Wingko Babat ala Cannes

Untuk acara-acara potluck memang saya memiliki beberapa resep andalan. Resep yang sudah teruji. Yang sudah jelas disukai orang lain. Tak mau ambil resiko membawa masakan baru. Takut pada tak suka, tak ada yang memakannya, kan!?

Resep untuk potluck jelas beda dengan kalau menjamu. Di rumah, saya lebih bebas. Mi ayam jamur dan bakso saya sudah teruji. Sop buntut saya diakui dikangeni. Tapi tak mungkin membawanya ke rumah orang kan!? Repot, mengangkut kuah begitu. Dan saya tak punya wadah yang memadai juga.

Ayam Tante Alfi jelas sudah tak diragukan lagi. Demikian juga rendang jawa ala saya. Saya sebut rendang jawa karena bumbunya tak sebanyak rendang minang. Plus, pasti masih ada sausnya. Tidak kering seperti rendang minang standar.

Teman-teman juga suka urap ala-ala saya. Semua sayur dicampur jadi satu dengan bumbu kelapa. Banyak yang memintanya sebagai teman makan ayam. Karena saya hampir tak pernah membuat sambal untuk selain keluarga kecil. Ulekan saya mini! Dan saya belum bisa mendosis kalau harus menggunakan blender.

Gudeg jogja eksperimental saya juga banyak yang menanyakan. Padahal dulu saat belum punya panci besar, saya memasaknya di oven. Dengan sabar mengecek, mengaduk selama 2 jam. Mungkin rasa gudeg jadi lebih enak dialiri hawa ketekunan ya? Hahaha.

Teman-teman Ucok dan Butet sangat suka dengan sayap ayam madu saya. Hanya dibumbui kecap manis, madu, dan 5 spices, kata mereka itu adalah ayam terenak yang pernah mereka makan!

Masih ada juga ayam sambal lado dan gulai kikil yang diilhami masakan teman-teman WNI lain. Suka dengan hidangan saat mereka jamu, saya pun ingin mencoba memasaknya sendiri. Lagi-lagi dengan bumbu yang disederhanakan. Alhamdulillah enak juga, sudah teruji dihidangkan ke orang lain dan mereka menyatakan suka.

Hmmm... Ternyata banyak juga yang bisa jadi bahan potluck dari saya ya? Saat undangan halal bi halal Rabu kemarin, saya juga sudah berpikir mau membawa rendang saja. Kebetulan ada persediaan daging sapi di freezer.

Namun saya terlalu lama berpikir. Takut tak sempat memasak karena Selasa sore ada kursus tambahan, mengganti saat Sensei tidak hadir. Akhirnya keduluan yang lain, ada yang membawa rendang. Dan sudah ada banyak lauk lain juga. Karenanya saya memutuskan untuk membawa hidangan penutup saja.

Dan saya memilih Wingko Babat. Kue khas Semarang dengan cara memasak yang saya sederhanakan itu sudah teruji berkali-kali cocok baik untuk lidah Indonesia maupun orang Eropa. Karenanya pas untuk jamuan di mana yang diundang adalah keluarga, tak hanya orang Indonesia saja.

Mau tau resepnya? Barusan saya cari sepertinya memang belum pernah tercatat di blog ini.

Bahan-bahannya:

  • 200 gram kelapa parut kering (kalau basah kayaknya lebih gurih)
  • 150 gram tepung ketan
  • 150 gram gula pasir
  • 200 ml santan kental (saya biasa menggunakan santan kental Kara)
  • 100 ml air matang
  • 1 butir telur

Campur rata semua. Setelah tercampur, tuangkan ke dalam loyang yang dilapisi kertas roti. Ratakan adonan dan olesi (taruh beberapa potong tipis) mentega bagian atasnya, lalu panggang selama 30 menit dengan suhu 185°C.

Mudah kan!?

Kemarin saya kurangi gulanya sampai 100 gram, dan untuk teman-teman saya masih enak. Tapi menurur teman Butet sih kurang manis. Memang saat memasaknya adonan terasa lebih cair dan hasilnya tidak secantik kalau dosis gulanya full.

Eh tapi, kalau ada tamu yang datang langsung dari Indonesia, saya tak akan menyajikan hidangan Indonesia. Saya akan memasak menu Eropa. Ayam atau ikan utuh panggang, salmon kukus, ... meskipun makannya tetap ditemani nasi dan disediakan sambal!

Hidangan Indonesia saya, yang minimalis bumbunya itu, tak akan cocok dengan lidah Indonesia yang terbiasa pekat bumbu. Masakan Indonesia saya hanya bisa dinikmati mereka yang berlidah Eropa! Hihihi.


Comments

Popular posts from this blog

Memimpikan Bandung Tanpa Macet

Televisi

Pindah or not Pindah