Mengunjungi Masjid Besar Paris
AlhamduliLlaah kami sudah tiba kembali di rumah setelah satu minggu di Paris. Keluar rumah menuju bandara pada tanggal 22 pukul 6 pagi, dan masuk rumah tanggal 29 pukul 9 pagi.
Satu minggu 3 jam? Tidak! Satu minggu 2 jam! Karena saat berangkat masih jam musim panas (GMT+2) dan pulangnya sudah jam musim dingin (GMT+1).
Saya sendiri sempat kaget saat terbangun di kereta dan melihat sudah masuk Subuh. Wajar saja. Jam dimundurkan, waktu sholat jadi terasa maju. Kemarin jam 7 baru masuk subuh, hari ini jam 6 sudah subuh.
Bingung? Tak usah berpikir panjang. Cukup pegang bahwa dengan jam musim dingin, perbedaan waktu Prancis dengan WIB jadi 6 jam. WIB lebih dahulu!
Ada banyak cerita dari Paris, tentu. Sejak dari keberangkatan, tiga jam di kebun binatang yang tak direncana, jalan-jalan sendirian selama Butet workshop dan suami kerja, atau tentang workshop Butet sendiri yang menjadi alasan kami ke Paris kali ini.
Kali ini kami ke Paris bukan untuk menyaksikan French Open Badminton. Tahun ini, French Open diadakan di kota Rennes, bukan di Paris. Gedung pertandingan di Paris sedang dipersiapkan menghadapi Olimpiade 2024.
Agak gemes juga karena sebenarnya waktunya bertepatan. Kami sempat menimbang untuk le Rennes. Namun memutuskan tak memesan dari awal karena keterbatasan dana. Saat sudah di Paris, kami lihat harga tiket kereta ke Rennes sudah mahal sekali. Belum lagi tiket pulang ke Cannes-nya yang melonjak tinggi di hari Minggu.
Kami sendiri memilih pulang naik kereta malam. Moda transportasi yang sempat dihapuskan. Saya belum cari lagi penyebabnya. Tapi memang perjalanan TGV, kereta cepat biasa, Paris-Cannes hanya memakan waktu 5 jam. Sedangkan dengan kereta malam ini, perjalanan memakan waktu hampir 12 jam. Eh, 11 jam. Karena berangkat 20.51 CEST dan sampai 8.30 CET.
Pusing lagi? Bahas yang lain saja ya! Hahaha.
Perjalanan ini mengingatkan saya akan kunjungan ibu dan bapak ke Prancis tahun 2011. Saat itu kami ke Paris pulang-pergi menggunakan kereta. Pergi dengan kereta pagi, pulang dengan kereta malam. Ceritanya biar merasakan dua macam perjalanan.
Sebagai orang Indonesia yang tinggal di Indonesia, perjalanan kereta 11 jam sih cingcay lah ya. Mana ini 11 jam untuk 900 km. Normal. Malah masih cepat. Apalagi kereta nyaman, relatif tak berisik, dan jelas lebih stabil.
Dengan kereta siang, menyaksikan pemandangan Prancis. Pedesaan dengan perternakannya, ladang canola, anggur, ... juga sawah dengan padi panjangnya. Merasakan kereta TGV yang berkecepatan 300 km/jam.
Kereta malam menghemat waktu. Pergi malam, tidur, bangun-bangun sudah sampai tujuan. Meski saat itu sama-sama kereta TGV, kereta yang jalan malam, dioperasikan dengan kecepatan rendah.
Kereta malam yang berjalan saat ini merupakan kereta antar kota biasa. Bukan TGV. Kami sengaja mengambil kereta malam agar sempat jalan-jalan seharian Sabtunya. Selain karena memang ini pilihan termurah untuk akhir pekan saat libur sekolah begini.
Satu lagi yang mengingatkan kunjungan ibu-bapak adalah saat saya jalan sendiri ke masjid besar Paris. Saat itu saya habis janjian ketemuan dengan teman. Waktunya nanggung, kalau kembali ke hotel sebelum menjemput Butet. Saya putuskan mampir ke Mosquee de Paris. Saya ingin mengunjungi.
Saat membawa ibu-bapak ke Paris, kami mampir ke masjid besar juga. Waktu itu kami hanya sholat. Tak bisa berkeliling berkunjung. Sepertinya kemalaman. Memang setelah itu kami langsung ke stasiun untuk kembali ke Cannes dengan kereta malam.
