Ngeri-Ngeri Sedap

Jumat malam kemarin, tak bisa tidur, saya menonton film Indonesia di Netflix: Ngeri-Ngeri Sedap. Film ini sudah saya masukkan ke watchlist sejak keluar pengumuman akan rilis. Namun ternyata malah baru kemarin sempat menontonnya...

Demi Rindu

Menceritakan tentang Pak Domu dan Mak Domu yang ingin sekali agar ketiga anak mereka yang sedang merantau segera pulang. Alasan utamanya adalah agar bisa menghadiri acara sulang-sulang pahompu oppung boru, ibu dari Pak Domu. Alasan lainnya adalah agar anak-anak itu bisa mendengar langsung nasihat Pak Domu, dan kembali mengikuti adat Batak sepenuhnya...

Ketiga anak lelaki itu sudah lama menolak pulang karena bertentangan pendapat dengan ayah mereka. Domu, si anak pertama yang diharapkan menjaga adat, hendak menikah dengan seorang gadis berdarah Sunda. Gabe, si anak ke tiga, menyia-nyiakan ijazah sarjana hukumnya dan memilih menjadi pelawak. Sahat, si anak ke empat memilih tinggal di Jogja, bukannya kembali ke rumah merawat orang tua seperti halnya adat untuk anak lelaki terakhir dalam keluarga Batak. Hanya Sarma, satu-satunya anak perempuan, yang tetap tinggal bersama kedua orang tuanya...

Pak Domu dan Mak Domu pun bersiasat. Mereka berpura-pura hendak bercerai. Dan taktik itu berhasil membuat ketiga anak laki-laki mereka pulang...   

Budaya Batak

Senang sekali menemukan film yang sedikit mengupas budaya Batak. Apalagi sebagai perempuan Jawa yang memiliki ayah mertua Batak. Sayangnya ayah belum sempat mengajarkan budaya Sumatera Utara itu ke cucu-cucunya...

Di film ini misalnya, saya baru melihat orkestra Batak. Saya tak mengenal alat-alat musiknya. Tak pernah terpikirkan. Padahal bukannya belum pernah mendengar lagu Batak. Bahkan saya hafal "Nasonang Do Hita Nadua" meski tak mengerti artinya...

Saya tidak mengerti pemilihan judulnya yang Ngeri-Ngeri Sedap. Apanya yang bikin ngeri? Dan saya tak melihat di mana sedapnya...

Mungkin ngerinya di sisi Pak Domu dan Mak Domu yang takut ketahuan bohong. Atau ngerinya keluarga Domu kalau sampai berita rencana perceraian ini sampai terdengar orang luar. Dalam adat Batak, perceraian adalah hal yang tabu. Demikian juga dalam agama Kristen, tak istilah kata cerai...

Menyembunyikan rahasia ini menjadi intrik sepanjang film. Bagaimana Pak Domu dan Mak Domu berpura-pura marahan di depan anak-anak untuk menguatkan kebohongan rencana perceraian. Bagaimana mereka jaim di hadapan pendeta dan ibu Pak Domu agar rencana itu tak terlihat. Lagipula, rencana pura-pura juga...

Tentu tak sulit bagi Pak Domu dan Mak Domu untuk tetap mesra. Tetap rukun, saling mendukung dalam segala rangkaian acara sulang-sulang pahompu. Lebih sulit untuk Mak Domu menahan diri meluapkan kerinduan pada anak-anaknya. Sulit untuk berpura-pura sedih dan tertekan karena rencana perceraian, saat bahagia bertemu buah cintanya...

Karena itu saya bertanya-tanya juga, mengapa judul dalam bahasa Inggrisnya dipilih Missing Home. Tak ditunjukkan secara eksplisit bahwa anak-anak itu kangen rumah. Saya rasa akan lebih tepat jika judulnya Missing You. Dengan You di sini adalah anak-anak...

Belajar Selamanya

Sebagai perantau dan memiliki anak yang sedang merantau, saya merasa relate dengan film ini. Pesan rindu orang tua sering diiringi harapan-harapan yang tak sejalan dengan pilihan hidup kami. Saya memahami perasaan anak-anak itu. Mengerti mengapa mereka sampai enggan pulang...

Tapi ya nggak sampai 8 tahun lah ya!... Kalau kemarin kami sendiri sempat tak pulang sampai 4 tahun, itu karena pandemi. Kerinduan kami terlalu banyak untuk bisa menjadi bekal menahan emosi kemungkinan percekcokan dengan keluarga besar!... Hehehe...

Di lain pihak, saya memahami juga perasaan Pak dan Mak Domu. Kami berusaha mendiskusikan cita-cita anak-anak dan harapan-harapan kami sendiri. Semaksimal mungkin mencari jalan tengahnya apabila ada perbedaan. Mungkin tak bisa memuaskan semua, tapi paling tidak jangan ada yang nelangsa...

Seperti kata Oppung Domu, menjadi orang tua itu tidak ada tamatnya, harus belajar terus. Setiap generasi, beda cara mendidik anak. Dan setiap anak pun berbeda. Sebuah konsekuensi saat mengirim anak belajar jauh dari kita bahwa mereka akan memilih untuk menetap dan mengadopsi budaya setempat...

Saya sepakat untuk soal mengadaptasi dan mengadopsi adat. Asal masih tetap di jalan-Nya saja... 

Lembaga Sensor Film Indonesia mengategorikan film ini untuk penonton usia 13 tahun ke atas...


Comments

Popular posts from this blog

Berbagai Hidangan Kambing Khas Solo

Memimpikan Bandung Tanpa Macet

Televisi