Kebahagiaan: Tak Terukur Nalar

Hari ini tepat 22 tahun sejak pertama kali saya menginjakkan kaki di Prancis. Ya! 22 tahun. Sudah lama? Atau baru?... Itu relatif, tergantung siapa yang memandang...

22 tahun yang lalu, untuk pertama kalinya saya naik pesawat terbang. Untuk pertama kalinya saya keluar negeri. Bahkan pertama kalinya keluar pula Jawa, selain ke Bali dan Madura. Demi bisa berkumpul bersama suami yang sudah lebih dahulu merantau...

Cap imigrasi bandara Nice Cote d'Azur

Tak Masuk Nalar

Kalau dipikir-pikir, memang tak masuk di nalar, apa yang saya lakukan 12 November 2000 itu. Dalam keadaan hamil muda, memutuskan naik pesawat terbang untuk pertama kalinya --ya, saya belum pernah naik pesawat sebelumnya--. Tak tanggung-tanggung. Lebih dari 20 jam perjalanan!... 

Berani sekali tanpa bekal bahasa yang cukup, sendirian ke negeri antah berantah hanya dengan 100 francs di dompet. Yang itu artinya senilai sekitar sekitar 200 ribu rupiah saja. Uang kiriman suami hanya cukup untuk membeli tiket sekali jalan dan biaya visa long sejour. AlhamduliLlaah waktu itu saya bekerja, memiliki pendapatan sendiri untuk keperluan sehari-hari meski tinggal di rumah orang tua... 

Bahkan kondisi suami yang masih bisa mengirim uang ke saya pun sebenarnya sudah di luar nalar. Bagaimana caranya dia mengumpulkan uang membayai keberangkatan saya sementara gajinya sebagai pegawai baru waktu itu hanya setara UMR saja?...

Jadi, jangankan persiapan belanja baju musim dingin sebelum berangkat. Saya pergi mengenakan hoodie hadiah dari seorang sahabat kuliah. Untung saja mantel pinjaman dari ibu mertua sudah cukup menangkis cuaca akhir tahun yang tak terlalu dingin di Cote d'Azur. Sepatu pun hanya kets seadanya. Tak bisa membeli boots, dan tak terpikir juga...

Cap imigrasi bandara Soekarno-Hatta

Entah bagaimana saya melewati imigrasi di Indonesia, naik pesawat dan bahkan membantu para Pekerja Migran berkomunikasi dengan pramugari, turun sebentar di Singapura melupakan bekal Mc Donalds dari mertua yang tentu saja lenyap saat naik pesawat yang sama lagi, transit di Kolombo tanpa turun dan memperhatikan petugas bersih-bersih yang masuk dan melakukan tugasnya dengan cekatan...

Entah apa panduan saya untuk berpindah terminal saat transit di Dubai, ganti pesawat bersama penumpang yang sebagian besarnya orang Eropa, dan turun di Nice, kota yang bahkan agen perjalanan tempat saya membeli tiket pesawatnya saja belum mengetahui keberadaannya. Padahal agen terbesar di Bandung!...

Yang jelas, saya ingat perasaan lega luar biasa saat menemukan suami saya sudah menunggu di depan pintu kedatangan...

Di Luar Nalar

Entah kekuatan apa yang mendorong saya melakukan kenekatan itu. Karena masih muda, atau memang niat kuat saja? Atau mungkin karena saya sedang hebat-hebatnya jatuh cinta? Pada suami dan juga janin dalam kandungan saya?

Kalau harus melakukannya sekarang, dengan pemikiran saat ini, rasanya saya tak akan berangkat. Terlalu banyak yang dipertimbangkan, yang entah kenapa waktu itu saya abaikan. Bahkan saya tak yakin akan membiarkan Butet melakukannya, misalnya. Dan semoga saja tidak sampai perlu melakukannya...

Tapi apakah yang masuk atau tidak ke nalar? Nalar siapa?...

Definisi nalar menurut KBBI

Saat itu, fokus saya hanyalah bahwa pada saat janin berusia 40 hari, di mana ruh ditiupkan, saya ingin ada ayahnya mendampingi. Saya ingin suara ayahnya adalah salah satu yang pertama didengarnya dalam kandungan. Tak perlu menunggu lama, atau bahkan setelah melahirkan...

Nalar keluarga saya berbeda. Sedang hamil, pasti repot. Bagaimana harus hidup berdua saja sementara saya biasa dikelilingi layanan pembantu? Atau paling tidak warung makan murah meriah dengan menu enak-enak yang melimpah?...

