Pindah or not Pindah

Pindah or not pindah?

Itu adalah pertanyaan yang berulang datang bersamaan dengan musim semi, boleh dibilang sejak tahun 2018! Ya! Sudah selama itu kami terombang-ambing dalam ketidakjelasan.

Untuk Tantangan Blogging Mamah Gajah Ngeblog bulan September 2023 yang bertema "Pengalaman Menghadapi Tantangan Hidup Terbesar (Rohani dan/atau Jasmani)" dengan host duo Mamah Shanty dan Mamah Sienta, saya ingin menceritakan tantangan ketidakpastian yang masih saya alami sampai saat ini.

Singapura

Senang sekali saat pertengahan 2018 suami mengatakan mendapat tawaran pindah kerja ke Singapura. Sudah lama saya ingin mendekat ke keluarga. Tak perlu dekat-dekat amat. Asal bisa mengunjungi mereka relatif kapan saja, tanpa harus mengalokasikan 24 jam perjalanan, dan menghabiskan dua tahun tabungan.

Tahun itu jadwal kami ke Indonesia. Di samping senang, ada rasa ragu; bisa gitu, kami pindahan? Rasanya belum siap. Bukan cuma soal tempat tinggal, tapi juga soal sekolah anak-anak. Apalagi si Ucok sudah kelas 3 SMA!

Bersiap liburan, excited pengin cerita ke keluarga besar tapi merasa belum waktunya, kami menghitung-hitung kesiapan sendiri. Untung saya bisa menahan diri. Karena singkatnya, kami putuskan tidak jadi pindah saja dulu.

Awal tahun 2019, tawaran pindah ke Singapura datang lagi. Kali ini kami ada cukup waktu menimbang dan mempersiapkan diri. Kami putuskan untuk pindah bertiga saja. Si Ucok sudah saatnya kuliah. Dan dia lebih memilih tetap di Eropa saja.

Suami menyiapkan urusan pindah kerja dan administrasi izin tinggal, saya mengurus sekolah si Butet. Saat itu kami mendapati sekolah Prancis di Singapura, yang sebelumnya hanya menerima siswa berkewarganegaraan Prancis, sudah bisa menerima warga negara lain. Asal bisa mengikuti bahasanya, tentunya. Dan Butet yang dari lahir di Prancis, tidak masalah untuk diterima.

Izin tinggal untuk kami sekeluarga sudah oke dengan lancarnya. Jarang-jarang, kabarnya. Biasanya, yang kerja terlebih dahulu mendapatkan izin, baru kemudian keluarganya menyusul. Alhamdulillah lah ya.

Kami sedang hendak membayar uang muka pendaftaran sekolah saat berita mengenai pemangkasan perusahaan terdengar. Banyak terjadi pemecatan di perusahaan tempat suami kerja, di semua cabangnya di seluruh dunia. Bahkan ada yang ditutup segala!

Terjadi pengurangan pegawai di kantor suami di Prancis saat itu. Termasuk atasan  langsungnya sendiri. Dan atasan barunya, justru menahan suami saya untuk tidak pergi.

Sudah sempat mengepak sebagian buku dan mainan, kami memutuskan tidak jadi pindah. Beberapa waktu kemudian, kami mendengar cabang Singapura memangkas karyawannya juga.

Nougat de Tours, kue khas kota yang belum berjodoh jadi tempat kuliah Ucok

Namun sepertinya memang itu yang terbaik. Perjalanan Ucok menuju bangku mahasiswa tidak semulus yang kami harapkan. Ada banyak cerita yang mengiringinya. AlhamduliLlaah kami semua masih berkumpul bersama di Prancis.

Paris

Pada dasarnya suami memang sudah jenuh bekerja di perusahaan yang sama selama belasan tahun. Ingin tantangan baru. Diam-diam dia melamar pekerjaan ke beberapa perusahaan lain. Baru memberi tahu saya saat dipanggil wawancara.

Saya sendiri sudah lama mengajukan keinginan untuk pindah kota. Pengin ganti saja. Mumpung Butet masih bisa dibawa-bawa. Kalau abangnya sih sudah dewasa. Terserah dia mau di mana. Karenanya, merupakan kabar yang menyenangkan saat akhir 2019 suami dinyatakan diterima di sebuah perusahaan di Paris.

Kami diberi fasilitas pindahan dari kantor. Termasuk mengunjungi kota-kota dan mencari rumah di Paris, yang kami lakukan saat libur sekolah musim dingin, Februari 2020. Semua seakan sudah pasti. Sampai-sampai saya tak berani ke Indonesia menjenguk ibu yang terkena stroke ringan di akhir Februari itu juga--alhamdulillaah ibu baik dan sudah pulih dari strokenya. Karena suami dijadwalkan mulai pindah dan bekerja di kantor barunya akhir Maret. Rencananya, saya dan Butet menyusul saat libur kenaikan kelas sekalian saja di bulan Juli.

Kontrak sewa rumah sudah di tangan. Tiket pesawat pun siap. Kurang seminggu dari jadwal keberangkatan suami, diberlakukan kuncitara pertama di Prancis!

Waktu itu, kami masih bertanya-tanya; berapa lama? Apakah kami bisa pindah sesuai rencana? Harus mundur ke akhir tahun? Atau ke tahun ajaran baru berikutnya?

Kastil kota Saint Germain en Laye yang belum berjodoh jadi tempat tinggal kami (kotanya, bukan kastilnya, tentu!)

Dan pertanyaan itu berulang setiap tahun, sampai tahun ini. Setiap Maret-April. Karena memang saat itulah biasanya penutupan pendaftaran sekolah. Pertanyaan yang kompleksitasnya bertambah, setara dengan peningkatan kelas Butet.

