Wingko Babat vs Medovik

Rabu lalu saya memenuhi undangan Halal bi Halal yang diadakan para WNI di daerah saya. Sejak pandemi, boleh dibilang saya tak pernah ikut kumpul-kumpul besar-besaran. Hanya sekali memenuhi undangan ulang tahun suami dari WNI yang sudah saya anggap kakak sendiri. Selain itu, kumpul-kumpul kecil yang kurang dari sepuluh orang saja. Ah ya: atau acaranya konsulat!

Kebetulan setelah masa pandemi dinyatakan berlalu, saya juga mengalami beberapa masalah kesehatan. Lutut yang tak bisa diandalkan, lalu kelingking kaki yang retak karena tersandung dan belum pulih juga. Karenanya, untuk ke Antibes, rumah teman tempat diselenggarakannya acara, saya meminta Butet untuk menemani saya. Dukungan moral, penenang hati kalau tetiba lutut terasa sakit atau kelingking mulai nyeri.

Saya tahu, mengajak remaja ke acara orangtua itu tidak ideal. Apalagi Butet anak yang pendiam. Disandingkan dengan keramahan ala Indonesia, jelas tidak klop. Dan begitulah akhirnya kejadiannya.

Tadinya saya pikir Butet akan senang saya ajak ke sana. Rumah teman saya terletak di daerah Cap d'Antibes. Pemandangannya indah. Apalagi mereka memiliki kebun mawar yang sedang mekar-mekarnya. Bisa jadi bahan objek tugas fotografi, kan!?

Namun Butet memutuskan ngambek. Duduk diam sendiri di meja panjang yang sudah disediakan untuk makan bersama. Nyaris tak bergerak kecuali untuk mengambil makan. Itupun tak banyak.

Lepas dari bahwa saya tegur anaknya, saya biarkan dia duduk sendiri sepanjang acara. Mencoba belajar, lalu menggambar sendiri. Tak saya libatkan dalam acara kecuali untuk bersalam-salaman. Tak saya desak bergabung dengan remaja lain yang hanya 1-2 tahun lebih muda darinya. Tidak juga saya paksa menanggapi anak perempuan balita yang membuntutinya ke mana-mana.

Yang jelas acara sukses. Perjalanan juga lancar meski agak lambat sampainya karena banyak proyek perbaikan jalan. Yang penting kaki aman. Meski sesudah itu saya merasakan nyeri, ya di lutut, ya di kelingking kaki kiri, sampai saat saya menulis ini.

Saya membawa Wingko Babat, makanan penutup andalan untuk acara-acara potluck. Saya masak dua loyang, dipotong-potong, dan disajikan di kertas cupcake biar praktis dan tidak lengket. Laris-manis, ludes banyak yang suka. 

Masih ada sisa di rumah yang tak masuk ke dalam kotak kue. Saya tanyakan ke Butet, apakah temannya suka kue kelapa. Kebetulan Kamisnya dia ada rencana bertemu teman di kota. Dan di rumah, tak ada yang suka kudapan manis Indonesia selain saya!

Karena katanya suka, saya siapkan enam potong wingko babat tercantik ke dalam kotak transparan kecil. Sengaja tak banyak. Takutnya tak suka kan mubadzir, nantinya. Alhamdulillah ternyata suka.

Jumat pagi Butet pamit mau bertemu teman yang sama. Mau ke museum. Dan dia cerita kalau temannya menyiapkan kue untuk kami! Orangtuanya memaksanya membuat kue malam-malam, untuk mengisi dan mengembalikan kotak kue yang lupa saya pesankan untuk dibuang saja kalau merepotkan!

Jadilah untuk pertama kalinya saya mencicipi kue Medovik (Медовик) khas Rusia, yang proses pembuatannya jelas jauh lebih rumit ketimbang Wingko Babat ala saya yang hanya mencampur semua bahan lalu memasaknya di oven saja!


Comments

Popular posts from this blog

Memimpikan Bandung Tanpa Macet

Televisi

Pindah or not Pindah