Pendaftaran IMEI untuk WNA

Sesuai rencana, kali ini saya akan berbagi cerita mengenai pendaftaran IMEI bagi WNA. Tapi disclaimer dulu: ini berdasar pengalaman akhir Juni 2023. Bisa jadi nanti ternyata prosedurnya lain kan!?

Kok bisa pengalaman WNA? Pengalaman siapa?

Buat yang belum tahu, dari kami berempat, baru si Ucok yang sudah pindah kewarganegaraan. Terpaksa. Karena Indonesia tidak belum mengakui dwi kewarganegaraan. Saya, suami, dan Butet masih WNI.

Cinta Indonesia? Meski paspornya sudah tak hijau lagi, Ucok masih cinta Indonesia kok! Jadi kecintaan pada bangsa tak ada hubungannya dengan warna paspornya! Kalau kami masih WNI, itu karena belum melihat keuntungan berganti saja. 

Tapi itu bahasan lain lagi. Sekarang fokus soal IMEI saja dulu yaaa.

Saat melakukan laporan bea cukai kemarin, saya masukkan Ucok ke formulir bersama. Meski warna paspornya berbeda? Yak! Dan bisa kok.

Di formulir bea cukai itu sebenarnya ada pendaftaran IMEI juga. Namun karena bagasi pas sudah lengkap dan penjemput sudah cukup lama menunggu, saya putuskan daftar IMEI belakangan di Grapari saja. Ceritanya malas masukin nomor IMEI-nya. Hahaha. Oh ya, gerai pendaftaran IMEI di bandara yang kami lihat di tahun 2022, sudah tidak ada lagi kemarin itu.

Ponsel saya yang dibeli di Indonesia dan berisi kartu SIM Indonesia, tak masalah dan langsung tersambung jaringan seluler Indonesia. Ponsel Ucok dan Butet bisa cukup tethering ke ponsel saya atau konek ke wifi yang ada. Tapi biar si Ucok lebih bebas, dan pengin tau juga prosedurnya sebenarnya seperti apa.

Datang bersamaan dengan Iduladha, kami harus menunggu selesainya tanggal merah untuk ke Grapari Telkomsel di Solo. Antri beberapa menit, kami diterima petugas. Ucok hanya perlu menunjukkan ponselnya dan paspor yang ditempeli visa. Semua proses dikerjakan petugas. Praktis, meski agak lama.

Ucok mendapat hak akses turis sesuai masa berlaku visanya. Yang visanya sendiri diberikan sesuai tiket keluarnya dari Indonesia. Yang untuk Ucok adalah satu bulan saja. Kurang sehari!

Untuk kartu SIM-nya dikenai biasa 10 ribu rupiah saja. Namun saya meminta petugas untuk sekalian mengisi kuota internet. Biar jelas sudah aktif dan tinggal pakai. Total yang kami bayarkan 100 ribu rupiah termasuk kuota 42 Gb.

Oh ya, untuk validasinya, Ucok diminta berfoto bersama paspornya. Jadi, pemilik ponsel harus hadir saat pendaftaran IMEI. Tidak bisa diwakilkan!

42 Gb untuk seorang game desainer memang kecil sekali. Apalagi terbiasa di Eropa, kami memiliki koneksi internet yang praktis unlimited. Dan cepat! Belum dua minggu, kuotanya sudah habis!

Saat mau mengisi ulang di *363# saya lihat di menu depan ada tawaran internet 30 Gb gratis! Tentu saja tak kami lewatkan. Dan benar-benar gratis! Fasilitas untuk turis, mungkin ya?

Bukan berarti itu cukup untuk seminggu yang tersisa dari masa liburan Ucok. Kebetulan saat itu kami sudah harus ke Bandung. Dan kuota yang tersisa adalah kuota lokal, yang tidak bisa digunakan. Sampai saat ini, saya masih belum menemukan definisi kuota lokal.

Karena Ucok hanya 4 hari di Bandung, saya tak berani membelikannya kuota yang besar. Takut nanti kalau ada sisa tak bisa dipakai di Jakarta. Kami memilih membeli kuota 3 harian di Bandung, lalu beli kuota yang sama lagi saat sudah di Jakarta. Jaga-jaga untuk komunikasi, untuk tidak mengandalkan wifi bandara lah.

Entah kapan tepatnya kartu SIM Ucok dinonaktifkan. Saya sendiri lupa mengetesnya. Yang jelas kemarin saat saya mencoba—lima hari sesudah habis masa berlaku visanya—, telepon tak tersambung sama sekali. Langsung terputus, tanpa nada tunggu.


Comments

Popular posts from this blog

Memimpikan Bandung Tanpa Macet

Televisi

Pindah or not Pindah