Masih tentang Nama
Tantangan Blogging Mamah Gajah Ngeblog bulan September jatuh tempo, seperti biasa, tanggal 20 semalam. WIB tentunya! Menarik sekali membaca tulisan tentang nama-nama. Terutama tentang nama anak-anak. Baik nama anak para mamah maupun nama mamah-mamah bersaudara.
Saya sendiri awalnya berniat menulis tentang nama Ucok dan Butet. Hasil awal freewriting hanya 300-an kata, rasanya tak mungkin jika berputar-putar di situ akan mencapai jatahbatas minimal yang bulan ini naik ke 800 kata. Kalau seperti biasa yang hanya 500 kata sih masih bisa lah ya! Karena itulah saya tambahkan informasi mengenai ketentuan pemberian nama anak di Prancis, yang ternyata seru juga risetnya!
Statistik nama terpopuler dari tahun 1900 hingga 2024 (Screenshot: Insee) |
Enfin, bref ...
Membaca tulisan mamah-mamah itu, saya jadi ingin mencatat sisi lain pemilihan nama anak-anak dulu. Terutama untuk si Butet sih ya. Karena untuk si Ucok ada banyak hal di luar rencana yang ikut menentukan, yang kemudian dijadikan landasan untuk adiknya. Kecuali satu!
Ada yang sudah saya dan suami sepakati: untuk anak laki-laki, suami yang lebih berhak mengusulkan nama. Untuk anak perempuan, sebaliknya, saya yang memiliki prioritas hak. Ini kami setujui untuk menghindari salah satu mengambil nama kecengannya dulu! Hahaha. Kebetulan kami sama-sama pacar pertama. Alhamdulillah. Insya Allah sampai jannah, aamiin.
Pemilihan nama ini tentu saja bukan pemaksaan. Tidak saklek monopoli suami atau saya yang menentukan. Tetap harus ada persetujuan dari kedua belah pihak.
Misalnya untuk si Ucok, awalnya justru saya yang mengajukan nama Fatih. Memang sejak lama saya menginginkan nama Fatih atau Fatiha untuk anak pertama. Suami oke saja. Katanya ada pemain sepak bola Turki yang namanya Fatih, yang terkenal waktu itu.
Namun setelah didiskusikan dengan keluarga di Bandung, entah bapak mertua entah eyang putra, suami saya tak ingat, mengusulkan nama lain. Yang entah kenapa berinisial F, yang saya suka juga, dan akhirnya kami pilih.
Mendiskusikan dengan keluarga satu sisi merupakan salah satu metoda prerogatif kami. Saya dan suami sepakat untuk menentukan nama anak-anak "sendiri", tidak meminta orang tua memberi begitu saja. Mendiskusikannya adalah cara kami melibatkan mereka.
Saat mengetahui bahwa anak kedua kami perempuan, saya menyiapkan beberapa nama. Saya dan suami menyepakati salah satunya. Saya mendiskusikannya dengan bapak di Solo. Terutama tentang penulisannya.
Untuk Ucok, kami memilih ejaan "ee" untuk bunyi "i". Kebetulan namanya berakhir dengan bunyi "in". Sedangkan di Prancis, ejaan "in" akan dibaca "ong". Karena itulah kami mengambil ejaan "een" untuk bunyi "in".
Untuk si Butet, kami menghilangkan "h" yang ada di akhir kata aslinya. Lalu memilih transliterasi "k" sebagai pengganti "q". Karena merasa banyak perbedaan, kami diskusikan penulisan nama ini dengan bapak di Solo yang fasih bahasa Arabnya. AlhamduliLlah tak ada arti lain dengan cara penulisan yang kami pilih.
Kami tak berpikir panjang untuk Ucok yang memang selain lahir lebih cepat, kami belum lama tinggal di Prancis dan tidak berencana lama di Prancis. Penulisan namanya yang unik membuat sering terjadinya kesalahan pengucapan. Tak terlalu jauh sih, hanya bunyi "in" dibaca "en", tidak memperhatikan bahwa ada dua "e" di sana. Dari pengalaman itu, kami lebih mempertimbangkan penulisan nama Butet. Dengan tidak melupakan mengecek apakah ada perubahan makna.
Perbedaan hampir 7 tahun antara kedua anak diiringi dengan perkembangan teknologi informasi yang pesat juga. Kami lebih mudah mencari informasi mengenai ide nama serta artinya di internet. Lebih mudah pula menghindari nama orang terkenal dalam sisi negatif. Dalam bahasa yang bisa kami raih saja, tentunya.
Entah apakah mungkin meraih makna positif dari seluruh dunia, dari berbagai bahasa dan budaya, jika kita ingin memberikan nama yang tidak pasaran?
Misalnya nama Ucok yang sudah kami cek terdapat di daftar nama laki-laki. Ternyata, di negara-negara Magribi, nama itu banyak digunakan oleh perempuan. Saat Ucok menjelang remaja, di Indonesia muncul penyanyi perempuan berhijab bernama sama dengan Ucok yang memenangi sebuah reality show, yang berusia 5 tahun di atasnya.
Nama Butet kami ambil dari daftar nama perempuan. Sampai saat ini saya belum menemukan laki-laki bernama sama. Namun jangan salah: ada lho yang saat saya beri tahu nama si Butet menanyakan anak kedua saya itu laki-laki atau perempuan!
Nama saya sendiri uniseks. Di dunia maya, terutama zaman mailing list dulu, banyak yang memanggil saya mas atau pak. Apalagi kalau saya pasang nama belakang ayah atau suami. Makin tambah maskulin, deh! Hahaha.
Saya ingat dulu betapa culture shock-nya saat mendapati seseorang bernama Salah. Kemudian belakangan saya ketahui bahwa itu adalah ejaah nama yang lumrah untuk Sholeh/Saleh atau salat/sholat di banyak negara.
Kalau di Prancis ada banyak aturan pemberian nama, kita ambil saja hikmahnya. Aturan itu dibuat untuk kepentingan anak. Selain dalam hal administrasi dan pekerjaan ke depannya, perlu dipikirkan perjalanan hidupnya sebagai anak dan remaja yang penuh dinamika. Mengingatkan kita, jangan sampai nama yang kita berikan itu jadi memberatkan, merepotkan, atau bahkan memalukannya.
Naudzubillahi min dzaliik.
Comments
Post a Comment