Terimbas Stereotipe

Besok pagi ada acara Warung Konsuler di Nice, ibukota departement 06 Alpes Maritimes. Kesempatan emas untuk menyelesaikan urusan-urusan administratif keindonesiaan tanpa perlu ke kantor Konsulat di Marseille sana.

Kebetulan paspor suami sudah habis masa berlakunya—yes, telat! Sekalian saja minta penggantian paspor buat si Butet yang sebenarnya masih berlaku sampai April 2024 nanti. Jaga-jaga karena kemungkinan ada karyawisata. Agar tak perlu bolos untuk ke Marseille juga kalau sudah dekat waktunya.

Semua persyaratan dikirim via posel untuk diproses. Meski masih diminta untuk membawa hard copy-nya saat pengambilan foto dan tanda tangan biometrik besok.

Kami juga diminta menyiapkan cek 25 euros per paspor. Lalu amplop untuk mengirim kembali paspor kalau tak mau mengambil sendiri ke Marseille.

Pagi tadi saya ke kantor pos untuk membeli amplop pret-a-poster. Amplop yang sudah dibayar biaya kirimnya, sehingga petugas konsuler tidak repot lagi.

Saya sudah mencari informasi sebelumnya. Biasanya saya membeli amplop Colissimo saja. Dengan kurang dari 10 euros, paspor sampai dalam 2-3 hari dengan asuransi kehilangan.

Namun kali ini karena ada 2 paspor, saya memilih Chronopost. Bukan karena kiriman dijamin sampai keesokan harinya. Tapi lebih karena jaminan keamanannya yang mantap.

Saya sudah berpikir untuk membeli amplop 1 kg. Besar amat? Itu berat minimal kiriman yang saya lihat di website La Poste. Biar yakin juga. Dua paspor baru plus dua paspor lama plus dua lembar tanda pembayaran. Saya lihat ada amplop dengan bubble plastik pelindung. Sip.

Saat sampai di kantor pos terdekat dari rumah, di rak pertama hanya ada satu jenis amplop 1 kg. Amplop plastik tanpa bubble. Wah, gimana ya? Saya beli nggak ya?

Sambil menimbang-nimbang untuk turun ke kantor pos besar di kota, saya lihat ada rak amplop yang lain. Ada amplop plastik ber-bubble, tapi untuk pengiriman 2 kg. Harganya 32 euro. Oh ya, amplop plastik 1 kg harganya 30 euro.

Tentu saja saya tak perlu berpikir panjang. Cepat saya putuskan untuk mengambil amplop 2 kg saja.

Konsentrasi berpikir saya terputus dengan teguran, "Cari apa, Bu?"

Ya, teguran! Bukan pertanyaan atau sapaan. Suara yang keras dan ketus itu datang dari seorang perempuan petugas pos yang duduk di bagian kasir.

"Saya cari amplop," jawab saya menenangkan diri dari emosi.

"Itu Chronopost, ya!" katanya dengan nada masih keras.

"Ya, memang ini yang saya cari."

"Harganya 30 euro lho!"

"Iya. Saya tau." Saya tetap sabar. "Kalau yang ini 32 ya?" saya sok-sokan bertanya sambil menunjukkan amplop 2 kg.

"Betul. Tapi memangnya ibu perlu cepat?" suara petugas mulai melunak.

"Saya perlu aman. Buat kirim paspor," jawab saya sambil tersenyum.

"Ah, ya, itu pilihan bagus." Ibu petugas ikut tersenyum.

Saat saya menghampirinya dan menanyakan apakah di situ tempat pembayaran, dia meminta saya mengisi formulir lebih dahulu. Saya jelaskan bahwa amplop ini bukan untuk saya kirimkan, tapi untuk menerima kiriman. Dengan ramah dia menjelaskan bagaimana pengisiannya. Saya dengarkan dengan sabar meski sebenarnya saya sudah tahu semua itu.

Apakah saya terkena rasisme?

Ya! Tapi bukan seperti yang mungkin Anda duga!

Petugas menegur saya dengan ketus mungkin memang karena jilbab saya. Tapi bukan karena dia benci muslim. Atau benci imigran.

Kok yakin?

Karena petugas tadi berciri fisik seperti orang Magrib. Afrika bagian utara. Notabene imigran, yang kebanyakan muslim.

Lalu kenapa ketus sama saya?

Karena kelakuan rekan sebangsanya sendiri, yang sayang sekali memang sering berstereotipe kurang baik.

Si ibu sepertinya cemas kalau saya mengacak-acak display amplop yang ada di kantor pos. Atau bahkan merusak kemasan, seperti beberapa amplop yang saya lihat di sana. Mungkin pernah melihat teman sebangsanya yang begitu.

Karena itulah beliau galak. Berjaga sebelum saya bertindak salah. Namun kemudian melunak setelah melihat saya tetap kalem. Saya bahkan melihat pandangan mata bersalahnya.

Tak heran. Biasanya orang-orang yang ditegur dengan suara tinggi, akan membalas dengan suara tinggi pula. Teguran ketus akan dijawab lebih ketus. Ini berlaku untuk semua bangsa, kan!? Tapi memang lebih-lebih di Prancis yang orang-orangnya terkenal raleur, suka menggeritu!

Saya sendiri lebih memilih kalem. Sekali terbawa marah, akan rusak seluruh hari saya. Saya lebih suka mengalah. Selama tidak ditindas nih ya. Agar kemudian bisa saling mengucapkan merci, bonne journée dengan senyuman sebelum berpisah. Seperti saat saya meninggalkan kantor pos pagi tadi.


Comments

Popular posts from this blog

Memimpikan Bandung Tanpa Macet

Televisi

Pindah or not Pindah