Menulis untuk Perubahan

Tanggal 14 Juni lalu merupakan pelaksanaan ujian tertulis Baccalaureat mata pelajaran Bahasa Prancis. Ujian nasional yang nilainya nantinya masuk ke dalam ijazah kelulusan SMA Prancis ini diikuti oleh siswa-siswi 1er (setingkat kelas XI). Termasuk Butet.

Salah satu tema yang diangkat menjadi bahan untuk ujian tahun 2024 ini adalah "La littérature d'idées du XVIe siècle au XVIIIe siècle" (sastra gagasan dari abad ke-16 hingga abad ke-18). Untuk tema ini, guru Butet memilih buku Déclaration des Droits de la Femme et de la Citoyenne (Deklarasi Hak Asasi Perempuan) karya Olympe de Gouges, yang merupakan bahan untuk sub tema écrire et combattre pour l'égalité, menulis dan memperjuangkan kesetaraan!

Kondisi Perempuan: Adakah Perubahan?

Untuk mendukung sub tema ini, Butet memilih La Femme Gelée-nya Annie Ernaux dari pilihan pengayaan yang ditawarkan gurunya. Pilihan lain ada La Femme Independante-nya Simon de Beauvoir, Les Choses Humaines-nya Karine Tuil, dan Racines (terjemahan dari Roots)-nya Alex Hailey.

Meski tak ikut membaca, saya kurang-lebih tahu isi buku Perempuan Beku yang sangat terinspirasi atas kehidupan nyata penulisnya itu. Bagaimana tidak? Selama ini memang kami biasa mendiskusikan bacaan kami. Termasuk buku ini, tentunya. Selain itu, Butet juga menceritakan diskusi seru bersama guru dan teman-teman sekelasnya. 

Mereka mengupas bersama kisah seorang perempuan di tahun 1970an yang bekerja sebagai guru itu. Suaminya menyatakan mendukung aktivitas sang istri. Namun dalam keseharian, si perempuan merasakan tekanan tuntutan sebagai istri dan ibu. Bagaimana dia harus menjalankan tugas-tugas perempuan "normal" dengan sempurna.

Kebanyakan siswi menyatakan bahwa kondisi perempuan masih belum berubah. Masih sama dengan pertengahan tahun 70-an yang menjadi setting isi bukunya. Masih sama dengan tahun 80-an saat Annie Ernaux menulisnya.

Kebanyakan siswa menyangkal! Belakangan ini dunia sudah berubah. Para perempuan tak lagi dihalangi untuk maju. Para lelaki juga lebih menghargai perempuan, lebih mendukung kesetaraan, dan tak segan mengerjakan hal-hal yang dulunya dianggap sebagai "tugas perempuan".

Faktor Kultural

Selain bahan yang ditentukan pemerintah dan pengayaan dari guru, setiap siswa diharapkan memperkaya lagi bahasan dengan menonton adaptasi buku ke dalam film, pertunjukan teater, atau membaca buku lain yang bertema senada. Saat Butet meminta masukan dari saya untuk buku bertema hak asasi perempuan ini, saya mengusulkan buku Kim Ji Yeong, Lahir Tahun 1982 karya Cho Nam Joo. Mengambil versi bahasa Prancisnya, tentunya: Kim Jiyoung, Née en 1982.

Cocok, kata Butet. Bukunya tidak tebal. Hanya 167 halaman saja.

Baru membaca beberapa bab, dia bertanya pada saya, "Mengapa buku ini membuat kontroversi? Bukannya biasa saja, mengungkap ketidaksetaraan seperti itu?"

Dan diskusi pun berjalan...

Saya sendiri tak mengikuti kontroversi yang terjadi pada saat penerbitan novel itu di Korea Selatan sana. Saya sendiri membacanya sudah cukup "lambat", kan!? 

Kalau Kim Jiyeong membuat polemik pada saat penerbitannya, jangan lupa bahwa La Femme Gelée pun demikian di awal penerbitannya! Kalau polemik Jiyeong terasa "lambat" itu karena kultur Asia yang sungkan membuat masalah dan masih sangat menjunjung tinggi kekeluargaan. Kekeluargaan di sini dalam artian tunduk pada suami, hormat pada orang tua, tak bisa membantah mertua, harus bisa menyenangkan keluarga besar, ... Hubungan sosial masih dianggap sangat penting. Tidak seperti di Eropa yang sudah meluntur pada umumnya dan kecenderungan individualismenya besar.

Belum Ditulis = Tidak Benar-benar Ada

Annie Ernaux dan Cho Namjoo mengangkat isu-isu permasalahan perempuan. Keduanya mengungkap ketidakadilan yang masih dirasakan. Oke lah, perempuan bebas bekerja. Perempuan bisa menuntut ilmu setingginya. Namun pada kenyataannya, mereka masih ditagih untuk menjadi istri, ibu, dan anak perempuan yang tanpa cela. 

Perempuan masih dituntut untuk mengerjakan tugas rumah tangga (memasak, mencuci, beberes, ...). Perempuan masih jadi penanggung jawab atas pendidikan dan pengasuhan anak-anak. Perempuan juga masih harus melayani orang tua, dan kemudian saat sudah menikah ditambah mertua, dengan penuh bakti. Dan kesemua itu dengan mengesampingkan kodratnya: keperluan, keinginan, dan hasratnya sebagai individu.

Masih banyak isu sosial mengenai ketidaksetaraan laki-laki dan perempuan yang mereka bahas. Termasuk di antaranya masalah kesetaraan kesempatan kerja dan belajar yang tetap saja ada, perlakuan di tempat kerja, juga kesenjangan gaji yang masih terjadi. 

