Kesiapan Teknologi

Sudah tanggal 3, belum menulis juga. Heu, bukan belum menulis. Belum setoran tepatnya. Yah, alias belum ada satu tulisan yang selesai!

Karena memang, saya tetap menulis. Dari 5 draft yang saya catat akhir bulan lalu, sudah ada bertambah 3 lagi. TIGA!!! Dan tak satupun berhasil saya tuntaskan. 

Belum lagi hutang tulisan untuk ulang tahun Majelis Pengajian Prancis. Adu dududuuuh. Sudah mulai kok. Sudah cukup panjang. Tapi saya merasa itu belum selesai. Apalagi kalau dijadikan isi buku. Belum layak lah!

Maret lalu, saya hanya meraih badge Good. Badge hijau minimalis dengan 10 setoran pas! Payah banget, kan!? Mana setoran kesepuluhnya mepet tanggal 30 Maret. Parah parah parah! 

Trus malah nulis ini? Bukannya nerusin draft(-draft)-nya?

Pasalnya, saya lagi tersentuh dengan postingan seorang bibi di Indonesia. Beliau guru di sebuah SMA negeri di luar Jawa. Baiklah, di Sumatra. Di kota, bukan di pedalaman, tapi bukan di ibukota provinsi. Beliau bercerita tentang bahwa saat ini sedang ada ujian di sekolahnya, dan ujian itu dilaksanakan melalui smartphone!

Tak mau sembarangan menghakimi, saya tulis di komentar, apakah setiap siswa harus memiliki smartphone? Bibi saya menjawab, "Ya"

Baiklah... Saya tanya lagi apakah koneksi internetnya dari wifi sekolah? Dijawabnya, "Tidak."

Saya terdiam. Tak saya lanjutkan lagi. Diskusinya bisa jadi sangat panjang. Ingin menjawab, "Wah, si Butet ga bisa ujian di sana dong!" pun takut disalah artikan!

Tapi benar; Butet tak akan bisa ikut ujian dengan metode seperti itu. 

Smartphone, dia punya. Meski sudah ngos-ngosan karena sudah dua tahun dan mulai penuh memory-nya. Koneksi internet, dia tak punya! Saya saja, sebelum jadi pantarlih, hanya memiliki abonemen minimalis 2 euro-an yang mencakup SMS unlimited, 2 jam telepon, dan 50 Mb internet saja. Ya! 50 Mb! Bukan 50 Gb ya!!!

Kami memang sengaja. Biar tak banyak terpaku pada telepon kalau sedang di luar rumah. Kalau di rumah kan wifi cepat unlimited. Tak perlu lah, akses 5G banyak-banyak. Ya nggak?

Jelas, Butet tak akan bisa ikut ujian tanpa kuota internet sendiri di smartphone-nya. Kalaupun punya, saya tak tahu apakah dia bisa mengikuti ujian dengan baik. Sudah beberapa gurunya memberi tugas yang harus dikerjakannya di smartphone di sekolah. Dengan menggunakan wifi sekolah, Butet mengeluh kesulitan koneksi. Entah memang wifinya yang tak sebagus di rumah, atau kemampuan smartphone-nya yang melemah.

Itu saja Butet punya smartphone! Ada lho, temannya yang belum punya smartphone juga. Ya! Kelas 1 SMA! Kelas 10. Di Prancis! Termasuk kota, meski bukan metropolitan. Bukan pelosok kampung. Masih ada temannya yang menggunakan telepon genggam bertombol ala jadul itu.

Tapi pemerintah daerah kami sudah memberikan fasilitas tablet gratis untuk tiap siswa saat mereka masuk SMA. Jadi masih ada cara untuk mengerjakan tugas daring tanpa memaksa orang tua siswa membeli smartphone!

Kalau di sekolah bibi saya tadi? Apakah sudah dipikirkan? Saya tak tahu juga. Saya tak berani bertanya. Tapi mungkin sudah. Karena mustinya pemerintah sudah memikirkan masak-masak sebelum memutuskan mengadakan ujian secara daring dengan sarana mandiri para siswa kan!? Atau paling tidak sekolahnya. Jika ujian tanpa kertas tadi erupakan keputusan otonom sekolah. 

Mustinya semua sudah belajar dari ketidaksiapan masa kuncitara dulu. Di mana banyak orang tua siswa mengeluhkan betapa mereka tak siap memfasilitasi anak-anaknya dengan laptop, smartphone, lengkap dengan koneksi internet yang stabil. Yang itu, sama sekali tak dipaksakan di Prancis, negara yang katanya jauh lebih maju ini...


Comments

Popular posts from this blog

Memimpikan Bandung Tanpa Macet

Televisi

Pindah or not Pindah