses saya menonton.

Kecekatan polisi menemukan pencuri dompet Kiwan juga sangat mengagumkan, kalau tak boleh dibilang mustahil. Tak usah sampai membandingkan dengan pencurian di Museum Louvre di Paris yang baru saja terjadi beberapa hari yang lalu lah! Di Prancis, setahu saya prosedur melaporkan kehilangan saja memakan waktu. Saya rasa sama juga di Belgia yang cuma selemparan batu. Atau mungkin memang bisa jauh lebih cepat di Hungaria yang merupakan lokasi syuting filmnya?

Foto: Tudum by Netflix

Sengaja disingkat? Biar cepat?

Bisa jadi. Kedekatan Kiwan dan Marie pun dibuat sangat kilat. Memang ada insiden yang membuat Marie pasti jadi jatuh hati pada Kiwan meski saya rasa tak akan du jour au lendemain. Namun dari sisi Kiwan-nya yang saya lihat sebagai profil anak kampung yang polos, saya rasa terlalu dipaksakan kalau tahu-tahu mereka sudah berada di kasur yang sama.  

Menyelesaikan film ini mengonfirmasi dugaan saya peromantisan kisah dibanding dengan novel yang menginspirasinya. Kisah perjuangan Kiwan untuk mendapatkan suaka pun kurang menggigit. Serasa disisihkan oleh fokus ke romansa. Dan itu sampai akhir!

Pilihan Sutradara

Saya cukup menyayangkan karena tema imigrasi ini menarik sekali. Apalagi akhir-akhir ini, di mana terjadi banyak permasalahan yang berkaitan. Ada banyak status imigran yang bisa diangkat dalam film, dari karakter-karakter yang ada: Loh Kiwan sendiri, Marie, orang tua Marie, lalu tokoh Kim Seon-ju yang mengantar Lee Sang-hee memenangkan Baeksang Awards 2024 dalam kategori aktris pendukung terbaik. 

Foto: Soompi

Tentu ada banyak alasan yang melatarbelakangi pilihan penulis juga sutradara—yang dalam film ini adalah orang yang sama—dalam mengadaptasi jalannya cerita. Alasan komersial adalah salah satunya. Dan itu tak bisa dipandang sebelah mata.

Perilisan film yang memilih tanggal 1 Maret yang merupakan peringatan Hari Pergerakan Kemerdekaan di Korea Selatan sendiri sangatlah simbolik. Meski saya tak mengerti, karena ini kan film tentang pelarian Korea Utara ya!? Yang jelas dalam film tak disebutkan usaha Kiwan mencari bantuan ke kedutaan Korea Selatan seperti dalam bukunya ... yang ditolak!

Pemilihan Song Joong-ki sebagai pemeran utama juga pasti ada unsur alasan kepopulerannya. Penulis skenario sekaligus sutradara Kim Hee-jin sampai mengubah naskah segala, dan menunggu hingga sang aktor setuju berperan di dalamnya sesudah sempat menolaknya pada tahun 2017—sang aktor menunggu penerjemahan novelnya ke dalam bahasa Inggris? menunggu hak filmnya dibeli Netflix?

Saya sendiri bukan penggemar Song Joong-ki. Kalau harus meranking, saya lebih menggemari Choi Sung-eun, meski ya: tokoh Marie tak ada di buku. Karakternya yang merupakan bekas juara tembak tentu saja mengingatkan saya pada penembak putri Korea Selatan Kim Ye-ji yang viral saat Olimpiade Paris 2024. 

Foto: Soompi

Namun tentu saja karakter Marie bukan terinspirasi oleh keviralannya karena film dirilis sebelum pelaksanaan Olimpiade. Atau mungkin memang style Kim Ye-ji sudah viral di Korea Selatan sebelumnya? Sudah viral di kalangan penembak? Atau justru sang atlet yang mengambil gaya Marie yang memang cool itu? Bisa jadi bahasan lain, ini, sepertinya ya!? Hahaha. 

