Tenggelamnya Kapal Van der Wijck - Hamka

Entah apa yang membuat saya jadi membaca buku-bukunya Hamka. Sepertinya saat mengecek daftar tunggu di iPusnas akhir pekan lalu dan buku yang saya inginkan tak tersedia juga, saya jadi memasukkan nama-nama penulis ternama di fitur pencariannya. Salah satunya adalah Hamka. Dan kebetulan, saat itu Di Bawah Lindungan Ka'bah tersedia. Satu eksemplar saja!

Lekas saya meminjamnya. Kebetulan tak ada buku yang sedang saya baca di iPusnas juga. Dan saya suka!

Setelah itu, saya meminjam dua buku Hamka lainnya. Tapi tak selesai baca, karena kemudian Tenggelamnya Kapal Van der Wijck yang ternama itu tersedia.

Screenshot : iPusnas

Kisah Cinta Zainuddin dan Hayati

Zainuddin lahir dan besar di Mengkasar, di tanah ibunya yang berdarah Bugis. Saat sudah dewasa dan kedua orang tuanya telah meninggal dunia, Zainuddin mengunjungi kampung halaman ayahnya yang berdarah Minang di Padang Panjang. Niatnya untuk berkumpul dengan keluarga besar ternyata tak tercapai. Zainuddin dianggap sebagai orang asing.

Kesedihannya agak terhibur oleh perkenalannya dengan Hayati. Namun itupun tak berlangsung lama. Hubungan mereka tak direstui keluarga besar Hayati. Zainuddin diusir dari kampung halaman ayahnya. 

Saat Hayati dinikahkan dengan seorang pemuda bangsawan Minang, Zainuddin patah hati. Dia pun memutuskan untuk merantau ke Jawa, di mana dia sukses menjadi penulis terenal. Tak disangka, di sanalah dia kembali bertemu dengan Hayati. 

Tenggelamnya kapal Van der Wick menjadi titik penting perubahan dalam kisah mereka.

Kritik Akan Kesaklekan Adat

Rasanya saya pernah membaca buku Merantau ke Deli karya sastrawan terkemuka Haji Abdul Malik Karim Amrullah. Namun saya belum pernah membaca buku-buku Hamka lainnya. Saya pernah mendengar saat SD ada yang membicarakan tentang Tenggelamnya Kapal Van der Wick. Entah itu teman atau tetangga, saya tak ingat. Yang ada dalam memori saya adalah settingnya: di belokan jalan dekat rumah!

Tentu saya sudah mendengar bahwa tulisan-tulisan Hamka banyak membicarakan kritiknya akan kesaklekan adat. Terutama adat Minangkabau. Dan terutama yang berkaitan dengan pernikahan.

Kritik tentang ini juga yang disampaikannya dalam buku Tenggelamnya Kapal Van der Wick. Zainuddin yang dianggap orang asing di kampung halaman ayahnya karena ibunya orang Bugis, Zainuddin yang ditolak lamarannya karena ibunya tidak berdarah Minang.

Tak hanya tentang adat. Hamka juga banyak mengambil cerita tentang pernikahan dengan tingkat sosial yang berbeda. Banyak? Yah, minimal dari 3 buku karya Hamka yang sempat saya baca dari iPusnas seminggu ini --meski hanya 2 yang saya selesaikan--, ketiganya bertema begitu.

Screenshot: iPusnas

Tak bisa menyatukan "loyang dengan emas, benang dengan sutra". Itu perbandingan yang beberapa kali saya dapati dalam bukunya. Hamid yang menganggap dirinya tak selevel untuk menikahi Zainab di dalam buku Di Bawah Lindungan Ka'bah, Sabariah yang didorong untuk menceraikan suaminya yang gagal sukses dan menikah lagi dengan laki-laki lebih kaya, senada dengan Zainuddin yang ditolak lamarannya selain karena tak berdarah Minang sepenuhnya, tapi juga karena tak cukup bertahta maupun berharta!

Perkembangan Nilai Seiring Waktu

Tidak mudah buat saya membaca buku Hamka. Bahasa yang digunakan, meski kata penerbitnya di bagian pengantar adalah versi yang direvitalisasi, masih terasa aneh untuk saya. Mungkin itu adalah usaha penerbit untuk mempertahankan gaya bahasa bukunya.

Agak sulit juga untuk saya memahami karakter tokoh-tokohnya. Untuk saya, Zainuddin itu menyeramkan. Surat-suratnya ke Hayati terkesan memaksa. Menggunakan kalimat-kalimat yang menakut-nakuti pula. Meski kemudian dia berhenti saat Hayati menyatakan sudah, cukup, bahwa dia menikah dengan Azis atas hasil pertimbangannya, Zainuddin berhenti menerornya, tetap kesan memaksa itu masih tersisa.

Ada beberapa nilai yang mungkin memang jamak di tahun 30an. Yang semoga sudah tak begitu lagi di zaman sekarang.

Tapi saya terkesan juga mendapati kalimat "siapa lu, siapa gua" (hal. 76). Dan senang sekali bahwa Hamka mengutip buku favorit saya sepanjang masa Graaf de Monte Cristo (hal. 131). Tak menyangka!

Mungkin saya akan mencoba menyelesaikan buku Sabariah yang saya tinggalkan, bukan hanya karena tersedianya buku Tenggelamnya Kapal Van der Wick ini, namun juga bahasanya yang sulit. Tapi itu bisa jadi dikarenakan terjemahannya yang ingin menjaga keaslian gaya bahasa Minang aslinya.

Screenshot : iPusnas


Comments

Popular posts from this blog

Memimpikan Bandung Tanpa Macet

Televisi

Pindah or not Pindah