Menengok Perjalanan Musik Pop Indonesia di Tahun 1960-an dalam Pameran Dari Ngak Ngik Ngok ke Dheg Dheg Plas

Setelah tahun lalu gagal mengunjungi Galeri Lokananta, akhirnya kami berhasil menyempatkan ke sana di periode liburan musim panas 2024 kemarin. Studio rekaman milik pemerintah Indonesia yang tertua ini belum lama melakukan revitalisasi dan dibuka untuk umum sebagai destinasi cagar budaya musik Indonesia sejak 3 Juni 2023. 

Koleksi berbagai alat rekam dan pemutar musik di Ruang 3 yang dindingnya menampilkan proses produksi piringan hitam (Foto: FR)

Menarik, melihat berbagai koleksi bersejarah dan menyimak penjelasan pemandu. Banyak sekali informasi permusikan Indonesia yang tak saya ketahui sebelumnya. Apalagi saat memasuki bagian pameran temporer yang merupakan bagian akhir dari rangkaian kunjungan Galeri Lokananta. 

Musik Indonesia Tahun 1960-an

Pameran Dari Ngak Ngik Ngok ke Dheg Dheg Plas dibuka di Galeri Lokananta sejak 10 Maret 2024. Pameran ini mengajak kita menelusuri perjalanan musik pop Indonesia tahun 1960—1969. Sebuah periode yang sangat dinamik di dunia permusikan Indonesia.

Ruang pamer temporer Galeri Lokananta

Di sini pengunjung diajak menelusuri perkembangan musik Indonesia sejak sebelum masa kemerdekaan. Dari label musik pertama yang ada di Hindia Belanda yang didirikan oleh Tio Tek Hong pada tahun 1900, lalu saat perusahaan rekaman pertama pasca kemerdekaan Indonesia Irama Records didirikan pada tahun 1951 yang diikuti beberapa perusahan rekaman swasta lainnya, dan kemudian pemerintah mendirikan Lokananta sebagai studio rekaman di bawah Radio Republik Indonesia pada tahun 1956. 

Keberadaan berbagai perusahaan rekaman ini tentu saja sangat mendorong perkembangan musik Indonesia. Label Tio Tek Hong, misalnya, merekam lagu Indonesia Raya yang kemudian disebarkan di berbagai penjuru Nusantara. Selain musik lokal, berbagai musik mancanegara pun dicetak dan didistribusikan dengan lebih mudah.

Manifesto politik 17 Agustus 1959

Perkembangan musik barat di Indonesia membuat Presiden Soekarno khawatir bangsa Indonesia melupakan budayanya sendiri. Bung Karno pun mengeluarkan manifesto politik pada tahun 1959, yang melarang memutar dan memperdengarkan musik-musik barat yang disebutnya sebagai musik "ngak-ngik-ngok". 

Pelarangan musik luar tersebut membangkitkan kreativitas musisi lokal. Ada yang menyajikan lagu asli Indonesia dengan gaya barat, seperti Oslan Husein yang membawakan Bengawan Solo dengan gaya Elvis Presley, atau para musisi yang mengaransemen lagu-lagu daerah dengan gaya jazz. Selain itu para musisi juga terdorong menggali budaya lokal sendiri. Seperti Benjamin Sueb yang menggali budaya Betawi—saya baru kembali disadarkan bahwa beliau bukan hanya komedian.

Presiden Soekarno tak sekedar melarang musik barat. Beliau ikut menggagas dan menggali irama lenso bersama Jack Lesmana, Idris Sardi, dan Bing Slamet, sebagai pengganti musik luar negeri yang biasa mengiringi pesta dansa. Bung Karno juga membawa sejumlah musisi ke berbagai lawatannya untuk memperkenalkan musik Indonesia di mancanegara.

Di lorong pameran yang menghubungkan periode Orde Lama dan Orde Baru, diperlihatkan berbagai karya musik di masa pembatasan itu. Terlihat bagaimana perkembangan musik Indonesia tetap pesat dan mendunia.

