Firasat

"Yak! Waktunya habis! Semua dikumpulkan!" Pengumuman asisten dosen disambut dengan "yaaah" serempak.

Lekas aku selipkan end if di bagian akhir conditional. Untung saja masih sempat membaca ulang. Kalau tidak, bisa dapat pengurangan nilai besar!

Ujian pemrograman tertulis memang menegangkan. Kita tak bisa langsung melihat kesalahan-kesalahan kecil yang biasanya langsung ditunjukkan IDE di komputer. Bahkan tak perlu compile-pun kita sudah bisa mengoreksinya. Kalau tertulis? Tak ada pilihan. Harus dibaca teliti satu per satu, baris per baris.

Lembar jawab diangsurkan ke depan. Asisten dosen keluar ruangan, kami pun mulai berkemas bangkit.

"Kamu mau langsung pulang, Fi?" Indah tahu-tahu sudah di sebelahku. "Ke perpustakaan pusat yuk. Temani aku mengembalikan buku."

"Aku ikut!" Lina menyambut.

"Bukannya kamu harus pulang Lin?" tanyaku pada sahabatku yang lahir dan besar di Bandung itu. Tidak banyak teman seangkatanku yang bukan anak kos-kosan seperti dia. 

"Masih pusing rasanya. Pengin cari udara dulu sebelum berdesakan di angkot," jawabnya nyengir.

Aku juga pusing. Bukan cuma karena ujiannya. Tapi pasti juga karena kemarin aku begadang. Ada tugas pemrograman, kali ini dalam bentuk perangkat lunak, yang harus dikumpulkan secara daring paling lambat pagi tadi, pukul 05.59 WIB! Dan seperti biasa, seperti kebanyakan mahasiswa Teknik Informatika ITB yang lain, aku mengerjakannya sampai titik detik yang penghabisan! Apalagi jam pengumpulan tugasnya juga seakan mendorong begitu kan?

Kami keluar dari ruang 7601 dan berjalan menyusuri lorong ke arah Plaza Widya Nusantara dengan kolam Indonesia Tenggelam, yang entah apa nama sebenarnya. Lalu kami belok kiri, untu kemudian lurus saja sampai ke perpustakaan. 

Terlihat beberapa kelompok mahasiswa bergerombol di selasar Labtek VI, VII, dan VIII. Mengerjakan tugas, mungkin. Atau sekedar ingin menikmati cuaca cerah hangat, dengan angin semilir yang menyegarkan, setelah hujan semalaman.

Foto: Perpustakaan ITB

Pusingku makin terasa saat kami menaiki tangga ke kanan di atas Sunken Court menuju perpustakaan. Suara para mahasiswa yang sibuk di unitnya rasanya menusuk-nusuk gendang telingaku saja.

"Kamu sudah sarapan, belum?" Tiba-tiba aku seperti mendengar teguran ayah. Dekat sekali, rasanya. "Nanti pingsan, lho, kalau telat makan nasi!"

Ayah hafal kalau aku harus makan pada waktunya. Makan nasi! Tiga kali sehari! Aku pernah sampai benar-benar pingsan gara-gara hanya sarapan roti. Meski kalau sedang puasa, tanpa sahur pun santai saja.  

"Cengar-cengir sendiri! Mikirin apa kamu Fi?" Sikutan Indah menyadarkanku kalau kami sudah memasuki perpustakaan.

"Duduk dulu dong. Aku pusing nih. Pengin minum," kataku menarik dua sahabatku ke deretan kursi di depan. Aku lirik jam dinding. 9.15. Sudah lewat dua jam sejak perutku hanya terisi teh manis dan pisang. Sepertinya tubuhku menagih porsi nasinya. 

"Bagaimana rasanya mati ya? Mungkin damai, nggak ngerasa pusing begini," entah mengapa aku mengucapkannya.

"Hus. Kamu ini lho! Ngomong aneh-aneh saja!" sergah Indah melotot.

"Kamu belum sarapan ya Fi?" tanya Lina pelan penuh pengertian. Aku mengangguk lemas. Masih kaget kenapa aku mengucapkan kalimat tadi.

"Ya udah, aku kembaliin buku dulu. Habis itu kita temenin kamu makan ke kantin," usul Indah.

"Makan ini dulu Fi. Aku bawa biskuit tadi. Biasa, kalau lapar di angkot," Lina menyodorkan bekalnya. Memang rumahnya jauh. Dia suka ketiduran kalau tak sambil ngemil, katanya.

Lina menemaniku sambil berbincang. Tapi pikiranku melayang ke tempat lain. Ke kampung halamanku. Aku rindu suara ayam di pekarangan, lonceng gereja di ujung jalan, suara kereta Solo-Wonogiri yang lewat tak jauh dari rumah. Aku kangen ayah. 

Semalam, aku menelepon ke rumah tapi tak bisa berbincang dengannya. Saat membeli makan malam di warung, sepintas aku melihat berita di televisi kalau di Solo ada angin kencang. Aku ingin mengetahui kabar keluarga. Tapi tak ada yang mengangkat teleponku. Baik ayah ataupun ibu.

