Televisi

Tema Tantangan Blogging Mamah Gajah Ngeblog bulan Juni 2023 adalah “Hal Berkesan di Masa Kecil (dan/atau di Masa Sekolah)”. Untuk pertama kalinya, saya mengikuti penarikan undian temanya. Tak banyak yang hadir, hanya enam orang saja.

Saya tak langsung ada ide, apa yang mau saya tulis. Dan saya juga bukan pengejar posisi penyetor tambahan. Belum pernah sama sekali, malahan, selama dua tahun lebih konsisten ikut tantangan. Tapi untuk memanas-manasi mamah-mamah lainnya, saya mau setor cepat! 

Kebetulan terpikir akan sebuah tulisan lama. Saya mau merombaknya. Tulisan itu pernah saya posting di blog ini, mengarsipkan tugas menulis dengan tema "Life Event from a Viewpoint" yang saya kumpulkan untuk MOOC Writing for Young Readers: Opening the Treasure Chest yang diselenggarakan oleh Commonwealth Education Trust di platform Coursera—yang sangat saya rekomendasikan. 

Namun di sini saya memilih mengacu pada versi awalnya yang kebetulan belum pernah dipublikasikan secara umum sebelumnya. Karena cerita itu sebenarnya sudah pernah disetorkan juga untuk tugas dalam mengikuti Atelier Γ©criture, lokakarya menulis yang diadakan mairie kota tempat tinggal saya di tahun 2020. Tema tugas waktu itu adalah menuliskan pengalaman masa kecil, mendeskripsikan kejadian nyata, dan memasukkan satu unsur fiksi di dalamnya. Ya! Karena kisah itu memang diilhami dari pengalaman saya sendiri.

Dari naskah berbahasa Prancis, kemudian diadaptasi ke bahasa Inggris, dan sekarang dimodifikasi lagi ke bahasa Indonesia, bisakah pembaca menebak, mana bagian fiksinya?

---

Televisi

Saat saya masih kecil, ayah saya menjabat sebagai Mantri Polisi—sebuah jabatan warisan masa kolonial yang sudah tidak ada lagi, entah sejak kapan—di Kecamatan Baki, di Kabupaten Sukoharjo yang kemarin sempat viral karena dituduh terpencil. Sebagai pembantu Camat, ayah mendapatkan jatah rumah dinas. Tidak besar, tapi cukup diperlengkapi. Termasuk di dalamnya sebuah televisi.

Di awal tahun 1980, televisi masih termasuk barang mewah di daerah kami. Hanya beberapa rumah saja yang memilikinya. Televisi CRT yang dinyalakan dengan aki. Karena bahkan listrik pun belum masuk ke daerah kami.

Setiap sore, para tetangga datang untuk menonton televisi di rumah kami. Seingat saya waktu itu siaran televisi baru mulai pukul 16.30. Tetangga berkumpul selama sekitar satu jam, sampai menjelang azan Magrib tiba, menonton satu-satunya saluran tivi yang tersedia: TVRI. 

Logo TVRI di masa itu
(Sumber: website TVRI)

Kadang-kadang mereka kembali lagi kalau ada acara tivi yang menarik. Terutama di akhir pekan. Namun juga saat ada siaran langsung sepak bola, misalnya. 

Saya senang saat orang datang. Apalagi teman-teman saya juga ikut berkumpul. Ada rasa bangga juga memiliki televisi di rumah. Jiwa anak-anak saya tak sadar, bahwa televisi itu bukan milik saya, melainkan amanah pemerintah.

Di usia yang belum lima tahun, saya sudah mahir menyalakan televisi hitam-putih itu. Asal tersambung dengan aki yang penuh terisi, tak ada masalah mengaktifkan hiburan di RT kami saat orang tua saya terlambat pulang. Seperti hari itu. 

Namun hari itu saya kesal. Orang tua saya tak seharusnya terlambat pulang. Kami biasa berkomunikasi, mereka selalu menginformasikan kemungkinan keterlambatan. Tahun 80an jangankan ponsel, telepon rumah pun baru ada di kecamatan!

Saya tak mau melihat orang lain datang. Saya ingin menonton televisi sendiri. Atau paling tidak dengan orang rumah saja. Oh ya, jangan khawatir. Saya tak sendirian kok. Di rumah kami selalu ada om/tante, adik kandung atau sepupu dekat maupun jauh ibu atau bapak yang ikut tinggal, dan ada pengasuh saya juga.

Jangan cari saya di foto ini!
(Sumber foto: FB Backpacker Nusantara)

Sengambek apapun, jelas saya tak bisa mengusir begitu saja tetangga-tetangga yang biasa datang itu. Masih ada rasa sungkan di hati. Namun entah kenekatan apa yang merasuki, saya bersiasat: saya turunkan volume suara tivi sampai minimum, dan saya turunkan keterangan layar sampai yang paling gelap. 

Entah memang konfigurasi televisi waktu itu memungkinkan, entah ingatan saya yang terdistorsi, yang jelas saya berhasil meyakinkan tetangga-tetangga bahwa televisi kami rusak!

Namun rasa puas saya tak bertahan lama. Perasaan bersalah dengan cepat datang menggantikan, saat melihat wajah-wajah pasrah dan kecewa para tetangga yang pulang tanpa banyak tanya. Di antaranya ada teman-teman saya sendiri juga kan!?

Perasaan itu begitu menghantui sehingga saya memilih masuk ke kamar, menyendiri. Saya tak keluar untuk makan. Tidak juga saat orang tua saya datang dan mengajak keluar.

Keesokan harinya, ayah memanggil saya. Menegur dan menceramahi saya mengenai bahwa televisi itu, seperti halnya rumah kami, bukan milik kami sendiri. Semua itu milih pemerintah, yang artinya juga milik rakyat. Saya tak boleh memonopolinya. Dan seterusnya dan seterusnya.

