Ke Night Market Ngarsopuran

Semalam kami ke Night Market Ngarsopuran (kemudian saya singkat menjadi NMN). Memenuhi kepenasaran Ucok akan pasar kaget yang hanya diadakan tiap Sabtu malam itu. Kebetulan kemarin adalah satu-satunya Sabtu yang dia bisa. Karena Sabtu depan dia ada acara. Sabtu depannya lagi? Sudah waktunya ke Bandung, lah ya.

Saya sendiri belum pernah ke NMN. Meski tau bahwa Solo di malam Minggu itu macet, apalagi masih masa cuti bersama dan libur sekolah, saya tak mengira bahwa akan begitu sulitnya mencari  kendaraan untuk ke kota.

Kami sudah bersiap sesudah salat Magrib. Saya coba panggil Gocar, tak ada yang menjawab. Sempat ada yang menjawab, lalu dibatalkan. Setelah beberapa kali gagal, adik saya menyarankan untuk naik bus saja.

Batik Solo Trans merupakan jaringan bus modern yang pertama di Indonesia (cmiiw). Sampai saat ini, kualitasnya masih dipertahankan. Jalur merata, frekuensi cukup, kondisi bus terawat. Kebetulan rumah adik saya terletak di dekat halte pertama sesudah Terminal Bus Kartasura. Bus terakhir jam 21.

Tak lama menunggu, datang bus yang lewat begitu saja. Lampu di dalamnya tak dinyalakan. Kami pikir mungkin sudah tak menarik penumpang. Beberapa menit kemudian ada lagi. Sama juga. Gelap dan tak mau berhenti. Setelah bus ketiga begitu juga, kami memutuskan balik ke rumah dan kembali mencoba Gocar.

Setelah putus asa mencoba memahami aplikasi Teman Bus dan beberapa kali gagal memesan Gocar, ada satu yang menjawab. Lama, baru terlihat bergerak. Tinggal 300an meter, mobil berhenti dan tak bergerak lagi!

Saat batas waktu yang ditetapkan Gocar habis—dan saya mendapatkan voucher 10 ribu rupiah—saya mengirim pesan ke sopir. Tidak ada jawaban! Baiklah saya batalkan meski sudah membuang waktu 30 menit menunggu.

Kalau hanya saya, saya sudah akan putus asa. Tak mau usaha lagi. Tapi karena kemarin adalah satu-satunya kesempatan Ucok tahun ini, saya usahakan lagi. Dan ada yang menjawab. Dan kami menunggu lagi karena mobilnya berada di lokasi yang cukup jauh.

Syukurlah sopirnya baik. Menyetir dengan tertib—menyalakan lampu sein saat berganti jalur!—dan mengantarkan kami sampai tujuan. Meminggirkan mobil dan memastikan kami keluar dengan aman di tengah kemacetan. 

Saya merasa senang saat kemudian dia langsung menerima penumpang lain. Kasihan juga sudah jauh-jauh, masih dengan tarif normal lalu harus pulang kosong kan!? Karena pulangnya, kami membayar tarif dua kali lipat. Dengan mobil yang lebih jelek dan sopir yang melanggar lalu-lintas beberapa kali. Plus batuk-batuk tanpa masker, juga mengecek whatsapp sambil menyetir!

Saya belum memberi rating untuknya sampai saat ini. Entah apakah saya akan memberikannya. Yang jelas, saya tak rela memberinya tip.

Enfin bref!

Kami disambut dengan lautan motor yang terparkir di ujung Jalan Diponegoro dari arah Slamet Riyadi. Lautan manusia juga, tentunya. Tapi masih cukup nyaman untuk dijalan-jalani kok.

Seperti informasi dari adik dan teman, pasar malam ini lebih banyak menawarkan pakaian dan makanan. Kami sendiri niatnya lebih mencari suvenir kerajinan, dan mungkin barang antik. Tapi sepertinya kami harus datang lagi di siang hari, saat pasar barang antik Triwindu yang terletak di jalan yang sama itu buka.

Ucok mendapatkan atasan batik untuknya dan juga untuk dua temannya. Butet mendapatkan blazer biru cantik. Saya tak menawar. Terburu kedapatan kalau anak-anak tak bisa berbahasa Indonesia! Hahaha.

Jalan agak jauh, Butet jatuh hati pada setelan piyama. Kali ini saya tak menawar. Sudah murah!

Sampai di ujung jalan, waktu sudah menunjukkan pukul 9 malam. Saya tawarkan pada anak-anak untuk makan. Tapi kami takut malas untuk menyeberang ke istana Mangkunegaran yang di halamannya digunakan sebagai food court. Sepertinya ada acara juga. Pilihan jatuh pada Cafe Tiga Ceret yang cukup viral.

Ucok cocok dengan hidangannya. Butet tidak. Padahal mereka tak makan siang karena tidur. Ya! Masih jetlag. Waktu makan masih berantakan. Tak didukung selera, pula!

Sego kucing dan ubo rampenya

Hari ini kami di rumah saja. Lelah, saat sampai rumah sudah menjelang jam 11 malam. Meski biasanya kami belum bisa tidur juga.

Sebenarnya persepupuan di Solo mengadakan camping bersama Sabtu sore hingga Minggu siang. Ada versi dari camping dengan tenda hingga glamping dengan rumah pohon atau kabin kayu lengkap dengan kamar mandinya di dalam.

Persepupuan Bandung mengadakan acara juga di waktu yang sama. Yang ini di villa. Tapi dari awal kami sudah menyatakan izin absen. Merasa tak mampu. Dan memang begitu kondisinya juga. Meski lalu teriri-iri melihat foto-foto yang dikirim di wag keluarga.


Comments

Popular posts from this blog

Memimpikan Bandung Tanpa Macet

Televisi

Pindah or not Pindah