Orang-orang bilang, bahwa "biasanya" perempuan mendekat ke orang tua di akhir masa hamil. Agar ada yang menemani dan membantu saat melahirkan dan mengasuh bayi kecil. Sangat tak masuk akal saya justru "memaksa" berkumpul bersama suami yang sudah lebih dahulu berangkat, memilih hidup berdua saja, jauh dari siapa-siapa...

Anak lahir, tumbuh sehat, kehidupan terus berjalan, masih ada yang menganggap bahwa kondisi kami yang masih bertahan di perantauan ini tidak masuk di nalar...

Tapi sekali lagi, apa sih, ukuran nalar?

Saya, dalam sketsa Butet

Orang Prancis yang melihat saya 
mengenakan jilbab, itu di luar nalar mereka. Bahwa saya masih salat 5 waktu --meski kadang telat--. Bahwa kami berpuasa di musim panas. Bahwa kami beragama dan masih menjalankannya... Bahwa kami memilih tinggal di Prancis, di rumah susun kecil, padahal di Indonesia dengan ijazah yang kami punya, kami bisa hidup dengan lebih mewah...

Masih banyak orang-orang lain yang kehidupannya bisa dianggap lebih di luar nalar lagi ketimbang kami. Di sekitar saya, banyak teman perantau dari Indonesia berpendidikan tinggi yang ternyata menjadi pekerja --yang di Indonesia dinilai-- kasar. Manajer perusahaan besar yang jadi penyobek karcis pertunjukan, karyawan multinasional yang menjadi kasir swalayan, sekretaris yang menjadi cleaning service di hotel, ... 

Tadinya, semua itu juga di luar nalar saya. Namun seiring waktu, saya bisa memahami mereka. Karena yang kami cari sama: bahagia. Yang itu, masing-masing memiliki standar yang berbeda. Yang kadang ada di luar nalar yang lain...

Inspirasi

Awal tinggal di Prancis, tentu sempat ada perasaan tak puas. Perasaan seakan ada yang terlupa. Yang seharusnya bisa saya raih tapi tak saya usahakan. Dan perasaan ini kadang datang kembali sekali waktu...

Pada saat itulah saya mengingat sebuah kutipan yang mengena di hati saya. Kutipan dari almarhumah ibunda Hasri Ainun Besari, istri dari almarhum B.J. Habibie, salah satu mantan Presiden sekaligus Bapak Iptek Indonesia. Saat itu saya hanya mengambil entah dari mana yang mengutip dari buku Ainun Habibie: Kenangan Tak Terlupakan Di Mata Orang-Orang Terdekat yang disusun oleh Andi Makmur Makka, dkk., diterbitkan tahun 2012 oleh Penerbit Edelweiss...

Foto sampul depan buku Ainun: Mata Cinta Habibie

Sayang sekali saya tidak menemukan buku itu di iPusnas. Namun saya menemukan buku Ainun: Mata Cinta Habibie yang diterbitkan oleh Penerbit Tiga Serangkai pada tahun 2018 dalam rangka 80 tahun Eyang Habibie. Entah apakah ini buku yang sama yang diterbitkan ulang oleh penerbit lain atau bukan, yang jelas disusun oleh editor yang sama; Fachmy Casofa...

Dalam prakatanya, Fachmy Casofa menjelaskan bahwa buku ini merupakan kumpulan komentar dan tulisan yang paling menarik dari kliping yang dikumpulkan oleh Andi Makmur Makka. Dan di halaman 39-40 saya menemukan kutipan andalan saya dari Andi Makmur Makka sendiri yang ternyata sempat dimuat di Republika, Kamis 27 Mei 2010...

Pernah suatu waktu Ainun memikirkan untuk bekerja. "Bukankah saya seorang dokter?" tanyanya pada diri sendiri. Namun, kemudian ia kembali berpikir. 
"Buat apa uang tambahan dan kepuasan batin yang barangkali cukup banyak itu jika akhirnya diberikan pada seorang perawat pengasuh anak bergaji tinggi? Itupun dengan risiko kami sendiri kehilangan kedekatan pada anak sendiri? Saya tidak dapat membentuk sendiri pribadinya. Anak saya akan tidak mempunyai ibu. Seimbangkah?"

Kalimatnya menyejukkan hati saya. Kalimatnya membesarkan hati saya. Kalimatnya semakin memantapkan hati saya akan pilihan saya. Yang mungkin tak sesuai dengan ukuran standar nalar beberapa orang...


