Investasi untuk Anak

Tak terasa, Ucok sudah menyelesaikan studi bachelor-nya dan Butet sudah memasuki tahun kedua SMA. Saat ini Ucok melanjutkan studi jenjang pasca sarjana. Masih di Swedia. Dan Butet masih di sekolah swasta di kota kami.

Banyak yang bertanya di Prancis, kok bisa kami menguliahkan anak ke luar negeri dan menyekolahkan SMP-SMA mereka di sekolah swasta. Secara kami hanya tinggal di rumah kecil, mobil seadanya, dan keseharian yang sederhana.

Biaya Sekolah

Berbeda dengan di Indonesia yang meski profesi sama bisa mendapatkan gaji sangat bervariasi, pendapatan cukup merata di Prancis. Segitu-gitu saja. Tak jauh beda untuk profesi dan pengalaman kerja yang sama meski di perusahaan yang berlainan. 

Mereka yang pendapatannya kecil dibebani pajak kecil, atau bahkan bebas pajak. Yang masih kekurangan bisa mendapatkan bantuan tunjangan dari pemerintah. Walhasil, pendapatan masing-masing keluarga tak jauh berbeda. Keluarga normal standar. Bukan para konglomerat, tentunya ya. 

Semua orang bisa memperkirakan pemasukan keluarga kami tiap bulannya. Tidak tepat-tepat amat, tentunya. Tapi ada lah, gambarannya. Karenanha, saya tak heran saat menceritakan bahwa dua anak saya sekolah di swasta dan mendapat komentar, "Kamu kaya ya?"

Sekolah swasta di Prancis sebenarnya tidaklah mahal. Tarifnya kurang-lebih sama untuk sekolah swasta bersubsidi (privé conventionnée), sekitar 2000 euro saja. Per tahun! Sudah full semua kecuali biaya loker (27 euro per tahun), pembelian SKS atau pendaftaran online-nya (dari pengalaman, total tak sampai 30 euro), makan siang yang bisa diatur, dan kemungkinan karyawisata yang tidak wajib diikuti. Tak ada uang gedung, seragam, atau buku pelajaran. Pembayarannya bisa diangsur 10 kali, seperti yang kami lakukan. Murah kan, dibanding sekolah swasta di Indonesia?

Kuliah di Swedia gratis! Kami cukup mengeluarkan uang untuk biaya hidup saja. Hidup sederhana. Sesuai kemampuan kami, yang sudah diketahui Ucok dari awal sebelum memutuskan merantau. Agar dia bertanggung jawab atas keputusannya. Yang alhamdulillah dijaga hingga saat ini.

Gedung SMP-SMA Ucok dan Butet dilihat dari puncak menara Suquet (yang mana, hayooo?)

Rezeki Anak

Kalau ditanya 15 tahun yang lalu, saat Ucok pertama masuk SD, terus terang saya tak bisa membayangkan membiayainya hidup di Swedia dengan pendapatan suami saat itu. Namun kami tak pernah sekalipun menutup harapan anak-anak untuk melanjutkan pendidikannya ke mana pun mereka mau. Meski tetap dengan batasan realitas.

Misalnya saat mereka mengungkapkan kemungkinan untuk kuliah ke Inggris atau Amerika Serikat yang biayanya besar, kami tak langsung melarang dengan alasan karena jelas kami tak akan mampu membiayainya. Kami sampaikan saja bahwa mereka harus belajar lebih keras, agar bisa mendapatkan beasiswa. Sementara di belakang, saya dan suami juga menabung lebih giat. Paling tidak berusaha untuk bantu-bantu biaya hidupnya lah. Sambil bersiap mencari informasi mengenai kredit untuk pelajar jika waktunya sampai nanti, kalau memang masih diperlukan. Plus tawakal, percaya bahwa anak-anak memiliki rezeki mereka masing-masing. Dan itu sudah terbukti! 

Tak lama sesudah Ucok diterima di Swedia, papanya diterima di perusahaan yang lebih besar. Dengan gaji yang lebih longgar. Cukup untuk membiayai Ucok yang harus memulai kuliah luring sesudah kuncitara diakhiri di Eropa.

Gedung utama kampus Ucok dari kejauhan (kelihatan nggak?)

Skala Prioritas

Seperti yang terlihat, kami memang hidup seadanya. Cenderung mengencangkan ikat pinggang, malahan. Masih dalam batasan cukup kok. Tenang saja! Cukup dalam standar kami, tentunya!

Kami boleh dibilang tak memiliki deposito selain tabungan untuk membeli tiket mudik dan mencicil biaya haji (aamiin), tak memiliki rumah selain yang kami tempati yang itupun masih belum dilunasi, apalagi tanah. Karenanya jangan berharap kami berpenampilan dengan baju bermerek atau tas mewah. Kami lebih memilih mengalokasikan dana untuk itu ke biaya sekolah. 

Beberapa orang mungkin lebih memilih menyekolahkan anak mereka ke sekolah negeri yang di Prancis kualitasnya sudah cukup merata. Orang lain lagi mensyaratkan anaknya untuk kuliah di dalam kota untuk menekan pengeluaran. Dan saya mengenal beberapa anak yang memutuskan pilihan perguruan tingginya berdasarkan kedekatan domisili dengan orang tuanya untuk bisa hidup lebih nyaman.