Poin tentang lagu anak sih saya sangat setuju

Memasuki era Orde Baru, pembatasan ditarik. Bermunculanlah grup-grup musik baru. Selain itu, didirikan berbagai stasiun radio swasta yang memberikan pilihan kepada masyarakat untuk mendengarkan musik, tak hanya dari RRI.

Pameran (dengan Nuansa) Pop

Seru sekali, menelusuri potongan sejarah yang tak disampaikan di bahan ajar bidang studi Sejarah di masa saya sekolah dulu. Atau sebenarnya sudah disampaikan, tapi tak melekat dalam ingatan?

Saat sekolah, saya memang bukan penggemar pelajaran sejarah. Rasanya membosankan sekali harus mengingat berbagai nama. Saya merasa tak ada gunanya menghafalkan tanggal-tanggal yang membingungkan saking banyaknya.

Seandainya sejarah ditampilkan seperti pameran Dari Ngak Ngik Ngok ke Dheg Dheg Plas ini, mungkin beda ceritanya. Pemilihan visual warna-warni pop—sesuai dengan tema musik pop, tentunya—sangat menarik mata. Redaksi dan tata letak informasinya menggugah keingintahuan. Terlihat pengunjung menelusuri ulang pameran, dengan tekun membaca satu per satu seusai sesi berpemandu yang hanya memberikan highlights saja.

Salah satu bagian yang menyediakan rekaman-rekaman MP3 yang bisa didengarkan pengunjung

Disediakannya rekaman lagu-lagu yang bisa didengarkan langsung makin membawa pengunjung menghayati isi pameran. Rekaman suara Bung Karno saat pidato manifestonya dan video pembakaran piringan hitam musik barat yang dihadirkan mengajak pengunjung masuk dalam suasana.

Pameran diakhiri dengan profil Koes Plus, grup musik legendaris dengan perjalanan panjang. Koes Bersaudara yang menjadi cikalnya sempat dipenjara di masa Orde Lama karena kedapatan memainkan musik The Beatles. Judul pameran pun diambil dari judul album pertama mereka yang dirilis 1969: Dheg Dheg Plas.

Album pertama Koes Plus ini bisa didengarkan di situs web Irama Nusantara (dengan membuat akun terlebih dahulu)

Apakah setelah 1970, musik Indonesia jadi bebas merdeka? Demikian pertanyaan si Ucok di akhir kunjungan kami.

Kebebasan berekspresi musikal di era Orde Baru harus dilihat dengan lebih mendalam. Musik Indonesia memang sudah lebih bebas ragamnya, tetapi terasa penggunaannya sebagai alat propaganda pemerintah. Di masa inilah banyak dibentuk grup band yang diprakarsai, dan bahkan beranggotakan korps militer atau pegawai negeri. Berbagai pemusik dijadikan alat kampanye penguasa.

Sejarah dari Berbagai Sisi

Saya mengunjungi Galeri Lokananta bersama keluarga kecil saya, ibu, keponakan, dan sopir kami yang selalu antusias diajak ke museum! Saya tak bisa fokus mendengarkan pemandu ataupun membaca keterangan-keterangan yang ada. Apalagi mengambil foto. Selain menjadi interpreter untuk Si Butet yang penguasaan Bahasa Indonesianya terbatas, saya harus menemani ibu saya. Sayang sekali buku Dari Ngak Ngik Ngok ke Dheg Dheg Plas yang dirilis Irama Nusantara bersama Bintang Press dan Norrm pada 2021 yang menjadi dasar pengembangan pameran tidak tersedia di toko suvenir.

Buku yang menjadi dasar pengembangan pameran

Sepulang pameran, saya pun mencari informasi yang berkaitan dengan isi pameran. Saya menemukan beberapa buku di iPusnas dan artikel daring, di antaranya di situs web Irama Nusantara sendiri yang sejak 2013 mengarsipkan secara digital musik populer Indonesia. Di sana, dengan login, kita bisa mendengarkan koleksi lagu-lagu lama Indonesia yang tak saya temukan di Spotify.

