Saat Pulkam Kilat
Ah, waktu. Memang cepat sekali berlalu. Tak terasa sudah seminggu di Bandung, dan saatnya bergerak ke timur.
Tadinya kami berencana langsung ke Solo hari Selasa. Ternyata mamah mertua ingin ikut untuk kemudian ke Jogja, ke tempat ipar. Agenda pun berubah. Kami meninggalkan Solo lebih cepat untuk mampir ke Jogja dulu. Kebetulan tahun lalu si Ucok kan tak ikut rekreasi ke Jogja tuh.
Rugi rasanya, kalau ke Jogja tanpa jalan-jalan sedikitpun. Saya pun mengusulkan ke Borobudur saja. Jadilah kami berencana ke sana Selasa, dan baru ke Solo hari Rabunya. Tapi kalau soal Borobudur, ceritanya nanti sesudah dari sana saja yaaa.
Seminggu di Bandung, tak banyak yang kami lakukan. Seminggu di Bandung, ada banyak rencana yang tak sempat terlaksana. Padahal sudah meminimalisasi agenda. Mengingat waktu yang amat sangat terbatas.
Tak Berani Membuat Janji
Saya sengaja tak woro-woro mengabarkan kepulangan kami tahun ini. Tak mau menarik antusiasme (halah), karena tak berani membuat janji. Apalagi mengingat darah tinggi yang menimpa saya saat mudik tahun lalu. Alhamdulillah sampai saat ini baik-baik saja. Semoga demikian seterusnya. Aamiin.
Saya hanya mengabari mamah MGN, terkait permintaan informasi mengenai Jakarta yang saya ajukan di Telegrup. Itupun tetap dengan catatan tambahan permintaan maaf, tak berani membuat janji.
Saya juga mengabari grup pertemanan dekat. Karena mereka sering mengusahakan menemui saya. Tak sekedar meminta bertemu saja.
Pada akhirnya, selama di Bandung saya hanya sempat meet up jalan pagi di Kiara Artha. Memang boleh dibilang waktu bebas saya lebih ke pagi hari. Di mana saya biasa bersantai menikmati waktu libur tanpa mengejar jam sekolah/kerja.
Kita lihat saja nanti, bagaimana dengan di Yogya dan di Solo.
Makanan yang Terlewat
Setiap akan mudik, bayangan tentang makanan-makanan lezat Indonesia selalu terlintas. Tanpa perlu masak sendiri, pula! Pada kenyataannya, tidak semudah itu.
Iklim yang panas dan lembab, kelelahan perjalanan, sisa-sisa jetlag, ... membuat selera makan menguap begitu saja. Mata dan mulut pengin. Tapi perut tak bersedia. Otak pun menolak.
Di lain waktu kita sudah merencanakan apa, ternyata anggota keluarga lain menginginkan menu yang berbeda. Ini bukan hanya soal menghargai menu masakan mertua ya. Anak-anak dan suami juga, kadang kala mengajukan ide menu yang di luar perkiraan.
Walhasil, saya tak sempat makan batagor. Bye bye peuyeum bollen—ya, saya suka peuyeum! Pepes ikan Majalaya pun terlewat. Jangankan roti-rotian dari pedagang keliling yang tiap hari menjajakan dagangannya di daerah tinggal mertua, bakpao pun baru sempat saya makan di hari Minggu kemarin. Padahal biasanya hampir tiap hari jadi menu sarapan!
Cukup puas malam pertama di Yogya langsung makan gudeg. Kita lihat saja makanan-makanan ideal lain lancar menyusul kemudian.
Prioritas: Keluarga
Senin, saat kami berangkat ke Yogya ini sebenarnya adalah hari ulang tahun keponakan pertama saya di Bandung. Orang tuanya tipe yang tidak merayakan ulang tahun. Saya sendiri tak berniat bikin pesta. Tapi kenapa tidak makan bersama? Atau sekedar mengirim kue coklat kesukaannya. Tanpa tulisan, tentunya.
Keluarga ipar saya biasa menginap di rumah mertua tiap akhir pekan. Demikian juga Sabtu-Minggu kemarin. Saya pikir, mereka akan tinggal sampai Minggu sore. Ternyata mereka sudah bersiap pulang saat menjelang makan siang. Rencana memesan hidangan spesial pun urung. Meski pada akhirnya mereka pulang lebih lambat karena keponakan kedua saya yang masih bayi tertidur.
Tapi tak apa. Yang penting saya sudah bertemu dengan ponakan kecil yang tahun lalu masih dalam kandungan ibunya. Ponakan yang ramah, murah senyum, cantik, dan pintar, yang tahu-tahu sudah mulai belajar berdiri saja. Pertemuan berikutnya, sudah bisa apa dia ya?
Di Yogya, saya mengundang anak sulung adik saya untuk datang. Keponakan pertama saya itu baru saya temui pertama kalinya dulu di usia 3 tahun. Dan sekarang dia sudah mau jadi mahasiswa. Di luar negeri, pula!
Pulang kampung kilat begini, prioritas memang lebih ke keluarga. Bertemu orang tua, jelas. Lalu adik-adik (kebetulan saya dan suami sama-sama anak pertama) serta keponakan-keponakan. Tak boleh lupa: menyenangkan anak-anak sendiri! Dan itu bisa jadi bahan tulisan diskusi tersendiri!
Comments
Post a Comment