Saya bisa mengerti. 200 euro per bulan itu jumlah yang cukup banyak untuk kami juga. Kalaupun tidak untuk menaikkan kenyamanan hidup, ditabung bisa menghasilkan jumlah yang besar kan!? Uangnya bisa digunakan untuk membeli properti, misalnya? Atau menanam saham? Investasi, lah! 

Namun itu pilihan. Dan kami sudah menentukan pilihan kami sendiri.

Yang dipercaya menjaga investasi Butet

Investasi untuk Anak

Kami tak berencana memberikan harta dalam bentuk materi ke anak-anak nantinya. Kami hanya berusaha memberikan bekal untuk mereka di masa depan dengan ilmu. Tanpa melupakan keimanan, akhlak yang baik, dan kesehatan, pastinya. Itulah investasi kami untuk mereka.

Kami harapkan investasi kami berbuah baik. Kami ingin bisa memberi cukup bekal agar kelak anak-anak bisa hidup mandiri dengan nyaman dan bahagia setelah lepas dari tanggung jawab kami, orang tua mereka. Dan kemudian mereka bisa menjalankan tanggung jawab terhadap keluarga mereka sendiri dengan baik.

Sambil tak lupa kami berinvestasi untuk diri berdua, baik materi juga jasmani dan rohani, agar tak tergantung pada anak-anak di hari senja. Kami tak mengharapkan apa-apa dari anak-anak selain kebahagiaan mereka. Karena saya dan suami sepakat bahwa anak bukanlah lahan investasi orang tuanya.


---

Tulisan ini diikutkan dalam Tantangan Blogging Mamah Gajah Ngeblog bulan Oktober 2023 dengan tema “Investasi yang Ingin atau Sudah Dilakukan” yang diusulkan oleh Mamah Dini.




 

  



Comments

  1. Keren teh Alfi artikelnya. Makasih atas reminder tentang tak menyusahkan anak saat usia senior. Setuju banget bahwa pendidikan lebih penting dari warisan harta. Sepertinya teladan orang tua kita sama teh ...

    ReplyDelete
    Replies
    1. AlhamduliLlaah. Terus saling mengingatkan dan menyemangati ya teeeh 🤗❤️

      Delete
  2. Semoga dimudahkan selalu perjalanan Ucok, Butet, Teh Alfi dan keluarga. Satu frekuensi ni kita Teh Alfi, semoga ada rejeki Cici bisa sekolah ke Europe seperti Bang Ucok.

    ReplyDelete
    Replies
    1. Aamiin. Lancar2, sukses, dan senang selalu ya Cici 🤗❤️

      Delete
  3. Itu kenapa ada kucing2 kayak di toko? Hehehe

    ReplyDelete
    Replies
    1. Biar rejeki dateng lancaaar. Hihihi. Aamiin...
      Celengannya si Butet itu kak. Dia beli pake tabungan dia sendiri. Rekursif ga? Hahaha.

      Delete
  4. Semoga lancar studinya Ucok dan Butet

    ReplyDelete
  5. Sepakat sama tulisan Teteh. Pendidikan adalah investasi terbaik. Batu loncatan untuk kehidupan yang lebih baik, insya Allah.

    ReplyDelete
  6. Nama SMP-SMA-nya Ucok dan Butet, Les Fauvettes bukan Teh? 😅
    Kasih jawabannya, Mba Alfi, di foto tersebut, yang mana gedungnya, Mba?
    ***
    Selamat menempuh pasca sarjana di Uppsala ya Nak Ucok, semoga lancar studinya 🤲🏻. Dan selamat menjadi anak kelas 11 ya Butet, play hard study harder. 🥰

    ReplyDelete
    Replies
    1. Terima kasih, tante 🥰
      Semangaaattt 🔥

      Sekolah Ucok dan Butet bukan ituuu. Coba cari lagi. Ga ada banyak sekolah swasta kok, kota Cannes 😁

      Klik fotonya, zoom di tengah2. Bangunan sekolahnya yang putih ada logo sekolahnya, dan krem lebih tinggi di belakangnya. Ada lapangan basketnya. Bisa nemuin nggak? 😜

      Delete
    2. Ahaha Teh bikin makin penasaran aja. Niy barusan aku zoom, mentok Teh zooming-nya, ga bisa lebih besar lagi. Jadi gak klihatan logo, maupun lap basketnya 😅

      Delete
    3. Klik dulu gambarnya teh. Jangan zoom langsung di tulisannya. (Biar tambah penasaran) 🤭🤭

      Delete
  7. Ternyata bener banget ya tiap anak memang ada rezekinya. Ada aja jalannya buat biaya pendidikan tiap anak. Btw, nggak dijelaskan kenapa memilih sekolah swasta untuk Butet selain karena biayanya terjangkau? Apa kelebihan sekolah-sekolah swasta di Prancis Fi?

    ReplyDelete
    Replies
    1. Hmmm. Ide tulisan nih! 🤔😁
      Kami sih nyari lingkungan teh. Baik akademik maupun pergaulan. Baik dari siswanya maupun dari personil sekolahnya.
      Kapan2 coba ditulis deh ya 😉

      Delete
  8. Saya setuju dengan kalimat terakhir, bahwa anak bukanlah lahan investasi untuk orang tua. Pendapat ini bisa memutus Sandwich Generation.
    Semoga anak-anak lancar studi nya dan sukses selalu

    ReplyDelete

Post a Comment

Popular posts from this blog

Memimpikan Bandung Tanpa Macet

Televisi

Pindah or not Pindah