Singkatnya, tahun ini kami masih memutuskan untuk tidak pindah. Dan tak akan pindah sampai Butet lulus SMA. Yang artinya sampai 2025.

Kalau dari awal kami tak memaksa pindah, salah satu alasannya adalah karena suami saya boleh dibilang langsung dikirim bekerja di klien oleh kantor barunya. Sampai semester pertama 2023 lalu, kliennya berada di Toulouse. Untuk apa saya dan Butet pindah ke Paris kalau toh ternyata papanya tak ada di sana kan!? Apalagi suami saya hanya perlu maksimal 3 hari ke kantor dalam seminggu sesudah kuncitara dibuka. Di luar itu, dia tetap bekerja secara daring.

Ternyata untuk semester kedua ini, misi di Toulouse sudah dinyatakan berakhir. Suami ditugaskan ke klien lain ... di Paris!

Saat harus bekerja di kantor klien di Toulouse, suami dianggap business trip. Semua biaya transport dan akomodasi ditanggung kantor. Kalau kerja di Paris, dia dianggap kerja lokal saja. Kan kantor utamanya di Paris. Jadi ya tak ada akomodasi. Biaya transport? paling senilai tiket kereta lokal dalam kota saja!

Beruntung suami masih tetap bisa bekerja daring dan hanya perlu sebulan sekali setor muka. Yang itu, tetap saja perlu biaya yang tak bisa diabaikan. Tentu saja ini sudah kami pikirkan sebagai konsekuensi pilihan untuk tidak pindah.

Tetap Bersyukur

Ya, banyak yang bisa disyukuri dari tantangan berkaitan dengan pindah ini. Sudah sempat saya tuangkan dalam Tantangan Blogging MGN November 2021. Hanya terlewat satu, dan justru yang terpenting: bersyukur saya memiliki anak-anak yang kuat. Yang bisa diajak berdiskusi dan cukup cerdas untuk memahami kondisi. 

Bangga pada Ucok yang bisa menikmati hidup di rantau dengan budget mepet. Mengerti bahwa segala kemungkinan masih bisa terjadi sehingga kami semua harus mengencangkan ikat pinggang tanpa terkecuali. Bangga pada Butet, remaja saya yang tegar dan penuh percaya diri; boleh dibilang tiap akhir tahun ajaran pamitan ke teman-temannya, untuk kemudian saat liburan mengabarkan kalau tak jadi! Hahaha.

Yah, nikmati sajalah. Jalani saja, sambil tak lupa membuat rencana. Dengan terus berserah pada keputusan-Nya, tentunya. Insya Allah semua ada hikmahnya.

Tetap berharap, semoga di musim semi 2024 kebimbangan untuk pindah tidak perlu datang lagi dan kami bisa menjalani semuanya dengan lancar. Aamiin.

Nyanyi D'Masiv lagi ga, nih? 

Atau ada usul lagu lain?

Hehehe.

 





Comments

  1. Syukuri apaa yang adaaa, hidup adalah anugeraaah #nyanyi

    Nggak di Indonesia, nggak di Perancis, hidup tetap bisa penuh ketidakpastian ya teh.

    Syukuri apaa.. #nyanyi lagi

    ReplyDelete
    Replies
    1. Itu lagu ngena banget deh, syairnya. Ada yang lebih baru dan senada seperti itu nggak sih? 😁

      Delete
  2. Cerita yang sama bagi keluarga nomaden. Selalu deg-degan saat di waktu tertentu.

    ReplyDelete
    Replies
    1. Melelahkan ya mbak? Pindah rumahnya sih ga susah. Mindahin sekolah anak itu yang rumit. Apalagi kl udah usia SMP-SMA.
      Bismillah. Semoga diberi kelancaran selalu ya mbak 😇

      Delete
  3. Pasti nggak enak juga ya kalau segala sesuatunya belum pasti dan jelas. Tapi ya memang harus dinikmati aja, dan akhirnya yang terjadi memang keputusan yang terbaik ya.

    ReplyDelete
  4. Replies
    1. Kepencettt
      Ahhaha

      Namanya hidup penuh ketidak pastian 😍 tapi pindah pindah teh emang menantang ya Teh

      Delete
    2. Pindah2 itu menantang? Wah, ga tau teh. Kan belum jadi pindah, tuh! 😁✌️

      Delete
  5. Ucok dan Butet fix sudah menjadi cosmopolitan ya, warga dunia. Siap ke manapun diarahkan oleh kedua orangtuanya melangkah. Pemberani dan berwawasan luas. 🥰

    Aamiin aamiin alhamdulillah. Setuju, Mba Alfi, apapun dan bagaimanapun tantangannya, hanya ada kata alhamdulillah.

    Semoga lancar selalu, Mba Alfi 😍

    ReplyDelete
    Replies
    1. Aamiin. Semoga tetap bisa melihat dari sisi positif ya. Yakin, semua ada hikmahnya 😇

      Delete
  6. Aduh, salut deh buat Mbak Alfi. Aku paling nggak bisa pindah-pindah gitu. Ini aja udah dua tahun pindah dari Bandung ke Tangsel (padahal cuma sepelemparan batu) stres adaptasinya masih ada aja huhu.

    ReplyDelete
    Replies
    1. Salut apanya teh? Ini kami dah 18 taun di rumah yang sama nih! 🤭🤭✌️

      Delete

Post a Comment

Popular posts from this blog

Memimpikan Bandung Tanpa Macet

Televisi