Dalam perjalanan ke masjid, ada pesan dari bapak di grup whatsapp keluarga. Pas saat itu menara masjid tampak di kejauhan. Saya foto dan kirimkan ke whatsapp keluarga. Obrolan pun berlanjut. Meski tak lancar.
Ya kan saya musti wudhu dan sholat. Meski waktu sholat sih sebenarnya masih luang, untuk musafir yang bisa menjamak seperti saya. Tapi mumpung sudah di masjid lah ya.
Selesai sholat saya ke tempat pembelian tiket berkunjung. Harga tiket murah. Hanya 3 euro saja per orang. 2 euro untuk anak-anak, pelajar, dan rombongan lebih dari 10 orang. Saya yang hanya memiliki uang receh 2 euros dan beberapa sen—hanya cukup untuk jaga-jaga kalau harus membeli satu tiket bus—sudah bersiap membeli tiket masuk plus koin suvenir seharga 2 euro. Ceritanya biar lebih pantes membayarnya dengan kartu debit.
Saat sampai di kasir, penjaganya malah bilang "Silakan" sambil menyorongkan dagu, memberi kode untuk saya bergegas. Di belakang saya memang sudah ada yang mengantri, dan saya pernah dengar kalau berkunjung ke masjid ini gratis untuk para muslim. Namun tak ada aturan resmi.
Sebelum hari itu saya bertanya-tanya bagaimana prakteknya menggratiskan untuk para muslim? Kemarin pertanyaan saya ganti menjadi bagaimana caranya menyaring bayaran dari pengunjung non muslim?
Masuk ke masjid bebas tanpa kontrol. Pintu menuju tempat sholat sama dengan lokasi berkunjung. Tak ada penjaga pengecek tiket. Saya masuk tanpa menyadari kesamaan itu. Kalem wudhu, sholat, lalu keluar lagi ke kasir. Kemudian masuk lagi untuk berkunjung! Hahaha.
Sepertinya memang tergantung kejujuran pengunjung. Yang mau mencuri kesempatan, bisa saja mencoba masuk begitu saja tanpa membayar. Namun saya lihat semua tertib dan sopan. Yang tak sholat pun mengobrol dengan suara rendah saat berkunjung berjalan-jalan.
Arah urutan kunjungan diberi tanda panah kuning yang jelas. Terlihat banyak pengunjung di masjid saat itu. Banyak keluarga. Maklum saat liburan sekolah. Dan pas menjelang waktu Asar juga.
Sayang sekali, praktis tak ada tulisan keterangan. Padahal saya yakin banyak yang tertarik juga untuk mengetahui mengenai arsitekturnya, motif dan warna mosaiknya, ... untuk apa ruang imam, apa fungsi sebenarnya menara masjid, mengapa posisi karpet tidak selaras dengan bentuk ruangannya, .... Kalau hanya mengenai siapa arsitek, luas bangunan, atau tinggi menara sih bisa dicari di google lah.
Ada satu ruangan yang berisi informasi sejarah pembangunan masjid. Sepertinya itu "sisa" pameran peringatan 100 tahun peletakan batu pertama masjid besar Paris ini pada 19 Oktober 2022. Apakah akan ada peringatan 100 tahun peresmian masjid pada tahun 2026? Kita tunggu saja!
Ada beberapa hal yang saya rasakan berbeda pada kunjungan kali ini. Saat bersama ibu, seingat saya kami sholat di ruang yang sama dengan jamaah laki-laki. Dengan dibatasi tabir, tentunya. Kemarin saya sholat di ruang yang berbeda. Jauh lebih luas. Sayangnya saya segan mengambil foto karena ada banyak sekali jamaah perempuan di sana.
Tempat wudhu juga rasanya beda. Waktu itu seperti terkoneksi langsung dengan ruang sholat. Kemarin di bangunan yang terpisah. Harus keluar dulu. Malah satu lokasi dengan tempat wudhu laki-laki.
Saat jalan-jalan di tamannya, saya merasakan satu perbedaan lagi. Kali ini bapak yang menemukan penyebabnya: tanaman-tanaman yang ada di taman sudah tumbuh tinggi. Tak heran, sudah 12 tahun berlalu sejak kunjungan saya sebelumnya!
Sebelum mengakhiri kunjungan, saya sempatkan membeli koin suvenir. Hanya satu. Kenang-kenangan untuk saya sendiri saja. Dan memang uang dalam kantung hanya cukup untuk itu juga. Hehehe.
Semoga kami diberi panjang umur dalam kesehatan dan ibu-bapak bisa ke Prancis lagi. Aamiin.
Comments
Post a Comment