Saya menangkap pameran Dari Ngak Ngik Ngok ke Dheg Dheg Plas sendiri sudah cukup berhasil menampilkan informasi secara seimbang. Pembatasan di Orde Lama disajikan sisi negatif didampingi dampak positifnya, yang harus diakui keberadaannya. Meski demikian, dari informasi tambahan yang saya temukan, ada beberapa poin yang berbeda dengan yang saya ingat dari pameran. Terdapat pula perbedaan di antara berbagai referensi yang saya peroleh itu. Informasi dasarnya sendiri sama, tetapi sudut pandangnya yang berbeda. 

Di sini saya melihat pentingnya mencatat peristiwa. Pentingnya menuliskan sejarah. Agar berbagai sudut pandang yang mungkin berbeda tetap terlihat. Agar ada sudut pandang baik dari yang menang, yang kalah, atau yang hanya menerima imbasnya. Agar jangan sampai sejarah hanya ditulis oleh penguasa, atau bahkan terhapus begitu saja seperti yang digambarkan George Orwell dalam buku 1984.

Di lain pihak, penting sekali bagi pencari informasi untuk selalu berusaha melihat dari banyak sumber. Karena salah satu dampak kemajuan teknologi informasi adalah banjir informasi itu sendiri. Kalau tak pintar-pintar memilah, informasi salah bisa masuk dengan mudah. Sebab itulah diperlukan verifikasi dengan membandingkan beberapa informasi sekaligus dari sudut pandang yang berbeda.

Hingga Februari 2025

Pameran Dari Ngak-Ngik-Ngok ke Dheg Dheg Plas ini sudah pernah digelar sebelumnya di Museum Kebangkitan Nasional Jakarta pada 16 September hingga 15 Oktober 2023. Di Galeri Lokananta, pameran bisa disimak sampai 28 Februari 2025, mulai pukul 10.00 hingga 20.00 WIB. 

Ruang 3 yang berisi ratusan dokumen master rekaman asli milik Lokananta Records ini hanya bisa diakses bersama pemandu (Foto: FR)

Galeri Lokananta menyediakan sesi kunjungan berpemandu tiap 2 jam sekali. Jika berminat, disarankan untuk melakukan pemesanan terlebih dahulu melalui instagram Lokananta Bloc dan tiba di lokasi 10 menit sebelum sesi kunjungan dimulai karena ada pembatasan kuota. Beberapa ruang koleksi hanya bisa diakses dengan pemandu.

Dengan membayar Rp35000,00 untuk umum, Rp25000 untuk pelajar dan senior di atas 60 tahun, pengunjung bisa mendapatkan gelang tanda masuk, panduan, dan stiker. Selain Galeri, di kawasan Lokananta terdapat Studio Rekaman Lokananta, Lokananta Live House, juga Taman Lingkar Lokananta, panggung amphitheater, dan area ritel yang bisa dikunjungi bebas, tak berbayar.


Referensi:


---

Tulisan ini diikutsertakan dalam Tantangan Blogging Mamah Gajah Ngeblog bulan Agustus 2024 yang bertema Sejarah Indonesia dari Sisi yang Berbeda yang diusung oleh Mamah Host Andra.


 



Comments

  1. Mba Alfi, aku puas sekali bacanya. 😍. Karena aku penasaran dengan sejarah musik Indonesia. Kok ya pas banget Teteh menuliskannya. Melalui artikel Teh Alfi ini, saya jadi tahu kalau ada pameran "Dari Ngak Ngik Ngok ke Dheg Dheg Plas", namanya lucu pulak ehehe.
    Mba Alfi berhasil membuat saya merasakan atmosfer pameran dan pentingnya keberagaman perspektif dalam memandang sejarah...
    Oiya, Mba Alfi notice endak, jaman now banyak yang me-remake musik jaman dulu; tapi saya belum pernah mendengarkan remake keroncong, jenis musik yang disukai Eyang-eyang saya ehehe.

    ReplyDelete
    Replies
    1. Waduh, ngaku nggak merhatiin dunia musik Indonesia jaman now nih! Hehehe. Tapi gara-gara pameran itu kemaren, aku jadi ngubek-ngubek remake musik ala Orde Lama. Keren-keren juga, ternyata. Duh, ke mana aja aku selama ini ya?

      Delete

Post a Comment

Popular posts from this blog

Investasi untuk Anak

Blogger Curcoler? Yes!

Menyusun Tagihan