Dipikir-pikir, apa yang sama dengan buku selain tokoh Loh Kiwan, asal dari Korea Utara, sempat tinggal di Tiongkok, dan kemudian mencari suaka di Belgia?

Jalannya cerita sudah berubah sama sekali. Tokoh-tokohnya pun begitu. Akhir ceritanya pun tidak sama. Tapi tak apa. Jadi ada Bali di versi filmnya! Eh? Hehehehe.

Adaptasi Bukan Transposisi

Bagus mana antara film dan buku?

Sebagai cenderung lebih ke pembaca ketimbang penonton, tentu saja ada bias jika saya lebih suka versi buku. Namun, sekali lagi, versi film benar-benar berbeda jauh. Saya rasa akan ada (banyak?) yang lebih menyukai versi film yang lebih ritmik, banyak intrik, tidak datar-datar saja seperti dalam buku.

Saya mengerti bahwa tak mungkin mentransposisi begitu saja sebuah objek dari media cetak ke dalam media visual. Buku setipis 129 halaman ke dalam film 2 jam 13 menit sekalipun! Dan bisa jadi, pada dasarnya kisah dalam novel memang hanya dijadikan dasar yang mengilhami kisah untuk film.

Meski berbeda penyampaiannya, apresiasi terhadap diri sendiri masih menjadi tema inti film ini, seperti yang dituliskan sebagai tagline dalam poster promosinya: Do we deserve happiness? 

Sebagaimana dalam buku, ada isu tentang penyakit parah, eutanasia, dan tentu saja tentang imigran gelap serta pencari suaka. Namun saya lebih terkesan dengan kalimat Loh Kiwan yang menutup film: Aku akhirnya sadar hal yang sungguh kuinginkan bukan hak untuk tinggal di negeri ini, tapi hak untuk (bisa be-)pergi-(an dengan bebas)! 


Referensi:


---

Tulisan ini diikutkan dalam Tantangan Blogging Mamah Gajah Ngeblog bulan Oktober 2025 yang bertema Menyelami Orisinalitas dalam Adaptasi Karya Lintas Medium meski saya jelas-jelas terintimidasi dengan formulasi tema yang diusung oleh Mamah Host Andra ini! Heu....



Comments

  1. Teh Alfi, kisah tentang imigran gelap yang menarik.
    Aku nonton film Indonesia tentang imigran gelap di Korea Selatan.
    Sepertinya harus nonton film My Name is Loh Ki Wan supaya tahu juga Eropa tidak segemerlap yang dibayangkan orang-orang hehehe ...

    Salam hangat

    ReplyDelete
    Replies
    1. Wah, film Indonesia yang mana teh?
      Ini kondisinya pendatang gelap sih ya. Status kewarganegaraan nggak jelas, pula. Tapi kalau soal gemerlap/tidaknya Eropa, ya bandingkan saja dengan kalau memandang Indonesia hanya dari nonton sinetron lah, kira-kira. Hehehehe ✌

      Delete
  2. apa karena jadi film durasinya kan pendek banget ya. kalau adaptasi ke drama mungkin bisa lebih leluasa. tapi pengubahan judul juga lumayan ngaruh sih ya kan jadi beda sudut pandang

    ReplyDelete
    Replies
    1. Aku rasa memang film ini cuma mengambil ide awal buku saja. Ngambil profil dasarnya. Setelah itu, ceritanya dibebas-lepaskan untuk lebih pas dengan media visual ... dan pasar, tentunya! 😉

      Delete
  3. Teh Alfi, aku pun menunggu bagian adjusting setelah hidup di toilet beberapa saat itu. Aku belum baca buku dan filmnya. Cuma rasanya habis baca tulisan Teh Alfi ini penasaran baca bukunya.

    ReplyDelete
    Replies
    1. Bukunya tipis kok. Bisa dipinjam gratis di DLKL tuh. Tapi seingetku sih di buku nggak ada cerita Loh Kiwan tinggal di toilet 😅

      Delete

Post a Comment

Popular posts from this blog

Berbagai Hidangan Kambing Khas Solo

Perjalanan Bela Bangsa

Tanpa Internet? Bisakah?