Film-film Akhir 2023

Rabu adalah hari rilis film baru di Prancis. Saya suka nonton film. Tapi tentu tak semua film layak diperjuangkan untuk ditonton di bioskop. Apalagi mengingat harga tiket yang tidak murah.

Kemarin, saya mengecek ada film baru apa yang rilis. Tak ada yang menarik. Padahal akhir tahun lalu saya banyak sekali ke bioskop. Rekor lah, tingkat keseringan nontonnya. Tidak seintens pas Festival Film Cannes, tentunya, Tapi itu ceirta lain lagi. 

Jadi pengin nge-list, film apa saja yang sudah saya tonton akhir tahun kemarin.

Dimulai awal November dengan film The Boy and the Heron-nya Hayao Miyazaki. Saya menonton film Ghibli yang sudah ditunggu-tunggu itu bertiga suami dan putri remaja kami. Bela-belain nonton malam di hari rilis pertamanya. Mengejar satu-satunya jam tayang versi asli berbahasa Jepang. 

Seminggu kemudian saya menonton Perfect Days-nya Wim Wenders. Kali ini berdua saja dengan suami. Butet malas keluar pagi-pagi mengejar jadwal pemutaran premier yg diadakan klub film kota Cannes itu.

Tak terasa, dua film berbahasa Jepang berturut-turut. Dengan takarir Prancis, tentunya!

Masih November, saya mengajak sahabat Indonesia bersama menonton Autobiography-nya Makbul Mubarak. Diputar siang di hari kerja, soalnya. Kebetulan dia pas libur hari itu. Film yg kami tonton dalam bahasa Indonesia dengan takarir Prancis itu ternyata masih terlalu berat bagi sahabat saya. Padahal saya pikir karena terseleksi untuk Oscar sudah lumayan enak ditonton lah, dibanding film Cannes.

Kemudian saya menonton Cobweb-nya Kim Jee-woon bersama Butet. Kami menontonnya dalam versi bahasa Korea. Ya ya ya: dengan takarir Prancis!

Film satu ini ajaib sekali. Comedie burlesque, kalau mengambil istilah Prancis. Memang film ini masuk ke seleksi Festival Cannes 2023 di luar kompetisi. Butet sih senang-senang saja. Hanya kami sepakat: agak kepanjangan!

Rangkaian menonton film diakhiri dengan nonton sendiri. Film The Braid-nya Laetitia Colombani. Film ini diputar di bioskop kecil kota tempat tinggal saya dalam acara Ciné Lecture. Di acara ini setelah diputar film yang khusus dipilih yang diadaptasi dari buku, diadakan diskusi mengenainya.

Buku La Tresse yang mengilhami film ini sendiri sudah sempat dibahas di Club Lecture (klub buku) yang saya ikuti, masih di kota tempat tinggal saya. Pembahasan diadakan sejak buku baru terbit, tahun 2018. Sebelum mengikuti Ciné Lecture, saya membacanya ulang untuk mengingat kembali.

Adaptasi filmnya cukup sejalan dengan bukunya. Maklum disutradarai oleh penulisnya sendiri, yang memang sebelum menjadi penulis sudah berpengalaman menjadi sutradara!

Film yang unik karena menggunakan tiga bahasa. Meski sutradaranya orang Prancis dan buku aslinya berbahasa Prancis, filmnya tidak menggunakan bahasa Prancis sama sekali. Kita bisa mendengar bahasa Hindi, Italia, dan Inggris. Senang sekali Ciné Lecture memilih versi asli, bukan versi dubbing Prancis.

Sebenarnya saya sudah mengajak Butet yang menyatakan berminat. Namun dia batal ikut karena ada agenda nonton bareng dengan kelas bahasa Prancis di sekolah. Sampai saat ini mereka belum nonton juga. Entah jadi atau tidak.

Dicatat dalam satu tulisan begini, jadi terlihat bahwa tak ada satupun film yan saya tonton itu berbahasa Prancis! Saya menonton semua film dengan takarir bahasa Prancis, tentunya ya. Termasuk film Autobiography! Hihihi.

Semua film di atas saya tonton dalam jangka satu bulan: awal November hingga awal Desember. Sejak The Braid, belum ke bioskop lagi. 

Film apa yang mengawali tontonan bioskop saya tahun ini ya? Apakah perjalanan sinematografi saya tahun ini akan seseru tahun lalu? Kita lihat saja!

---

Ini adalah draft kebablasan yang disusun untuk tantangan 30 Hari Bercerita. Sayang dibuang, ya sudah posting di sini saja. Yang di 30HBC? Copy-paste dikir, dan praktis nulis ulang! Hahaha.


Comments

Popular posts from this blog

Memimpikan Bandung Tanpa Macet

Televisi

Pindah or not Pindah