Seperempat Abad Kepergian Bapak

Hari ini, tepat seperempat abad sejak meninggalnya Ayahanda. Ya, sudah 25 tahun yang lalu ayah saya meninggal dunia. 29 November 1997. Tepat di Hari Korpri yang upacaranya tidak beliau hadiri karena merasa tidak sehat. Siapa sangka beliau pergi di hari yang seakan turut memperingati pengabdiannya ini...

Tentu saja kehidupan saya tidak mudah sesudahnya. Tapi juga tidak semerana itu, kok...

Dan hari ini, kita bahas yang ringan-ringan saja ya. Tentang mana fakta dan mana fiksi di cerpen Firasat, mungkin? Yang memang diinspirasi dari pengalaman saya sendiri saat mendengar kabar kepergian Bapak itu...

Fakta

Seperti Alifia, yang namanya sengaja dipilih mirip dengan panggilan Fi seperti saya, Bapak meninggal saat saya kuliah tahun ke-2. Hari itu saya ujian Algoritma Pemrograman III, dan saya belum sarapan...

Saya benar-benar mengucapkan kalimat seperti di cerpen di Perpustakaan Pusat yang waktu itu masih berwarna biru ubin kamar mandi. Saya ke sana bersama empat sahabat, yang saya singkat dua saja agar tak terlalu banyak karakter dan malah membingungkan pembaca...

Dari perpustakaan pusat, saya benar-benar kembali ke Labtek V, tapi bukan untuk sarapan. Saya langsung ke lantai IV untuk ke lab komputer. Sendirian saja. Browsing. Waktu itu, akses ke internet masih terbatas. Koneksi lambat dengan tampilan Unix sederhana, bisa cek mail dengan Pine pun sudah merupakan anugerah...

Di lab itulah seorang teman sekelas memberi tahu bahwa saya dicari-cari. Dari sana saya langsung ke TU, yang kemudian diantarkan ke ruang almarhumah Bu Sri Purwanti, Wakil Ketua Jurusan Bidang Kemahasiswaan saat itu, untuk menerima berita duka...

Entah dari mana, entah bagaimana mereka mengetahui keberadaan saya, dua orang sahabat datang setelah saya menerima kabar itu. Mereka menemani sampai memastikan keberangkatan saya pulang ke Solo bersama Bapak dan Ibu Sugeng, kenalan yang sudah seperti orang tua saya sendiri di Bandung...

Fiksi

Saat itu saya memang sedang menjadi ketua panitia Masa Pengenalan Anggota Baru --istilah lain dari Ospek-- HMIF. Namun tak ada skandal dengan ketua himpunan! Tidak juga bahwa tokoh Kang Surya di cerpen itu suami saya --yang bukan ketua himpunan!--. Kang Surya adalah bagian fiktif dari cerita, yang sepertinya malah jadi bagian yang paling membuat penasaran pembaca!...

Memang sengaja saya memilih setting masa kini. Sengaja agar bisa memasukkan unsur ponsel yang tertinggal. Di tahun 1997, ponsel adalah suatu kemewahan yang baru saya lihat sekali. Ponsel om saya yang datang dari Jakarta. Yang besarnya selengan itu! Lengan orang dewasa ... dan berotot!...

Di masa kini, saya tak tahu apakah masih relevan ke lab komputer untuk browsing. Saya yakin mahasiswa zaman sekarang sudah punya koneksi data masing-masing di ponselnya. Seperti Alifia...

Tanpa ponsel, tentu saja tak ada Whatsapp. Dan belum ada juga, waktu itu... Namun saya benar-benar berusaha mengontak orang tua saya semalam sebelumnya. Karena melihat berita angin kencang di televisi yang kemudian katanya tidak ada. Saya bahkan sampai mencari arsip beritanya di internet bertahun-tahun sesudahnya. Penasaran. Dan lebih penasaran lagi saat tak bisa menemukannya. Apakah karena memang belum trennya untuk mengarsipkan, atau itu bagian dari firasat?...

Saya mengontak melalui telepon rumah. Saat itu tidak diangkat karena rumah sedang kosong. Bapak dan Ibu rupanya sedang dalam perjalanan check up ke dokter jantung Bapak...

Kalau keluarga menelepon ke kampus untuk mengabarkan, itu bukan karena mereka tak berhasil menghubungi kosan saya. Dan tentu bukan karena ponsel tertinggal, yang memang belum ada. Pilihan menelepon ke kampus diambil karena tak ada seorang pun yang berhasil menemukan catatan nomor telepon rumah kos saya, dan Ibu sedang dalam kondisi tak bisa ditanyai...

Mengenang dengan Senang

Sempat ragu saat hendak menulis faksi itu. Apakah pantas memfiksikan suatu kesedihan? Apakah pantas, menambah bunga-bunga di kenangan memilukan?...

Tapi kemudian saya pikir tak apa. Saya ingin mengenang saat-saat itu dengan sudut pandang lain. Memahatnya dengan tulisan meski difiksikan. Karena saat menulis, saya jadi mengingat versi yang sebenarnya. Begitu juga saat kemudian membacanya ulang...

Lagipula, itu kan cerita saya sendiri, ya!? Selain bahwa saya tak punya ide cerita untuk ditulis juga, untuk Tantangan Blogging MGN waktu itu!...

Saat menulis ini pun, saya mengenang Bapak. Bapak yang akan selalu muda di mata saya. Bapak yang tahun ini hitungan usianya resmi saya lampaui...

Teriring doa, semoga Bapak tenang di alam sana. Aamiin...


Comments

Popular posts from this blog

Berbagai Hidangan Kambing Khas Solo

Memimpikan Bandung Tanpa Macet

Televisi