Aku tinggalkan pesan di whatsapp ibu. Menanyakan kabar sekaligus mohon doa untuk kesuksesan tugas dan ujianku. Agak malam, ibu membalas kalau tak mendengar panggilanku karena sedang dalam perjalanan. Tapi ayah dan ibu sudah lelah, mau bersiap tidur. Dan ibu bilang kalau daerah kampung halamanku aman-aman saja.

Aku tak begitu saja percaya. Orang tuaku suka menyembunyikan kabar buruk, menutupinya agar aku yang jauh tak khawatir. Tapi memang saat mengecek internet, aku tak menemukan berita apapun mengenai angin ribut. Entah aku yang salah tangkap, entah memang tak ada yang berbahaya di sana.

"Kamu pucat sekali Fi. Ayo cepat kita ke kantin." Lina memembangunkanku dari lamunan. Entah sudah berapa lama aku tak lagi menanggapi obrolannya. Aku lihat Indah berjalan ke arah kami.

"Maaf lama. Ngantri!"

Foto: Twitter ITB

Kami mengambil jalan kembali ke Labtek V. Sepakat untuk makan di kantin Borju saja. Aku pesan nasi goreng, dan dua sahabatku memesan camilan. Tak lupa teh botol dingin.

Kepala terasa jauh lebih ringan saat piringku tandas. Dunia rasanya lebih cerah. Sang Surya terasa hangat di punggungku, dan pandangan mata Kang Surya menghangatkan hatiku. Eh?

Kakak tingkat yang langsung menarik perhatianku sejak acara perkenalan dengan pengurus HMIF hampir dua tahun lalu itu benar-benar ada di depanku. Dia berjalan ke arah meja kami.

"Ke mana saja kamu Fi? Ponselmu tak aktif kah? Dari tadi dicari-cari sama Bu Sri tuh. Sana cepat ke ruang dosen!" katanya to the point tanpa basa-basi menyapa. 

Aku tak membawa ponsel. Semalam lowbat padahal aku perlu untuk thetering guna mengirim tugasku. Karenanya aku sambungkan ke charger. Dan tadi pagi aku buru-buru, tak sempat mengambilnya. 

Tapi kenapa Wakil Ketua Jurusan Bidang Kemahasiswaan itu memanggilku? Semester ini beliau tak mengajarku. Jadi tak mungkin urusan kuliah kan!?

"Kenapa?" Kalimatku gagap. Bukan karena cemas akan sebab panggilan Bu Sri. Tapi lebih karena kehadiran Sang, eh Kang Surya di muka bumi. Heu...

"Wah, nggak tau. Pokoknya kamu dicari. Semua dosen dan karyawan TU nanyain kamu dari tadi." Semua? Sepertinya berlebihan deh!

"Paling kamu dimarahi karena ikut demo kemarin!"

"Dana buat os nggak dikasih kali Fi!"

Dua sahabatku mengeluarkan asumsi tengil mereka. Sambil cengar-cengir menggodaku, karena tahu kalau aku selalu gugup di depan Kang Surya. Tapi memang sebagai ketua panitia kaderisasi anggota baru HMIF tahun ini, persoalan ospeklah yang langsung terlintas di kepalaku saat mendengar nama Bu Sri.

"Kang Surya ikut?" tanyaku pelan yang langsung disambut reaksi kedip-kedipan Indah dan Lina. 

Bukannya centil. Aku memang ketua panitia. Tapi kan Kang Surya ketua HMIF-nya. Kalau urusan ospek, mustinya dia ikut dipanggil kan!?

"Nggak. Kamu aja. Sudah sana, buruan ke atas!" sergah seniorku mengalihkan pandangannya. Tapi bukan karena jengah. Hmmm... ada yang disembunyikannya dariku.

Aku pamit ke kedua sahabatku yang berjanji menungguku. Solidaritas atau penasaran? Itu tak penting. Apapun itu, aku merasa akan membutuhkan mereka sesudah pertemuanku dengan Bu Sri.

Kebetulan lift kosong. Cepat aku naik. Sampai di lantai 4, Pak Dikdik terlihat seperti menunggu di depan ruang TU di ujung lorong. Begitu melihat lambaian tanganku dari jauh, dia langsung mengetuk pintu kantor Bu Sri yang langsung keluar! Wah, penyambutan yang spesial. 

Aku menyapa Bu Sri yang dijawabnya dengan senyuman. Tapi matanya tak tersenyum. Waduh! Dan Pak Dikdik? Di mana kepala TU tadi? Kok tahu-tahu menghilang?

Bu Sri mengajakku masuk kantornya. Bukannya di meja kerjanya, aku diajak duduk di sofa panjang. Beliau duduk di sampingku.

"Kamu nggak bawa hp?"

"Nggak Bu. Tadi di-charge. Saya lupa bawa. Buru-buru."

"Oh, pantas saja kamu susah dihubungi," 

Ada jeda yang tak nyaman saat Bu Sri melanjutkan, "Apa kabar keluargamu? Kapan kamu terakhir kontak dengan mereka?"

