Club Lecture di Museum Bonnard

Sabtu kemarin saya menghadiri Club Lecture. Awal bulan kok sudah pertemuan Club Lecture? Pertemuan spesial, memang ini. Diadakan di Musée Bonnard, dan dihadiri penulisnya. Yaiyyy!

Saya sudah mendapatkan bocoran infonya saat mengontak Nathalie, animatrice Club Lecture, mengabarkan tidak hadir Club Lecture bulan April lalu yang diadakan sehari sesudah lebaran dan saya masih di Marseille. Bulan Mei tak ada pertemuan Club Lecture. Hanya ada Ciné Lecture, yang saya juga tak bisa hadir. Kali itu karena sedang masalah lutut. Dan di situlah Nathalie membocorkan agenda Club Lecture au Musée alias Klub Buku di Museum ini.

Saat menerima informasi pertama dari mediatheque via posel, saya tak langsung menelepon untuk mendaftar. Memang sedang ribet, waktu itu juga. Saya baru menelepon mediatheque sesudah menerima undangan "resmi" dari mairie. Masih via posel juga.

Seperti biasa, saya ditawari mengantri meminjam bukunya di mediatheque. Dan seperti biasa saya menolaknya. Ingin membelinya sendiri. Selain alasan klasik bahwa kecepatan baca saya rendah, juga karena penulis akan hadir di pertemuan. Sekalian minta tanda tangan kan lumayan tuh.

Pada akhirnya saya tak sempat membeli bukunya. Jadilah Club Lecture kali ini makin spesial, karena untuk pertama kalinya saya hadir tanpa membaca bukunya!

Seperti judul acaranya, Club Lecture au Musée, pertemuan kali ini diadakan di Museum Bonnard. Satu-satunya museum di kota kami. Satu-satunya museum yang didedikasikan untuk pelukis Pierre Bonnard di dunia!

Kenapa di sana? Buku yang menjadi bahasan pertemuan kali ini adalah novel L'Indolente: le Mystere Marthe Bonnard karya Françoise Cloarec.

Marthe Solange adalah istri Pierre Bonnard. Hingga akhir pekan ini, Musée Bonnard memamerkan lukisan-lukisan pastelnya. Pas sekali kan, momennya?

Ditambah lagi, di Festival Cannes kemarin ditampilkan untuk pertama kalinya film Bonnard Pierre et Marthe yang disutradarai oleh Martin Provost dalam seleksi Cannes Prèmier, yang dari judulnya terlihat kan, kalau menceritakan tentang siapa? Dan novel L'Indolente sendiri adalah buah diskusi Martin Provost dengan Françoise Cloarec yang kemudian sempat terlupakan, dan keluar sebagai novel pada tahun 2016.

Saya datang sekitar 10 menit sebelum jadwal. Kebetulan pas di depan saya ada yang datang untuk Club Lecture juga. Petugas sekuriti museum mengarahkan kami ke personil mediatheque yang mendata peserta. Penuh, katanya, saat ibu depan saya menanyakan apakah temnnya bisa bergabung. Tak bisa menerima peserta tambahan.

Personil mediatheque itu sekaligus mendata untuk pertemuan rutin standar di akhir bulan nanti. Kebetulan saya sudah sekalian mendaftar saat menelepon untuk acara kemarin.

Sesudah daftar ulang, seorang personil museum menghampiri saya. Menanyakan apakah saya berminat membeli buku untuk nantinya ditandatangani. Rupanya mereka tak mau ribet membawa buku ke tempat acara. Kami diminta membeli dulu di butiknya.

Saya memilih buku versi poche. Selain alasan harga—saya masih harus membeli buku untuk pertemuan berikutnya—, sampulnya lebih menarik. Heu .... Dan tentu praktisnya ya. Karena ada kemungkinan saya akan membawanya selama liburan kalau tak sempat membacanya—karena memprioritaskan buku untuk pertemuan akhir Juni.

Selesai membayar dan menempelkan stiker sebagai penanda, saya bertemu dua rekan Club Lecture. Bersama-sama kami menuju lokasi acara di teras museum di lantai 3. 

Hari cerah cenderung panas. Kursi-kursi ditata di bawah naungan payung-payung persegi putih. Nyamannya duduk di keteduhan ditemani angin sepoi-sepoi.

Tak ada protokol resmi. Semua berjalan santai. Dimulai dengan pidato perwakilan mairie yang datang berlari-lari dan dibecandai karena baru hadir mepet waktunya. Beliau menjanjikan mengusahakan kota kami bisa menyaksikan film Bonnard akhir tahun ini, lebih cepat daripada jadwal nasionalnya Januari 2024 depan.

Acara dilanjutkan dengan diskusi buku. Françoise Cloarec menceritakan penyusunan bukunya. Terkagum saya mendengar kedalaman penelitian yang dibuatnya. Kapasitasnya sebagai pelukis (lulusan seni murni) dan psikoanalis membuat saya makin penasaran membaca buku tentang Marthe yang dikenal dengan beberapa macam nama belakang (nama keluarga) ini.

Veronique Serrano, kurator museum, menambahkan cerita di sana-sini. Terlihat bagaimana beliau fans berat Pierre Bonnard. Dan memang diakuinya. Semangatnya dalam bercerita membuat saya juga jatuh cinta pada Pierre Bonnard. 

Nathalie memandu acara. Mempersilakan peserta bertanya. Memoderatori diskusi seru yang tentu saja terasa kurang puas karena harus dipotong pukul 4 sore. Masih ada acara lain dalam agenda hari itu.

Penandatanganan buku, tentu saja! Dan rangkaian acara diakhiri dengan kunjungan ke museum dengan didampingi pemandu.

Saya memang belum melihat lukisan Marthe Bonnard yang dipamerkan saat ini. Saat mengajak Butet, malah dia pergi dengan temannya. Namun lukisan Pierre Bonnard yang menjadi koleksi permanen, tentu saja saya sudah melihatnya tiap kali ke museum. Bedanya, kali ini ada pemandunya!

Sebenarnya pernah juga sih, saya mengunjungi Museum Bonnard didampingi pemandu. Tak hanya masa menemani kelas Ucok dan Butet, yang tentunya yang disampaikan pemandu diadaptasikan dengan usia anak TK dan SD. Kali ini mungkin lebih spesial karena pesertanya juga tak terlalu banyak. Saya bahkan sempat menanyakan apakah sampul novel yang saya beli benar-benar ada lukisannya. Yang dijawabnya ada, tapi tidak menjadi bagian koleksi museum di kota kami.  

Saya terkesan sekali mendengar pemandu yang menyatakan bahwa Pierre Bonnard melukis untuk mengingat. Untuk mencatat. Beliau melukis bukan untuk (semata-mata) mencari uang. Pierre Bonnard melukis terutama untuk dirinya sendiri!

Dan itu mengingatkan pada niatan saya sendiri dalam menulis.


Comments

Popular posts from this blog

Memimpikan Bandung Tanpa Macet

Televisi

Pindah or not Pindah