Relativitas Logika

Sejak berakhirnya libur musim gugur kemarin, saya selalu bangun pagi dan tidak bisa tidur lagi. Pasalnya, si Butet minta ditemani untuk mengerjakan tugas-tugasnya. Ditemani daring, lah. Via panggilan video.

Saat bisa menemani Butet mengerjakan tugas, langsung di kamar asramanya

Tugas-tugas perkuliahannya memang banyak sekali. Awalnya, Butet mengerjakannya malam. Saya sudah biasa menemaninya dengan menambah atau menggeser ritual ngobrol sore kami yang tak terhenti meski Butet merantau. Makin ke sini makin banyak tugas, Butet pun menambah jam belajarnya dengan pagi sesudah Subuh. Dan belakangan dia mendapati lebih efektif di pagi hari.

Untuk info, Subuh di Prancis saat ini baru datang menjelang jam 7 pagi. Jadi ya nggak pagi-pagi amat, sebenarnya, ya!? Perkuliahan Butet dimulai sekitar jam 9.30—10.30. Lumayan ada waktu kan!? Apalagi kampusnya hanya 500 meter dari asrama!

Berbeda dengan ritual mengobrol sore, saat video call untuk belajar, kami minim berbincang. Butet mengerjakan tugas, saya membaca atau menulis sambil terkantuk. Eh? Hehehe. Praktis sekedar sama-sama online. Memang Butet hanya ingin mencari dukungan motivasi, memastikan dia benar-benar bangun pagi untuk mengerjakan tugasnya, tidak tidur lagi atau malah browsing tidak jelas. Karenanya saya istilahkan sebagai "menemani".

Beginilah yang sering tampak di layar percakapan saat saya menemani Butet secara daring

Saya jadi terpikir saat merantau untuk kuliah di Bandung dulu. Saat internet belum meluas dan kepemilikan ponsel masih sangat terbatas. Komunikasi dengan orang tua hanya via telepon. Itupun paling seminggu sekali. Tak bisa sering-sering, karena tarif interlokal saat itu tidaklah murah. Dan telepon di kos tak boleh dimonopoli juga, kan!?

Rasanya tak masuk di akal saya jika tidak bisa mengetahui kabar anak-anak setiap saat. Bukan berarti sampai melacak mereka nih ya. Tapi sekedar bisa menghubungi mereka kapan pun saya mau. Dan saya tak menuntut untuk dijawab serta-merta kok. Tenang saja!

Lowbat adalah salah satu yang bisa menghentikan panggilan video kami

Itu baru membandingkan dengan masa saya merantau. Bagaimana dengan zaman Bapak kuliah berasrama di Semarang sementara Yangakung dan Yangati di Klaten? Komunikasi saat itu, selain bertemu langsung yang tidak mudah karena keterbatasan waktu dan alat transportasi, hanyalah lewat surat. Menunggu seminggu untuk mendapat jawaban, mana tahaaaan? Logika saya tidak sampai!

Namun yangakung-yangati sepertinya baik-baik saja. Mungkin cemas baru datang saat tak ada balasan surat setelah hitungan bulan. Bapak-ibu juga baru akan bertanya panjang-lebar jika saya perlu ditelepon berulang kali dalam satu minggu sampai bisa terhubung. 

Sedangkan saya? Titip sama Allah sih pasti ya. Tapi kalau sampai jam makan siang tak ada jawaban atas pesan pagi saya, pikiran sudah bertanya-tanya. Kalau sampai malam, serangan telepon pun dilancarkan. Hahaha.

Kalau ada yang mempertanyakan mengapa melihat dari sisi orang tua saja, selain untuk tidak memperpanjang-lebar, saya tahu kalau yang berposisi anak biasanya woles saja. Ya nggak? Hehehe. Astaghfirullaah.

Lowbat bisa diatasi dengan ... berpindah gadget!

Di sini saya diingatkan bagaimana logika itu relatif. Relatif waktu, tempat, kondisi, latar belakang penalarnya, ... Sesuatu yang tak masuk akal untuk kita, bisa berarti normal untuk orang lain. Demikian juga sebaliknya. Sesuatu yang normal saat itu, belum tentu akan dianggap wajar saat ini. Hal yang lumrah sekarang, bisa dianggap aneh di masa depan.

Saat menghadapi hal-hal yang tak kita pahami, hal-hal yang berbeda atau bahkan bertentangan dengan logika, saya jadi mawas diri. Coba melihat dahulu konteksnya—di mana, kapan, ... , lihat siapa yang berbicara—kondisinya, situasinya, latar belakangnya, ... Mencoba menempatkan diri di posisi lain, melihat dari sudut pandang berbeda, sebelum kemudian berpendapat. Itupun kalau memang diperlukan.

Mungkin seperti dalam filosofi Jawa: aja kagetan, aja gumunan, lan aja dumeh. Kita tidak boleh terlalu mudah kaget, terlalu gampang kagum, atau sebaliknya terlalu tinggi hati dalam menghadapi segala situasi.

Dalam mengaji Al-Qur'an yang merupakan pedoman wajib umat Islam pun kita diharuskan mempelajari asbabun nuzul (asal-usul turunnya ayat)-nya dan tidak menelan bulat-bulat secara harfiah, kan!? Apalagi hanya berita di sosial media. Masak mau diterima dengan taklid buta?

Saat berkesempatan menemani Butet mengerjakan tugas menggambar di bawah rintik gerimis, beberapa menit sebelum hujan deras

Sedang menulis, terpotong telepon Butet. Dia antara lain bercerita tentang dosen perspektif favoritnya. Cukup sekali penjelasan, bu dosen ini berhasil membuat Butet paham. Berbeda dengan pak dosen sebelumnya yang sempat membuat Butet merasa bersalah karena mengajukan pertanyaan dan beliau menjawab panjang-lebar tapi tak menjelaskan, yang menyebabkan pelajaran jadi terhambat.

Saya pun menanyai Butet, "Apakah teman-teman sekelasmu juga semua langsung mengerti dengan pelajaran bu dosen ini?"

Butet menjawab, "Itulah yang aku tak paham. Sudah jelas begitu, bagaimana mungkin masih ada saja yang tak mengerti? Rasanya tidak logis!"

Baiklah. Saya pun melanjutkan pembahasan tentang relativitas logika bersama Butet!


---

Tulisan ini diikutkan dalam Tantangan Blogging Mamah Gajah Ngeblog bulan November 2025 dengan tema Di Luar Logika yang diusung oleh Mamah Host Ririn



Comments

  1. Wah menarik deh ide tulisannya. Betul, logika adalah relatif.

    Duh jadi was-was membayangkan nanti bolak balik ingin telepon anak-anak saat mereka kuliah jauh. Dulu saat sudah pindah ke Bandung dan orang tua di Semarang, saya cuek sekali dan malah terganggu dengan telepon orang tua. Boleh juga kayanya mengusulkan online bersama, meskipun di kamera hanya kelihatan langit-langit saja :)

    ReplyDelete
  2. Aku penasarannya sama cara teh Alfi mendidik Butet sampai sebesar ini bisa seperti itu dekatnya.. Barakallah teteh.. Kapan-kapan cerita dong cara bangun bonding sama Butet wkt kecil hehe

    ReplyDelete

Post a Comment

Popular posts from this blog

Berbagai Hidangan Kambing Khas Solo

Perjalanan Bela Bangsa

Tanpa Internet? Bisakah?