Masih Tentang Manajemen Nasi

Kamis 30 Maret yang lalu, komunitas Mamah Gajah Ngeblog mengumumkan hasil voting Tantangan bulan Maret 2023. Tulisan saya mengenai manajemen nasi meraih Paling Relatable 1, Populer 2, dan Favorit 5! Horeee!!!

Senang sekali mendapatkan apresiasi yang bagus begitu. Komentar-komentar juga banyak yang masuk. Saya sendiri tak sempat meninggalkan komentar di setoran mamah-mamah lain. Padahal saya mengunjungi dan membacanya paling tidak dua kali! Pertama saat mereka setor, dan kedua saat voting. 

Dari komentar di blog dan juga diskusi di telegrup, ada beberapa catatan yang bisa saya tambahkan dari tulisan saya itu.

Mengaduk Nasi

Mengaduk nasi sudah sempat saya sampaikan di setoran tantangan. Namun hanya dalam kasus sesudah memanaskan. Karena dalam kasus microwave, panas memang tidak langsung merata. Dan saya sendiri termasuk yang kurang awas. Makanya terpikir untuk menuliskan.

Salah satu peserta tantangan, Teh Echa, membahas soal mengaduk nasi tepat sesudah selesainya proses memasak nasi di rice cooker. Teh Shanty berkomentar, menyebutkan bahwa itu tips tambahan untuk tulisan saya. Lalu saya berkomentar, saya pikir mertua saya saja yang nggak biasa. Hihihi.

Memang di awal pernikahan saya pernah agak konflik dengan mertua karena beliau tak setuju saya mengaduk nasi dalam rice cooker-nya. Katanya jadi keliatan kayak nasi sisa. Sayangnya waktu itu saya tak menjelaskan secara logika tentang panas dan uap air di dalam panci. Malah berargumentasi; kalau dari awal sengaja diaduk, mau sudah dimakan pun nggak keliatan kan!? 

Ngajak perang ya? Maklum waktu itu masih muda. Hahaha.

Kemudian hari, nasi di rumah mertua diaduk sih. Cuma sudah berapa lama coba, nasi di rice cooker di sana tak diaduk?

Namun memang sih, kalau memasak nasi dalam rice cooker dan habis sekali makan, tak akan terlalu terasa manfaat tahap mengaduk ini. Apalagi kalau apik seperti mertua saya yang memindahkan nasi ke bakul. Tidak menangkringkan rice cooker di atas meja!

Sayangnya, proses pengadukan ini tak berhasil menyelesaikan masalah nasi berkerak untuk proses memasak terlalu sedikit di rice cooker kapasitas besar. 

Karak dan Nasi Tim

Dari komentar di blog, saya mendapatkan dua ide baru pemanfaatan sisa nasi; karak dan nasi tim.

Karak

Menulis ini, saya baru tahu kalau karak masuk dalam KBBI. Saya mengenalnya sebagai istilah untuk kerupuk nasi dalam bahasa Jawa. 

Mbak Tami mengusulkan ide karak ini dalam komentarnya. Meski dia ragu apakah saya bisa membuatnya. Takut kurang matahari.

Memang kalau musim dingin, sepertinya sulit. Matahari tak cukup terik. Belum lagi hujan. Namun di musim panas, bahkan mulai musim semi, sebenarnya itu bisa dicoba. Beberapa teman Indonesia di Prancis sudah pernah mencoba kok. Hanya memang mereka tinggal di rumah tapak. Bukan di rumah susun seperti kami. Dan kendala utama adalah bahwa saya tak memiliki cukup kesabaran untuk itu! Hihihi.

Nasi Tim

Nasi tim diusulkan oleh Teh Ririn. Terus terang saya tak pernah terpikir membuat nasi tim dari sisa nasi. Saya pikir harus dari nasi baru. Bahkan dari beras. Dan terus terang saya memang belum pernah membuat nasi tim sama sekali! Hehehe.

Tapi saya jadi tertarik. Sepertinya bisa dicoba, untuk sekalian menakar porsi nasi untuk saya yang perlu menurunkan berat badan ini. Taruh tumisan daging/ayam sayur dalam mangkuk, tutup dengan nasi, lalu panaskan di microwave. Balik ke piring untuk menghidangkan.

Microwave? Karena saya tak punya kukusan. Dan pemanasan microwave bisa menggantikan proses pengukusan juga kan!?

Ide Yangati

Sebenarnya ide menyimpan nasi di kulkas pertama kali saya dapatkan dari Yangati. Nenek saya. Ibu dari bapak saya. Beliau yang waktu itu hanya berdua dengan Yangakung sudah biasa menyimpan nasi sisa di kulkas. Pemanasannya? Dengan kukusan, tentunya. Belum mode microwave, saat itu.

Soal karak dan nasi tim pun sebenarnya sudah biasa beliau lakukan. Namun saya tak menangkapnya sebagai life hack pemanfaatan nasi. Lagi-lagi saya menganggap itu normal. Wajar. Jamak.

Saat masih ikut orang tua, sekali masak nasi hampir selalu habis sekali makan. Maklum anggota rumahnya banyak. Kalaupun sisa, paling sedikit. Bisa jadi makanan ayam, seperti kata Uni Elsa.

Saat merantau jadi mahasiswa, beli nasi hanya porsi sekali makan. Tak ada kulkas juga. Namanya juga kos-kosan standar tahun 90-an. Akhir!

Baru setelah menikah, hidup hanya berdua, terasa sekali manfaat tips Yangati ini. Punya anak dua dalam masa pertumbuhan pun, manajemen nasi masih diperlukan. Dan kemudian life hack ini diikuti Ucok, dan nantinya mungkin juga diturunkan ke si Butet saat tiba gilirannya merantau.

Tak Ada Ide yang Tak Berguna

Tantangan bertema life hack Maret kemarin membuat saya tersadar: apa yang kita lakukan sehari-hari, yang sudah seakan otomatis, bisa jadi adalah pengetahuan baru buat yang lain. Bisa jadi, apa yang kita anggap ah, gitu doang itu bisa membantu mempermudah, meringankan beban orang lain.

Apapun yang biasa kita lakukan, dan kalau tidak kita lakukan akan membuat kita sengsara—halah!—adalah life hack. Barang apapun yang biasa kita gunakan dan saat itu tak ada membuat kita ribet adalah life hack.

Semua ide yang mempermudah hidup kita, pasti berguna juga untuk orang lain. Karenanya, akan lebih bermanfaat lagi bila ide itu dituliskan. Dan dibagikan.


Comments

Popular posts from this blog

Memimpikan Bandung Tanpa Macet

Televisi

Pindah or not Pindah