Hah? Pertanyaan yang aneh. Aku ceritakan soal teleponku yang gagal kemarin dengan bertanya-tanya dalam hati, mau dibawa ke mana percakapan ini?

"Ayah ada sakit kah?"

Eh?

Pandangan mataku terarah ke tangan Bu Sri. Ada kertas di dalam genggamannya yang tak kuperhatikan dari tadi. 

"Jadi begini, Fia. Tadi keluargamu menelepon ke kampus karena tak berhasil menghubungimu."

Aku membaca tulisan tangan di kertas itu... 

Alifia Kusuma Wardanti
IF 2020
...

"Ayahmu meninggal tadi pagi ..."

... 
Serangan jantung
9.15 WIB
...

Kertas di tangan Bu Sri memburam. Suara Bu Sri mengabur dari pendengaranku. Pintu kantor Bu Sri terbuka. Samar-samar aku lihat Kang Surya di ambangnya. Indah dan Lina masuk menghambur memelukku.

Pusingku datang lagi. Jauh ... jauh lebih berat ...


---

Cerpen ini ditulis untuk Tantangan Blogging Mamah Gajah Ngeblog bulan Maret 2022 dengan tema Cerita Fiksi dengan Unsur ITB. 

Update 1 April 2022: Cerpen ini meraih badge "Paling Enak DIbaca" dan "Paling Populer" 🥳






Comments

  1. suka banget Teh Alfi, smooth banget ceritanya, enakeun bacanya. Penasaran dengan cerita Kang Surya dan Fia, apakah ada cerita sambungannya ? haha ketagihan.

    ReplyDelete
    Replies
    1. Hahaha... itu bumbu saja. Buat mengalihkan dari cerita utama. Tapi kayaknya bakal diterusin sama kak Risna tuh... Hihihihi... 😄

      Delete
  2. sedih ...
    tapi seru plotnya teh Alfi.

    ReplyDelete
    Replies
    1. Nuhun dah baca teh... 🤗
      Belajar bikin cerpen, dipaksa MGN nih, ceritanya... 😄

      Delete
  3. Ya Allah... sedih di akhirnya, padahal jalan cerita sudah begitu asyiknya. Enak bacanya, dinamis dialognya, terutama ketika Fia energized melihat Sang (eh... Kang) Surya.

    ReplyDelete
    Replies
    1. Ga cuma teh Diah yang salfok deh! Hihihi... 😁

      Delete
  4. Ehehehe, Mba Alfi, saya baru dong bahwa karakter Fifi dan Kang Surya ini yang diteruskan oleh Risna.

    Sedih sekali membacanya, Mba Alfi :(.
    Saya pernah mengalami kisah yang mirip dengan Fifi. Keluarga sengaja tidak memberitakan kabar duka karena saya sedang di luar kota struggle dengan UMPTN.
    Tetapi, somehow saya punya itu, sebuah firasat. Mimpi beberapa hari berturut-turut dengan orang yang sangat saya cintai tersebut. Katanya siy, itu dalam rangka berpamitan. :(

    ReplyDelete
    Replies
    1. Yang namanya ikatan batin itu memang ada, sepertinya ya!?... 🤗

      Delete
  5. sediiih baca terakhirnya 😥 sukaaa teh cerpennya, terutama bagian menghangat oleh kang.. Eh sang surya 😂

    ReplyDelete
    Replies
    1. Bumbu pemanisnya sukses mengalihkan dari tema utama ya?... Hehehehe... 😄

      Delete
  6. Firasat itu memang ada ya buat orang-orang yang sangat dekat. Sekarang firasat atau getaran batin bisa kurang kerasa karena banyaknya distraksi ini itu. Nice fiksi Alfi. Buatlah sering-sering.

    ReplyDelete
    Replies
    1. Aduh, si teteh... Bikin berbunga-bunga... 😍
      Cari ide dulu yaaa... Hahaha... 🤗

      Delete
  7. uhhh sediihhh...
    tp saya jadi ingat dosen kalkulus saya, kalau ada telp di hpnya, selalu dilihat walau lagi ngajar katanya 'takut ada yang meninggal' heuheuheu

    ReplyDelete
    Replies
    1. Waduh! Semoga kabar baik saja yang datang ya... 🤗

      Delete
  8. Eh, emang dulu sempat ikut demo? Btw, makasih buat Fifi dan Kang S yang menjadi sumber ide menuliskan fiksiku di bulan ini. Padahal cerita Fifi bukan kisah cinta ya, dan endingnya beda dengan kisah yang kuceritakan.

    ReplyDelete
    Replies
    1. Ikut demo lah... Mahasiswa 98 gitu lho!... Tapi jangan dicatat satu fakta tambahan ya!... Hahahaha... Btw tengkyu udah memopulerkan Fia dan Surya! 😂

      Delete
  9. Owalah mbak... Saya pikir kisah nyata nya mbak alfi soalnya namanya hampir sama 😁

    ReplyDelete

Post a Comment

Popular posts from this blog

Berbagai Hidangan Kambing Khas Solo

Memimpikan Bandung Tanpa Macet

Televisi