Mudik Lebaran 1444 H

Lebaran nggak mudik?

Lebaran nggak ke Indonesia?

Mudik dong! Ke Indonesia, lah! Ke Konsulat Jenderal Republik Indonesia di Marseille! Kan kantor konsulat itu wilayah negara perwakilannya! Sepetak tanah Indonesia yang ada di Prancis. 

Tapi bener deh! Sudah 20 tahun lebih merantau, masih ada saja yang menanyakan apa kami mudik Lebaran. Padahal jelas-jelas Lebaran tak jatuh di masa libur panjang musim panas. Mosok tiap tahun mengulang lagu yang sama?

Emosi? Ya, sedikit. Hehehe. Tergantung nada pertanyaannya juga siiih.

Jadi, ya, kami mudik. Berangkat sehari sebelum Idulfitri ke Indonesia kami di rantau. Berlebaran bersama keluarga kami di Prancis.

Berlebaran Bersama Keluarga di Rantau

Salat Idulfitri di KJRI Marseille dijadwalkan dimulai jam 9 pagi. Saat kami tiba 15 menit sebelumnya, ruang utama kantor konsulat sudah cukup penuh terisi. Sudah ada tiga saf untuk masing-masing jamaah laki-laki dan perempuan. Tapi belum penuh ke kanan-kiri. Makin dekat ke jam 9, makin penuh barisan.

Salat, khutbah, do'a, salam-salaman, lalu dilanjutkan dengan ... makan-makan, tentunya!

Kalau dulu, awal-awal merantau, saat saya masih belum bisa masak, momen makan menu Lebaran di konsulat adalah momen yang sangat ditunggu. Sekarang, masakannya jadi tak begitu istimewa. Opor, rendang, sambal goreng kentang, sayur labu, bahkan ketupat pun saya sudah bisa memasaknya sendiri. Namun bukan berarti berlebaran di konsulat jadi tak ditunggu! Buktinya, kami sampai mengusahakan datang jauh-jauh. Pakai menginap, pula, kan!?

Meski sudah ada masjid besar, sudah tahu lokasi salat Id di lapangan di Cannes, kami tetap memilih ke Marseille. Ke konsulat. Ke sepetak wilayah Indonesia yang bisa kami jangkau. Di sana kami sungkem kepada Bapak dan Ibu Konsul Jenderal, "orang tua" kami di negeri asing. Bertemu dengan saudara-saudara sebangsa. Keluarga terdekat di perantauan, saat jauh dari keluarga atas dasar ikatan darah. 

Sisa Pandemi

Lebaran kali ini konsulat tidak terlihat ramai. Mungkin masih terbawa suasana Lebaran di masa pandemi tahun lalu di mana semua aparatur negara tidak diizinkan open house oleh pemerintah pusat? Bahkan kantor perwakilan yang berada di luar negeri dan dinyatakan sudah aman pandemi sekalipun? Atau keharusan mendaftar untuk kehadiran--yang sebelum pandemi prosedur ini tidak ada--yang membuat sungkan? 

Idulfitri yang jatuh di hari kerja juga tidak cukup mendukung. Untuk beberapa zona, sesama Prancis selatan pun, libur sekolah belum dimulai. Belum lagi ternyata ada banyak orang yang masih percaya teguh bahwa Lebaran jatuh di hari Sabtu. Terlewat informasi. Sayang sekali!

Tapi tak apa. Kemeriahan tetap terasa. Kehangatan jadi lebih nyata. Jadi bisa lebih banyak berinteraksi dengan lebih banyak orang juga. Dan tentu saja makanan tersedia cukup porsinya. Antri belakangan sekalipun masih bisa nambah. Eh? Hehehe.

Rindu Itu Ada

Begitulah cerita mudik kami. Dan ya! Mungkin tak kelihatan, tidak ada bersendu-sendu di media sosial, tapi jelas, kami kangen sama orang tua. Sama keluarga besar. Sama suasana Lebaran di Indonesia. Jangan kira karena sudah lama merantau jadi terbiasa. Rindu itu tetap ada. 

Namun tentu kami harus melihat keadaan juga. Kalau tak memungkinkan mudik, ya tak bisa dipaksakan. Berusaha ikhlas, dan tak lupa meminta keikhlasan keluarga, terutama orang tua.

Tak perlu pakai mengumbar tangis merindu, kan!? Tak perlu juga sampai saya "muntab" dan menjawab bahwa mudik Lebaran itu tak ada tuntunannya dalam Islam, kan!? Hahaha. 

Maaf lahir-batin yaaa 🙏


Comments

Popular posts from this blog

Memimpikan Bandung Tanpa Macet

Televisi

Pindah or not Pindah