Acara favorit di Minggu pagi
(Sumber foto: Twitter Museum Penerangan)

Bukannya menyesal, saya malah marah. Tentu saja bukan ke ayah. Bertanya-tanya siapa yang memergoki dan kemudian melaporkan perbuatan saya ke ayah. Apalagi kemudian, saat dengan alasan agar lebih banyak orang bisa menontonnya dengan lebih bebas, ayah memindahkan televisi itu ke kantor kelurahan!

Tak ada lagi televisi di rumah. Tak ada lagi tetangga dan teman-teman yang mengunjungi setiap petang. Tak ada lagi yang saya sombong-sombongkan. Saya membenci dan mencurigai semua orang di sekitar saya. Hingga saat ayah berpindah tugas yang kebetulan tak lama kemudian. Dan televisi juga menjadi barang yang makin jamak.

Saya sama sekali tak berpikir, bahwa bisa saja waktu itu ayah menemukan sendiri hasil kenakalan kreativitas saya dengan memeriksa langsung kondisi televisi yang sebenarnya baik-baik saja itu.





Comments

  1. Fiksinya bagian tivinya dipindah ke kelurahan bukan? Atau mantri polisi? Haha.

    ReplyDelete
    Replies
    1. Jawabannya nanti di akhir tantangan yaaa. Hihihi

      Delete
  2. Wah... tampaknya kita agak-agak sejaman nih. Sesi nonton bareng di rumah (dan tivinya masih hitam-putih pula πŸ˜…), lalu menanti-nanti Si Unyil setiap minggu. Ah... masa kecil yang sangat berkesan ya itu. Anak masa kini mana tahu serunya nobar.

    ReplyDelete
    Replies
    1. Anak-anakku masih nobar sih teh. Tapi paling nobar acara sesuatu. Atau netflix. Mungkin suatu saat nanti mereka bakal cerita ke anak-anaknya gimana nobar pake layar monitor komputer? πŸ€”πŸ˜

      Delete
  3. Ngeliat anak2 nobar itu jadi inget sama saya sendiri yang kalo nonton tivi sampai terbengong2 dan kalo dipanggil gak bakal nyahut.. fokus banget sama tipi.

    Ngangenin ya masa2 itu. Masa gadget masih langka.
    Bagian fiksinya yg utak atik tivi. Bukan ya hehe..

    Makasih teh udah ikut tantangan bulan ini 😍πŸ₯°

    ReplyDelete
    Replies
    1. Hohooo. Tunggu jawabannya di akhir tantangan yak! Hehehe.
      Makasih untuk temanya yg menarik ini πŸ˜πŸ€—

      Delete
  4. Terbengong-bengong sama anak kecil belum 5 tahun tapi bisa memanipulasi para tetangga yang rutin nimbrung nonton dengan membuat TV seolah olah rusak. Ehehe. Kok bisa ya Teh Alfi. Keren. Pantas saja masuk IF ITB, passing grade numero uno UMPTN pada masa itu ehehehe. πŸ˜πŸ‘

    ReplyDelete
    Replies
    1. Hahaha. Sesama mamah gajah dilarang saling menyanjung. Eh? 🀭🀭✌️
      Skill kemandirian papanya Boo di usia 5 taun jelas lebih berguna laaahhh πŸ”₯

      Delete
  5. soo nostalgic teh! jaman waktu kalau tv nya rada-rada 'bersemut' atau kresek-kresek trus dipukul tvnya biar bener huehehehe

    ReplyDelete
    Replies
    1. Hahaha benerrr. Jangan lupa puter2 dulu antenanya teh. Musti manjat ke genteng, kl antena luar. Bukan sama saya kok. Tenaaang! πŸ˜‚

      Delete
  6. TV hitam putih duuuhhh kenanganku jua ini teh.
    Pernah ikut cerdas cermat tingkat SD pas kelas 6 di TVRI. Di tonton tetangga dan teman sekomplek sesekolah ha3 ... sayang gak ada rekamannya.

    ReplyDelete
    Replies
    1. Kasih spoiler dapet juara berapa nggak teh, sebelum nobar? 😁 Pasti rameee 🀩

      Delete
  7. Hihi menarik sekali menyimak cerita tentang televisi zaman dulu. Orang tuaku juga cerita kayak gini. Pasti rame2 nonton di rumahnya karena termasuk salah satu dari sedikit orang yang punya tv. Privilese zaman itu ya, tv 😁

    ReplyDelete
    Replies
    1. Dah ga ngalamin nobar tv ya? Jadi kerasa beda angkatannya! Hahahaha πŸ˜‚✌️

      Delete
  8. Unik juga ya Fi, punya TV yang jadi 'milik bersama' orang sekampung. Nggak kebayang cara kerjanya TV yang masih dihidupkan dengan aki.

    ReplyDelete
    Replies
    1. Nggak ngalamin tivi pake aki teh? Ini salah satu kenangan terjauh yang masih aku ingat πŸ˜„

      Delete
  9. Fiksinya di bagian tetangga pulang karena TV rusaaak.. nggak bisa bayanginnya. Iseng bangetπŸ˜‚

    ReplyDelete
    Replies
    1. Hahaha entahlah kok bisa, padahal aku cenderung anak baik2 lho. Mungkin jadi kalemnya setelah kejadian itu? 🀭🀭
      Jawabannya nanti sesudah pengumuman tantangan yaaa πŸ€—

      Delete

Post a Comment

Popular posts from this blog

Berbagai Hidangan Kambing Khas Solo

Memimpikan Bandung Tanpa Macet