Di sebuah wawancara dengan Kate Zambreno yang saya kutip versi bahasa Inggrisnya dari AP News, Annie Ernaux mengungkapkan, “Literature appeared to me as the only means to reach what I call either truth or reality. It is a way to make things clear, not in a simple manner — on the contrary to write things makes them more complex. It is a way, also, that so long as something has not been written it doesn’t really exist.”

Ini mengingatkan saya pada R.A. Kartini dengan kumpulan surat-surat yang ditulisnya untuk sahabat-sahabatnya di Eropa yang dihimpun oleh Jacques Henrij Abendanon dan diterjemahkan oleh Armijn Pane dengan judul Habis Gelap Terbitlah Terang. Perempuan Indonesia yang beride sama tidak hanya Kartini. Namun berapa di antara mereka yang menuliskannya dan menjadikannya berarti?

R.A. Kartini, Annie Ernaux, Cho Nam Joo, dan Olympe de Gourges menuliskannya. Tanpa melupakan perempuan-perempuan penulis lain, mereka membuat perubahan. Meski mungkin masih baru dalam tahap pola pikir, belum sepenuhnya terealisasi, dan belum menyeluruh. Paling tidak, makin banyak mata yang lebih terbuka. Seperti terlihat dalam diskusi di kelas Butet di mana saya melihat adanya kepedulian. Di sisi para siswi, mereka bisa melihat masih banyaknya ketidakadilan terhadap perempuan. Di sisi para siswa, mereka menyadari bahwa banyak usaha yang harus dikerahkan untuk memperbaiki kondisi perempuan.

Yuk, Menulis!

Sastra gagasan tak terundi menjadi tema soal ujian tertulis tahun ini. Namun Butet tetap melanjutkan membaca Kim Jiyeong. Apalagi masih ada ujian lisan yang giliran Butet dijadwalkan pada 1 Juli nanti. Siapa tahu tema ini keluar kan!? 

Sambil menunggu, apakah ada perubahan yang kita inginkan? Apapun perubahan itu, yuk, mari kita coba tuliskan agar yang kita harapkan menjadi nyata!


---

Tulisan ini diikutkan dalam Tantangan Blogging Mamah Gajah Ngeblog bulan Juni 2024 dengan tema "Perempuan: Tantangan dan Inspirasi" yang diusung oleh Mamah Dewi dan Mamah Laksita.



Comments

  1. Keren teh Alfi... Salut dengan pendidikan literasi di Perancis khususnya di sekolah Butet.
    Apakah ini sama rata di semua sekolah? Jadi kepingin mendiskusikannya dengan manajemen di sekokah Teteh soal pentingnya pendidikan literasi seperti ini.

    ReplyDelete
    Replies
    1. Kurikulum nasional ini, teh. Ujian Bahasa Prancis tertulis dan lisan jadi syarat kelulusan SMA 😊

      Delete
  2. Mba Alfi. Saya bacanya terbengong-bengong, suka sekali dengan rangkaian kalimatnya. Keren Mba Alfi 😍👍
    ***

    Saat ini, perusahaan sudah banyak yang menerapkan ssitem diversity hire dalam proses rekrutmennya. Yang jelas saya tahu, adalah perusahaan besar Amerika. Dari ordal, saya diceritakan, bagaimana WAJIB ada perempuan yang harus tersaring. Ndilalah kualifikasi para applicant perempuan di bawah rata-rata. Tapi harus tetap ada yang masuk.

    Somehow hal ini jadi menimbulkan ketidakadilan juga ya. Yang benar-benar mampu, jadi tersisihkan karena dia laki-laki.

    Perubahan yang saya harapkan: agar semua aspek bisa dilihat secara bijaksana, antara pria dan wanita. Saling kolaborasi dan tidak ada yang dirugikan satu sama lain.🤲

    ReplyDelete
    Replies
    1. Mba Alfi, mau nambahin keterangan, khawatir jadi misleading. Momen tersebut tidak sering terjadi. Saya tahunya di batch rekrutmen tersebut saja di mana ada beberapa perempuan yang tetap diterima meskipun setelah melalui proses akhir, nilainya kurang ideal.
      ***

      Most of the time, banyaak perempuan yang memang benar-benar mampu dan diterima di perusahaan tersebut.

      Delete
    2. Ada satu buku lagi yang mau aku kutip benernya: Un Simple Diner. Udah aku tulis ulasannya di A Thousand Readings. Di situ cerita tentang perempuan yang diangkat jadi pimpinan karena "kuota" perempuan, plus tambahan "poin" karena dia imigran. Si perempuan akhirnya menolak. Padahal dia sebenernya bener-bener layak di jabatan itu dengan potensi dan pengalamannya.

      Mengamini harapan Jeng Uril: semoga perempuan bisa makin dilihat dengan lebih adil di berbagai aspek ke depannya 🙏

      Delete
  3. Teh Alfi, makasi pengingatnya: belum ditulis = tidak benar-benar ada. Ini pencerahan banget buat terus menulis dan berbagi keyakinan untuk memecah keyakinan lama ygang audah dituliskan duluan tanpa pernah dibantah.

    ReplyDelete
    Replies
    1. Semoga sedikit yang kita tulis bisa membawa setitik manfaat untuk pembaca. Bismillah. Yuk, semangaaat 🤗

      Delete

Post a Comment

Popular posts from this blog

Investasi untuk Anak

Blogger Curcoler? Yes!

Poulet Rôti du Dimanche