Mencoba Whoosh
Saat saya mengabari si Ucok bahwa kami akan bermalam di Jakarta sebelum lanjut ke Bandung, dia langsung request untuk mencoba Whoosh. Katanya, kalaupun ada yang memaksa menjemput ke Jakarta, dia akan tetap mau naik Whoosh. Sendirian sekalipun! Niat banget, kan!?
Tapi dia tak perlu khawatir, karena saya sendiri pun penasaran, ingin mencoba kereta cepat Jakarta-Bandung itu.
Pembelian Tiket
Kami sengaja tak memesan tiket dari awal. Kami lihat, frekuensi jadwal kereta yang cukup tinggi. Memang ada kekhawatiran karena perjalanan kami di hari Minggu. Sore menjelang malam, pula. Mungkin bersaing dengan orang-orang Bandung yang berakhir pekan di Jakarta.
Namun kami memilih mengambil resiko itu. Tak apa mengambil kereta berikutnya—yang sudah kami perhitungkan masih ada beberapa. Ketimbang buru-buru dan tak tenang untuk menuju stasiun kereta cepat di Halim sana. Yang ternyata kemudian perjalanan lancar-lancar saja dari hotel kami di Senayan.
Foto: website KCIC |
Kami mengikuti petunjuk menuju mesin tiket. Entah kenapa kami tak melihat petunjuk ke loket penjualan tiket. Belakangan ternyata kami temukan menyempil di sudut barisan loket informasi.
Kami mengikuti petunjuk di mesin. Tak susah memasukkan informasi nama dan nomor paspor. Sayangnya, seperti yang kami khawatirkan, kami tidak bisa menyelesaikan pembelian. Ada slot untuk kartu kredit di mesin, tetapi layar hanya menampilkan pilihan pembayaran dengan QR code. Kami pun menuju loket.
Petugas di loket cukup sigap. Dengan cepat 4 tiket Halim–Tegalluar sudah di tangan. Kami mendapatkan tempat duduk yang sama dengan yang sempat kami pilih sebelumnya di mesin penjualan tiket.
Ruang Tunggu yang Nyaman
Kami tak langsung menuju ruang tunggu di lantai 2. Kami menanti kereta sebelumnya berangkat dahulu. Memang sebenarnya kami masih bisa mengejar kereta pukul 16.45. Namun kami tak mau lari-lari dengan 3 koper besar. Sekalian ingin melihat-lihat suasana stasiun juga.
Stasiun Kereta Cepat Halim terletak tak jauh dari pintu keluar tol. Di lantai 1 terdapat mesin-mesin penjualan tiket dan loket-loket informasi ... serta penjualan! Saya sempat melihat mini market, beberapa gerai makanan dan minuman, serta beberapa kios yang menjual berbagai macam barang.
Dari lantai 1, kita bisa menuju lantai 2 dengan menggunakan tangga berjalan atau lift. Tentu saja kami memilih lift.
Saat memesan kendaraan untuk ke stasiun, concierge hotel kami menyarankan untuk mengambil tiket bisnis agar bisa memasuki lounge khusus. Kami tak mengikutinya. Budget kami hanya untuk kelas ekonomi saja! Hahaha.
Harga tiket first class 600 ribu, bisnis 450 ribu, dan untuk ekonomi di hari Minggu 250 ribu. Saya dapati belakangan ternyata harga tiket kelas ekonomi bervariasi berdasar hari dan jam keberangkatan.
Sempat khawatir ruang tunggu non-lounge akan panas tanpa AC. Ternyata nyaman-nyaman saja kok. Entah karena AC atau memang arsitektur yang bagus, atau dua-duanya? saya belum mencari tahu.
Untuk memasuki ruang tunggu, kita harus melewati gerbang pemeriksaan, setelah sebelumnya memasukkan barang bawaan ke dalam lorong scanner pemeriksaan.
Ruang tunggu luas dengan banyak tempat duduk. Ada beberapa toko di dalamnya. Ada toilet yang tidak kami coba.
Kereta yang Nyaman
Boarding dimulai 20 menit dan diakhiri 5 menit sebelum jadwal keberangkatan kereta. Penumpang dengan tertib mengantri di depan pintu otomatis menuju peron dan men-scan tiket masing-masing yang ber-QR code. Lounge spesial saya dapati berada di balik gerbang pemeriksaan tiket tersebut.
Kita harus naik satu lantai lagi untuk menuju peron. Ada tangga berjalan, dan ada lift yang kami pilih. Dan akhirnya kami bisa melihat langsung si kereta cepat Whoosh! Tampak luarnya canggih, bersih, mengilap.
Peron yang bersih |
Kami mendapatkan wagon nomor 2. Seperti halnya stasiunnya sendiri, bagian dalam kereta terlihat bersih. Agak heran dengan partisi warna kursi saja. Tapi sepertinya itu penyakit simetri saya! Hahaha.