---

Tulisan ini diikutsertakan dalam Tantangan Blogging Mamah Gajah Ngeblog bulan November 2022




Comments

  1. Masya Allah, luar biasa, teh! Aku jadi merinding bacanya soalnya keputusan teh Alfi untuk berangkat sendirian ke luar negri dalam keadaan hamil muda, banyak risikonya. Amazing!

    Kutipan andalannya, bener-bener nendang, teh. Memang, definisi bahagia orang berbeda-beda, bahkan definisi bahagia kita di tahapan usia yang berbeda, juga bisa beda. Tapi dengan tinggal di luar negri dengan berbagai rintangan dan keterbatasan, rasanya jadi lebih mudah menentukan apa sih yang benar-benar bikin bahagia. Jadi lebih fokus dan bebas distraksi dalam menentukan definisi bahagia yang paling pas di hati.

    Semoga senantiasa bahagia tinggal di sana ya, teh :)

    ReplyDelete
    Replies
    1. Aamiin... Teh Ilma sekeluarga juga, semoga bahagia selalu di perantauan dan di manapun berada... 🤗

      Delete
  2. Ya Allah.. teh kisahnya menggugah banget. Terima kasih telah berbagi. Btw kutipannya sangat mengena. Persis seperti keputusanku dulu waktu resign dan terbersit lagi ketika beberapa waktu lalu untuk melanjutkan karir desainer interior. Baca ini seakan diingetin lagi.. nuhun sudah berbagi..

    ReplyDelete
    Replies
    1. Kalau bisa menyeimbangkan karir dan keluarga, kenapa tidak? Tapi memang prioritas masing2, dengan penalaran masing2. Nulis ini juga kemarin buat meluruskan niat diri sendiri, teh... 🤗

      Delete
  3. Kalimat yang dikutip dibuat di akhir tulisannya sunggu sangat amaizing teh. Membuat say berfikir kembali, sudah seimbangkah apa yang selama ini saya lakukan dengan ynang anak-anak saya butuhkan? wallahualam. makasih teh tulisannhya sangat relate ke kehidupan emak-emak yang masih baru lah kalau dibanding dengan teteh.

    ReplyDelete
  4. Masya Allah teh, aku khawatir banget terbang 20 jam lg hamil muda. Pengalaman nekatku paling hamil tua terus pindahan rumah. Aku setuju dengan kata2 Ibu Ainun, gaji tinggi tapi bisa hilang kedekatan dengan anak

    ReplyDelete
  5. Peluuukkkk teh Alfi ... Jiwa petualang bisa jadi salah satu pintu menjadi berani pergi ke kota Nice Perancis seorang diri selagi hamil muda dengan bekal seadanya. Artikelnya keren teh ...

    ReplyDelete
  6. MasyaAllah... pengalaman yang sungguh menakjubkan, luar biasa dan ya... di luar nalar, tapi sesungguhnya semua sudah ada dalam ketetapan Allah ya, Teh Alfi diberi kemampuan untuk menjalani semua.
    & btw, sketsa Butet tentang mamanya, aiiih... tampak cantik sekali. <3

    ReplyDelete
  7. Paling suka dengan kutipan: Buat apa uang tambahan tapi ..., bukan kelebihan uang atau ga butuh uang ya, tapi prinsip mencukupkan yang ada asal kita bersama juga penting.

    Banyak keputusan kita gak sesuai nalar orang lain, tapi tentunya kita lakukan dengan berbagai pertimbangan nalar kita, dan sekian persen beriman Tuhan selalu menyertai. Sebenarnya kan dirimu nggak berperjalanan sendiri tuh 22 tahun lalu, tapi ditemenin sama si ucok di perut, dan tentunya iringan doa dari semua orang terkasih.

    ReplyDelete
  8. Yang juga membuat saya ternganga adalah kok ya pas tanggal momennya ya Mba, dengan tema Tantangan-nya ehehe. Tanggal 12 November 2000 melakukan 'hal di luar nalar' sebagai calon Ibu.

    Agak-agak takut bacanya, sambil membayangkan yang Mba Alfi lalui 22 tahun yang lalu tersebut, Namun alhamdulillah Mba Alfi bisa. Alhamdulillah. :)

    Terima kasih atas tulisannya ya Mba Alfi.. :)

    ReplyDelete

Post a Comment

Popular posts from this blog

Berbagai Hidangan Kambing Khas Solo

Memimpikan Bandung Tanpa Macet

Televisi