Kisah Panjang tentang Jam Tangan

Waktu saya awal kuliah, bapak mengirimkan uang saat ulang tahun saya. Satu juta rupiah. Senilai harga jam tangan yang saya idamkan: Seiko Kinetic, jam tangan dengan teknologi tanpa batre yang saya lihat iklan-iklannya waktu itu keren habis.

Entah apa yang tepatnya menjadi pertimbangan, uang itu tak saya belikan jam tangan. Saya memutuskan membelanjakannya untuk hard disk. Kapasitas satu giga byte. Di tahun 1996, itu sudah yang terbesar!

Komputer yang saya bawa dari Solo sudah ketinggalan. Apalagi untuk tugas-tugas mahasiswa Teknik Informatika seperti saya. Kapasitas memori dan penyimpanannya sudah sangat kepayahan. Maklum saja, desktop rakitan itu dibeli saat saya masih SMP.

Bapak bilang kalau belum ada dana untuk membeli komputer baru. Beliau mengijinkan saya membeli hard disk itu. Belakangan, atas saran teman-teman, saya membeli slot-sot memori bekas untuk ditambahkan sendiri ke motherboard.

Saya berniat untuk menabung. Sedikit demi sedikit mengumpulkan uang untuk membeli jam tangan idaman di ulang tahun berikutnya. Namun krisis moneter 1997 pun datang!

USD yang semula hanya 2000an rupiah, melonjak hingga 10000an! Tentu saja ini berdampak pada harga barang. Terutama barang-barang impor. Termasuk jam tangan idaman.

Tabungan setahun jelas tak bisa membayar harga jam yang naik hingga lima kali lipat! Saya sedih. Dan saya yakin bapak dan ibu juga sedih, menyesali saya yang tak langsung membelinya waktu itu. Tapi semua sudah terlanjur.

Penyesalan bertambah saat bapak meninggal dunia November 1997. Jam impian makin sulit diraih dengan berkurangnya jatah uang saku yang hanya tergantung pada ibu. Saya pun berjanji dalam hati, untuk membeli jam tangan itu dengan gaji pertama di kemudian hari.

Ternyata gaji pertama saya datang lebih cepat. Sebagai asisten dosen di jurusan—yang pada masa kerja saya digaji dengan SPP, jadi tak menerima honor dalam bentuk uang kontan—saya berkesempatan menjadi asisten program diploma kerja sama Teknik Informatika dengan PT Pos Indonesia. Pendapatan saya cukup besar. Hanya saja, semua saya gunakan untuk biaya hidup.

Saya sempat menyisihkan sedikit gaji pertama untuk membeli Al-Quran sebagai kenang-kenangan, dan beberapa buku impor yang sebelumnya rutin dijatahkan bapak yang tau kegemaran membaca saya. Agak iri juga melihat ada rekan yang membeli cincin emas dengan gajinya. Namun saya tau diri. Alhamdulillah bisa meringankan ibu yang membesarkan dua anak besar-besar sendiri.

Sempat putus asa dalam mewujudkan niat membeli jam tangan impian saat saya menikah, merantau, dan tidak bekerja. Rasanya tak pantas meminta suami membelikan. Harganya pun makin naik saja karena teknologi kinetic makin berkembang juga. Apalagi model khusus perempuan sangat jarang dikeluarkan.

Niat membeli jam dengan hasil keringat sendiri tetap dijaga meski dipendam. Perlahan agak bergeser. Bukan lagi harus Seiko Kinetic, tapi jam tangan saja. Jam dengan teknologi terbaru di saat bisa membeli nantinya. Dan baru terwujud tahun lalu!

Sejak mencapai usia 40 tahun, saya sudah bilang ke suami untuk berhenti membelikan kado. Cukup belikan kue dan buku saja, selain libur masak seharian. Buku itu pun tak perlu yang mahal. Tahun lalu misalnya, saya meminta Detective Conan jilid 100.

Namun tahun lalu saya juga meminta sesuatu yang spesial: diizinkan mengambil tabungan gaji sebagai pengajar BIPA dan membelanjakannya untuk jam tangan!

Sebenarnya gaji sudah saya terima sejak setahun sebelumnya. Oleh suami, dimasukkan ke dalam deposito atas nama saya. Gaji menjadi Pantarlih awal tahun ini pun demikian. Agar jelas terpisah, dan bisa digunakan kemudian sesuka saya. Pendapatan suami milik berdua, pendapatan istri adalah milik pribadi istri sendiri kan!?

Di tahun 2021 saya sudah berpikir mengenai pembelian jam tangan ini. Tapi selain bahwa saya masih berpikir dan belum bisa memutuskan jam apa yang mau saya beli, saya juga menimbang untuk membelinya ulang tahun berikutnya saja. Saat saya sudah melampaui usia bapak.

Begitulah akhirnya saya membeli Samsung Galaxy Watch 5 yang baru keluar tahun 2022 kemarin. Dengan potongan harga dari toko tempat pembelian, harganya mirip dengan nilai Seiko Kinetic pasca krisis moneter 1997. Dan gaji pengajar BIPA yang saya terima, cukup untuk itu. Seakan mengingatkan bahwa semua memang pasti ada jalannya, dan akan tiba pada waktu yang tepat.


Comments

Popular posts from this blog

Memimpikan Bandung Tanpa Macet

Televisi

Pindah or not Pindah