Mengunjungi Galeri Nasional Indonesia

Sebelum melanjutkan perjalanan ke Bandung—ke rumah nenek Ucok dan Butet—kami menyempatkan mengunjungi Galeri Nasional Indonesia di Jl. Medan Merdeka Timur. Galnas kami pilih karena lokasinya yang tak jauh dan kemudahan aksesnya.

Sebenarnya target pertama kami adalah Museum Nasional. Sayangnya masih tutup karena renovasi. Lalu Kota Tua terlalu jauh dan terlalu luas, seperti halnya Monumen Nasional yang sempat masuk dalam pertimbangan, untuk waktu kami yang terbatas ... dan kebiasaan kami menghabiskan waktu panjang saat mengunjungi museum.

Registrasi Gratis

Kami menggunakan taksi online untuk ke Galnas. Jalan lancar, tengah hari begitu. Hanya agak sulit mendapatkan mobilnya. Saya sempat membatalkan pesanan. Demikian juga saat pulangnya, yang juga lancar-lancar saja.

Sopir mengantar kami sampai depan pintu masuk Galeri. Salah! Kami harus kembali lagi ke bagian depan untuk registrasi.

Registrasi harus dilakukan bagi masing-masing pengunjung. Bisa dengan QR code yang ditempelkan di depan kantor, atau melalui website Galeri Nasional. Kita diminta memasukkan nama, rentang usia, gender, kewarganegaraan, kota tinggal, alamat email, dan nomor telepon. Dan yang paling penting: tanggal serta jam kunjungan.

Kami yang datang jam 13 lebih, memilih rentang 13-14. Kami pikir, itu jam masuknya saja. Ternyata itu adalah jam kunjung, yang diaplikasikan secara tertib!


Setelah registrasi, masing-masing pengunjung akan mendapatkan QR code yang kita scan ke pemindai petugas yang kemudian memberikan stiker tanda registrasi untuk ditempel ke pakaian kita.

Oh ya, registrasi ini gratis ya! Dan tentunya bisa dilakukan sebelum datang berkunjung. Satu gawai bisa registrasi untuk beberapa orang. Asal jangan lupa unduh bukti registrasi atau screeshot QR code buktinya

Era Reformasi

Saat kami berkunjung, hanya bagian pameran temporer yang buka. Bagian pameran permanennya tutup, sedang renovasi. Tema pameran adalah Patung dan Aktivisme karya kolaborasi Dolorosa Sinaga dan Budi Santoso. Pameran ini menampilkan lebih dari 53 karya yang mengangkat isu hak asasi manusia, solidaritas perempuan, keragaman budaya, perdamaian, dan lingkungan.

Karya-karya yang ditampilkan banyak mengambil latar masa Reformasi 1998: kerusuhan, penghilangan aktivis, ... Saya dan suami cukup kaget melihatnya. Apalagi mengingat kondisi politik saat ini. Tak hanya kami yang angkatan 98, si Ucok yang cukup mengikuti berita politik pun merasa heran. Heran, geli, ... bercampur aduk.

Kami memang berkunjung tanpa persiapan sama sekali. Bahkan tadinya tak berencana ke museum dan langsung ke Bandung saja. Kami baru tahu di lokasi bahwa ternyata pameran ini baru saja dibuka dua hari sebelumnya, tanggal 19 Juli. Pameran ini berlangsung selama satu bulan, hingga 19 Agustus 2024.

Pameran yang cukup sendu, membangkitkan nostalgia bagi saya dan suami yang merupakan Angkatan 98. Mengayakan dan membuka mata, terutama bagi mereka yang tak mengalaminya langsung, seperti anak-anak kami. 

Pameran Penuh Harapan

Kami masih di ruang terakhir saat petugas berkeliling mengingatkan bahwa waktu kunjung sudah hampir habis. Terdengar juga suara lonceng yang sebelumnya saya pikir adalah karya seni di pintu masuk. Mungkin karya seni juga sih. Saya belum mencarinya lagi.

Satu jam memang waktu yang ideal. Kami yang hanya memiliki waktu setengah jam kurang maksimal di ruang terakhir. Apalagi selain berkunjung, saya juga harus menjadi interpret untuk Butet karena beberapa karya berjudul dalam bahasa Indonesia, tanpa terjemahan. Untungnya gedung pameran tidak besar. Jangan lupa mengagumi karya yang di pamerkan di halaman Galeri juga.

Saya acungkan jempol atas versi bahasa Inggris untuk berbagai keterangan yang ditampilkan di sebagian besar karya di pameran. Versi yang dikerjakan dengan serius, dan tidak asal-asalan, seperti yang masih banyak kita temui di berbagai objek wisata.

Kami keluar dengan perasaan bercampur aduk. Dengan harapan juga: semoga permasalahan dari tahun 1998—juga 1965 yang menjadi latar beberapa karya—segera bisa diungkap serta diselesaikan dengan adil dan baik.


Comments

Popular posts from this blog

Investasi untuk Anak

Berbagai Hidangan Kambing Khas Solo

Memimpikan Bandung Tanpa Macet