Trilogi Hujan Bulan Juni

Saya mengenal Hujan Bulan Juni sebagai puisi. Saat mudik 2018 lalu, baru saya ketahui keberadaan novelnya. Itupun karena adaptasi filmnya di tahun 2017...

Sayang sekali saya tak menemukan novelnya di toko buku. Sudah sempat menanyakan ke personil toko, yang sepertinya malah tidak mengenalnya. Sampai-sampai membuat saya jadi tak yakin keberadaan novelnya...

Screenshot dari aplikasi iPusnas

Entah kenapa saya baru kembali mencarinya di iPusnas. Dan kebetulan sekali langsung mendapatkannya. Yang saya baru saya ketahui belakangan, ternyata Hujan Bulan Juni ini merupakan trilogi! Beruntung, saya bisa mendapatkan ketiganya dengan cukup lancar!...

Hujan Bulan Juni

Screenshot dari aplikasi iPusnas

Novel ini adalah buku pertama dari trilogi dengan judul yang sama. Bercerita tentang kisah cinta Pingkan dan Sarwono yang berbeda latar belakangnya...

Keluarga Pingkan dari pihak ayahnya yang Manado, tidak menyetujui hubungannya dengan Sarwono yang Jawa asli. Untungnya kedua sejoli ini didukung oleh ibu Pingkan yang Jawa. Orang tua Sarwono menyerahkan keputusan pada anak mereka. "Sing arep opo-opo rak kowe," begitu kata sang ayah (hal. 89)...

Cobaan akan hubungan mereka makin sulit saat Pingkan mendapat tawaran sekolah ke Jepang. Dan saat berjauhan, ternyata Sarwono harus dirumahsakitkan...

Novel setebal 133 halaman ini pertama kali terbit pada Juni 2015...

Pingkan Melipat Jarak

Screenshot dari aplikasi iPusnas

Buku ke dua dari trilogi ini menceritakan bagian episode selama Sarwono sedang sakit, dan Pingkan pulang namun tak diizinkan menjenguknya...

Di sini hadir tokoh Katsuo yang hanya disinggung sejenak di buku pertama. Katsuo yang merasa sebagai liyan di Jepang, ternyata adalah anak seorang yuta, "perempuan terpilih" yang menguasai dunia arwah dan dunia manusia (hal. 68)...

Saat membaca halaman pertama novel ini, saya langsung mendapati suasana yang berbeda. Gaya bahasa yang digunakan sangat puitis. Ada hawa-hawa supranatural yang menghiasi setiap kalimatnya...

Dan benar saja. Plot melompat-lompat. Tak hanya dari sudut pandang maupun waktu. Tapi juga dari dunia nyata dan dunia maya. Yang maya ini bukan diterjemahkan menjadi internet...

Novel setipis 119 halaman ini diterbitkan pertama kali pada Maret 2018. Sesudah rilis film Hujan Bulan Juni...

Yang Fana Adalah waktu

Screenshot dari aplikasi iPusnas

Kalau di buku ke dua tak terlalu terlihat, buku ke tiga ini membawa Sarwono kembali ditampilkan di dalam cerita secara aktif...

Takdir membawa Sarwono dan Pingkan kembali bertemu. Di Jepang. Tapi itu bukan akhir cerita. Karena di Jepang ada tokoh baru lagi, Noriko, calon istri Katsuo yang malah ingin ke Solo... 

Lagi-lagi, di sini sudut pandang melompat-lompat. Tak hanya antara orang ke tiga dan orang pertama. Tapi juga di orang pertamanya yang antara Sarwono, Pingkan, atau Katsuo. Namun tak banyak lagi hawa supranatural seperti di buku ke dua...

Buku yang saya pinjam di iPusnas selain berisi 144 halaman novel Yang Fana Adalah waktu, juga berisi 42 halaman "buku" Sajak-sajak Untuk Pingkan karya Raden Sarwono Hadi...

Solo, Manado, Kyoto

Buku pertama membuat saya jatuh hati. Mungkin gaya tulisnya yang "njawani" membuat saya merasa akrab. Istilah-istilah yang spesifik Jawa Solo membuat saya tersenyum. Dan langsung mencari buku Sapardi Djoko Damono yang lain. Dan di situlah saya mendapati kalau Hujan Bulan Juni ini merupakan trilogi!

Gaya di buku 2 dan 3 agak berbeda. Tapi tetap saya suka. Agak berat di buku ke 2, kembali meringan di buku ke 3. Meski tetap, tak sesantai di buku pertama. Bukan berarti buku pertama tak puitis ya!...

Sesuai dengan judulnya, novel Hujan Bulan Juni terinspirasi dari puisi dengan Judul yang sama. Hujan langsung muncul di awal cerita. Ada hujan dan Juni juga di buku 2 dan 3. Apakah Anda bisa menemukannya?...

Ada banyak unsur budaya Indonesia yang dimunculkan di sini. Unsur kejawen, tentu saja! Dari Solo, SDD memasukkan kisah cinta dari legenda Galuh Candra Kirana dan Inu Kertapati. Lalu ada legenda Pingkan dan Matindas serta legenda Lumimuut dari Minahasa yang belum pernah saya kenal sebelumnya... 

SDD juga menampilkan budaya dan legenda-legenda dari Jepang. Menarik mencermati ritual mengembalikan mabui ala Budha-Jepang yang disandingkan dengan memasang inthuk-inthuk sesuai adat kejawen-Solo...

Kebetulan hari ini, 20 Maret, bertepatan dengan hari lahir SDD di tahun 1940. Sepertinya saya akan mencari buku SDD yang lain...



Comments

Popular posts from this blog

Memimpikan Bandung Tanpa Macet

Televisi

Pindah or not Pindah