Tempat duduk dibagi menjadi dua kolom, 2 dan 3 kursi. Kami memilih dua baris dua kursi. Rupanya gerbong kami tak penuh. Namun saya tak melihat penumpang yang berpindah tempat duduk.
Ada tempat untuk meletakkan bagasi yang cukup lapang. Koper besar kami bisa masuk dengan nyaman. Koper kabin dan ransel bisa masuk ke rak di atas kepala.
Tampak depan Whoosh |
Saya dan anak-anak menyempatkan keluar lagi dari kereta untuk mengambil beberapa foto. Sayang sekali tak sempat mengambil foto atap-atap rumah di sekitaran stasiun Halim. Petugas sudah mengingatkan kami untuk segera kembali memasuki kereta.
Perjalanan yang Nyaman
Saya mencatat bahwa kereta bergerak meninggalkan stasiun lebih cepat dari yang dijadwalkan. Entah apakah jam stasiun berbeda dengan jam jaringan ponsel saya. Namun pelan saja. Percepatan terjadi tepat pada jadwal keberangkatan di pukul 17.35.
Suami dan anak-anak tertidur tak lama kemudian. Kereta memang berjalan stabil dengan percepatan yang halus. Isolasi suara sangat bagus. Suhu ruang kereta nyaman di 22°C. Dan kami lelah. Masih ada efek jetlag juga.
Saya tak tidur. Penasaran mengamati percepatan kereta yang ditampilkan di atas pintu antar gerbong. Kapan mencapai rekor? Apakah mencapai maksimal 350 km/jam?
Saat mencapai kecepatan maksimal |
Saya tak mencari informasi, kapan kira-kira kereta mencapai kecepatan tertingginya. Namun jelas saya tak berniat mengambil video layar tampilan kecepatan di sepanjang perjalanan. Saya perhatikan, penumpang di kursi seberang kami cukup lama mengacungkan ponselnya. Lagipula posisi saya kurang bebas dengan si Butet yang tidur bertumpu di bahu kiri saya.
Saya sempat mendokumentasikan beberapa foto. Dan cukup puas, tak melewatkan saat kereta mencapai kecepatan maksimal perjalanan itu: 348 km/jam!
Untuk Perjalanan Solo
Kalau soal naik kereta dengan kecepatan di atas 300 km/jam, kami tak penasaran. Dengan Train Grande Vitesse (TGV), kereta cepatnya Prancis, naik kereta dengan kecepatan 320 km/jam itu bukan hal baru. Namun tetap kami ingin tahu, bagaimana aplikasinya di Indonesia.
Keretanya sendiri memuaskan. Nyaman, dan memang menjanjikan untuk hanya 47 menit perjalanan, dibandingkan kereta biasa yang mencapai 2 jam. Hanya saja, ditambah perjalanan ke Halim lalu ke kota Bandung, efisiensinya masih bisa dipertanyakan untuk perjalanan keluarga.
Teman perjalanan saat yang lain tertidur kelelahan |
Tak hanya soal waktu, di mana kebetulan kami terkena kemacetan di Bandung dan harus menempuh satu jam dari Tegalluar ke Antapani! Secara biaya juga harus diperhitungkan. Ini saya bandingkan dengan pengalaman menyewa mobil dengan sopir untuk perjalanan dari Bandara Soekarno–Hatta ke Antapani dan juga sebaliknya yang hanya kisaran 1,5 juta Rupiah dan bisa hanya memakan waktu total 3 jam door to door. Itupun karena kami memilih mobil bukan termurah. Total biaya tiket kereta cepat sendiri sudah di kisaran 1 juta Rupiah untuk berempat. Dan itu untuk kelas ekonomi.
Kereta cepat ini sepertinya lebih efisien untuk mereka yang melakukan perjalanan solo. Apalagi disediakan feeder untuk perjalanan ke dan dari stasiun. Taksi pun mudah didapatkan.
Whoosh Seterusnya
Untuk meningkatkan efisiensi penggunaan Whoosh, demi menjaga pelanggan yang sudah ada dan menarik lebih banyak pengguna setia—heu, menarik pengguna yang seprofil dengan saya lah ya. Hehehe—saya rasa diperlukan peningkatan kualitas transportasi umum. Terutama di sisi Bandung. Atau sekalian ke akarnya: menyelesaikan permasalahan kemacetan Bandung?
Saya juga mencatat tidak adanya free wifi di stasiun maupun di dalam kereta, yang akan bermanfaat bagi wisatawan mancanegara yang mungkin belum sempat meregistrasi ponselnya, membeli SIM card lokal, dan mengisi paket datanya.
Masih ada 2 kereta lagi sesudah yang tertera di layar pengumuman |
Semoga Whoosh tetap dan makin mengusung namanya sendiri: Waktu Hemat, Operasi Optimal, dan Sistem Hebat, dan bisa terus terjaga ketersediaannya dalam jangka waktu panjang,
Comments
Post a Comment