Ucok Wisuda Sarjana

Kemarin, si Ucok wisuda. Ya! Wisuda! Studinya dalam tingkat sarjana sudah berakhir. Dan kemarin, dia menerima ijazah Bachelor-nya!

Cepat sekali? Tidak juga! Pas 3 tahun kok, sesuai program standar sarjana di Eropa. Bahkan kalau mengingat perjuangannya, sungguh penuh cerita.

Ucok lulus SMA tahun 2019. Di Eropa—untuk tidak menggeneralisasi karena saya belum benar-benar survey juga—pendaftaran ke universitas sudah dimulai sejak bulan Januari. Pilihan pertama Ucok adalah Game Design di Universitas Uppsala Swedia. Tapi tentu saja dia juga mengikuti prosedur pendaftaran perguruan tinggi negeri di Prancis yang dipusatkan di platform Parcoursup.

Penerimaan mahasiswa pada prinsipnya dilakukan dengan seleksi berkas. Beberapa perguruan tinggi yang lebih selektif mengadakan tambahan tes secara mandiri. Seperti untuk masuk ke jaringan Polytech (bedakan dengan Ecole Polytechnique yang seleksinya jauh lebih ketat lagi) dan sekolah jurnalis.

Ya, Ucok berminat juga mempelajari jurnalisme meski kami kurang setuju. Kami biarkan dan fasilitasi dengan mengantarnya ujian seleksi. Dan ternyata dia tidak diterima. Dengan bonus kesadaran diri bahwa itu memang bukan tempatnya.

Universitas Uppsala menolaknya. Tak lama sesudah mendaftar. Tak diberitahukan kenapanya. Dugaan kami adalah karena dari luar Swedia dan Ucok belum memiliki ijazah SMA seperti yang tertulis di persyaratan. Dan dalam prakteknya, teman-teman Ucok tak ada satupun yang masuk ke sana tepat sesudah lulus SMA. 

Ucok pun akhirnya kuliah di Polytech Nice yang menerimanya di saat dia sedang mendaftar asrama di Tours. Setahun kemudian, pada 2020, baru kuliah di Swedia. Online dulu sampai Desember. Karena pandemi.

Ucok berangkat sendiri ke Visby, Desember 2020. Untuk pertama kalinya berpesawat sendiri. Ke tempat yang belum kami kenal sama sekali. Harus berganti pesawat, pula! Dan lalu ditambah kejadian tetiba jadwal maskapai berubah, yang menyebabkannya harus berganti jalur, beetambah lokasi transit, dan membuatnya harus menginap di Arlanda sebelum terbang ke Visby.

Sungguh tak tenang melepasnya sendiri di bandara waktu itu. Saya minta dia kirim kabar di setiap tahapnya, terutama saat harus klaim penginapan karena kami sendiri pun belum pernah mengalaminya. Baru tenang saat bisa meneleponnya di hotelnya. Apalagi saat pamannya yang berkuliah di Uppsala menyempatkan datang memantau dan berkirim foto.

Visby memang tak sejauh Indonesia. Namun perjalanan ke sana sungguh rumitnya. Saya sendiri baru sekali ke kota yang indah itu. Kalau musim panas, transportasi nyaman dari Nice. Begitu musim libur selesai, tak hanya rumit, tapi juga menantang dengan cuaca ekstremnya.

Lebih tenang, saat mendengarnya berkabar bahwa pemilik rumah tempat dia menyewa kamar menjemputnya ke bandara. Perhatian juga, di tengah kekhawatiran saya mendengar badai yang sedang melanda. Diskusi panjang, saat Ucok menyatakan ingin pindah hanya dua bulan sesudahnya. Lega, setelah dengan sabar mengantri, dia menemukan studio kecil dengan dapur dan kamar mandi di dalam yang sampai saat ini ditinggalinya.

Bangga, melihat dia memasak sendiri demi penghematan. Becanda, bahwa dia bisa lebih mudah menemukan kecap manis ABC ketimbang di Cannes. Terharu, saat dia meminta tambahan kiriman uang karena sibuk dengan tugas kuliah dan kemahasiswaan hingga tak sempat masak dan harus banyak jajan.

Sedih, saat ulang tahun ke-20-nya dia tak di rumah. Lalu ulang-ulang tahun yang lain dan yang berikutnya. Merasa tak berdaya  saat Ucok kena Covid tahun lalu. Di saat seharusnya kami berkumpul dan bersama ke Indonesia, pula! Senangnya, saat Desember kemarin bisa berkumpul berempat bersama meski tak lama setelah untuk pertama kalinya setahun tak berjumpa. Semoga tak ada lagi perpisahan selama itu.

Semua sudah berlalu? Belum. Karena ada rencana Ucok melanjutkan master di sana. Di Visby sendiri, atau di kota lain di Swedia. Alternatif kalau tak mendapatkan pekerjaan sesuai yang dia inginkan. Meski kalau saya dan papanya lebih memilih dia sekolah lagi dulu. Namun ya kita lihat saja nanti bulan Juli, masa pengumuman penerimaan masternya.

Kami tidak hadir di acara wisuda. Ucok bilang tak perlu. Dan memang universitasnya sendiri menyatakan bahwa acara itu bukan wisuda formal. Hanya kumpul-kumpul, makan-makan, berbincang informal, dengan pidato terima kasih dari universitas karena sudah belajar di sana.

Sampai saat menulis ini, saya masih menunggu kabar dari Ucok mengenai wisudanya. Juga tentang tugas akhirnya, yang baru disidangkan Kamis, sehari sebelumnya. Lulus dengan revisi minor, katanya. Alhamdulillah. Tapi saya mau posting, dan terutama setor cepat ke KLIP. Karena pagi ini ada MGNgariung dan siangnya ada Club Lecture spesial di Museum Bonnard asmpai sore.

Acara wisuda kemarin dijadwalkan jam 4 sore. Sepertinya dia melanjutkan kumpul-kumpul dengan teman-temannya. Mungkin Minggu malam kami baru bertelepon seperti biasa.

Ya. Saya punya anak sarjana. Sarjana yang mandiri, tegar, dan pekerja keras. Semoga Allah selalu menjaga agar tetap teguh dan bahagia di jalan-Nya. Aamiin.


Comments

Popular posts from this blog

Memimpikan Bandung Tanpa Macet

Televisi

Pindah or not Pindah