The Boy and the Heron

Sudah lama juga kami tak ke bioskop sekeluarga. Terakhir kapan ya? Jangan-jangan untuk The Wind Rises

Kalau hanya berdua Butet sih sering. Dan kali ini pun kami menonton film The Boy and the Heron hanya bertiga. Tak ada si Ucok yang masih merantau di jauh sana.

Ya! Karya Miyazaki Hayao yang terbaru. Di hari rilisnya di Prancis, 1 November 2023 kemarin. Sekalian merayakan ulang tahun saya ... yang bukan 1 November, ya! Hahaha.

Poster versi Prancis

Mencari Ibu

Menceritakan tentang Maki Mahito yang tiga tahun setelah ibunya meninggal harus pindah rumah, meninggalkan Tokyo menuju daerah kelahiran ibunya. Ayahnya menikah lagi dengan Natsuko, adik sang ibu. Mahito tidak senang. Dan dia sulit beradaptasi dengan teman-teman di sekolah barunya.

Suatu hari seusai dirundung teman-temannya secara fisik, Mahito melukai dirinya sendiri dengan tujuan agar tak perlu kembali ke sekolah. Taktiknya berhasil. Terlalu berhasil. Lukanya sangat parah.

Dalam masa penyembuhannya seekor bangau yang bisa bicara datang dan mengatakan bahwa ibunya masih hidup dan dia bisa membawa Mahito menemuinya. Mahito tahu bahwa itu tak mungkin. Dia mengejar-ngejar si bangau yang terus-menerus mengganggunya. Hingga sampai di sebuah menara tua. Sebelum memasukinya, Mahito sudah dijemput pelayan-pelayan rumahnya. Natsuko pun melarang Mahito mendekati menara itu. 

Saat ibu tirinya menghilang, Mahito mengajukan diri untuk ikut mencarinya. Mahito sempat melihat Natsuko memasuki hutan. Mahito menemukan jejaknya memasuki menara tua, dan mengikutinya ditemani Kiriko, salah seorang pelayan di rumahnya. Di dalamnya mereka menemukan si bangau. Dan mereka bertiga bertualang mencari Natsuko di dunia fantastis.

Rekapitulasi?

Kami menonton malam. Jadwal jam 20.25. Demi menonton versi Jepang. Dengan takarir Prancis, tentu saja!

Ternyata penontonnya banyak juga. Saya lihat, ruang bioskop hanya menyisakan 2-3 kursi kosong saja. Mungkin karena premier buat versi Jepang. Plus Rabu ada harga tiket spesial. Yang biasanya 9€50, jadi cuma 6€50. Lumayan kan!? Tapi memang film diputar di ruang kecil saja. 

Tiket harga spesial Rabu

Film diawali dengan gambar kebakaran yang menyala-nyala. Bagus sekali warnanya. Kagum sekaligus pedih. Tragis, karena di peristiwa kebakaran itulah ibu Mahito meninggal dunia.

Dari setting apokalips, lokasi berpindah ke pedesaan yang terlihat damai. Tapi itu tak berlangsung lama. Sudah terasa hawa-hawa tak nyaman yang kemudian ditampilkan dengan perundungan terhadap Mahito, dan perbuatan nekatnya untuk menghindari masuk sekolah.

Perbuatan nekat yang menurut saya tak perlu seeksplisit itu untuk menunjukkan kenakalan remaja. Namun perlu untuk menyesatkan penonton akan kelanjutan kisah filmnya. Kok bisa?

Seperti film-film Miyazaki Hayao lainnya, banyak simbolik-simbolik bertebaran. Ada hal-hal yang eksplisit, kebanyakan implisit. Kita dibawa berpikir mana yang kenyataan, mana yang fantasi. Kecuali kalau memang sudah memutuskan bahwa memang film ini murni fantastis!

Poster versi Jepang
(Sumber: Ghibli)

Butet menyukai film ini. Saya dan papanya kurang antusias. Buat kami, di film ini kurang unsur-unsur unik khas Ghibli. Makhluk-makhluk anehnya tak cukup aneh secara visual. Tak ada bangunan atau kendaraan yang rumit. Semua terlihat cukup normal. Meski secara fungsional, itu cerita lain lagi!

Saya merasa banyak unsur yang copy-paste dari film-film sebelumnya. Tokoh-tokohnya memiliki wajah dejavu. Nenek-nenek personil rumah bisa kita cocokkan dengan karakter dari Chihiro hingga Yamada. Warawara mengingatkan kita pada susuwatari meski beda warna.

Buat saya, film ini merupakan kliping. Kumpulan unsur dari film-film yang sudah lalu yang dijadikan satu. Tampilannya dikembangkan dengan teknologi baru--yang ini Butet yang penggemar 2D tradisional kurang suka--, dan dibungkus dengan skenario yang berbeda. Jadilah rekapitulasi mahakarya Miyazaki. 

Kami bertiga mendiskusikan film ini sepanjang perjalanan pulang. Lepas dari suka atau tidak antusias--ya! meskitak antusias, saya dan suami tetap menyukai film ini!--, kami sepakat tak yakin mengerti maksud sang Maestro dalam film ini selain tema kehilangan, duka, perundungan, dan persoalan keluarga yang terlihat. Ada beberapa aspek yang kami tak berhasil menguraikannya.

Namun apakah kita perlu sepenuhnya mengerti? Bahkan Miyazaki-sensei sendiri sudah eksplisit menyatakan di dalam filmnya sendiri bahwa "semua orang yang berusaha memahami akan binasa".

Gerbang dengan tulisan peringatan untuk tidak terlalu kepo
(Sumber: Ghibli)

Diilhami Buku

Seperti kebanyakan film Ghibli, film ini bisa dinikmati mulai usia 10 tahun. Atau lebih muda. Dengan pemahaman seadanya. Asal tahan dengan durasinya yang 2 jam 5 menit itu saja. Kami sendiri baru keluar bioskop jam setengah 11. Jalan kaki santai, sampai rumah sudah lewat jam 11 malam! 

Begitulah, demi mengejar versi non dubbing. Sementara Ucok yang di Swedia teriri-iri tak bisa menontonnya. Apa daya. Film berbahasa Jepang dengan takarir Swedia. Kalaupun dubbing Swedia, tak membantu juga. Entah kapan dia bisa menontonnya.

Alhamdulillah semalam cuaca cerah dan tak terlalu dingin. Dan yang jelas, pada kursus bahasa Jepang sore ini, saya bisa cerita "kinō no yoru, Miyazaki Hayao kantoku no anime eiga o mimashita". Hihihi.

Sampul buku yang jadi laris lagi
(Sumber: Amazon)

Di berbagai sumber, film ini dikatakan diilhami oleh buku 君たちはどう生きるか (Bagaimana Kamu Hidup?) karya Genzaburo Yoshino. Saya tak tahu di bagian mana ilhamnya. Kalau dari sinopsisnya saja, sepertinya berbeda. Tapi saya kan belum membaca keseluruhan bukunya sendiri. Yang jelas, dalam versi Jepang, film ini mengambil judul yang sama. Dan buku ini muncul di dalam film sebagai salah satu hadiah untuk Mahito dari mendiang ibunya.


Comments

Popular posts from this blog

Memimpikan Bandung Tanpa Macet

Televisi

Pindah or not Pindah