Mempertanyakan Dunia Literasi Indonesia

Pagi tadi dilaksanakan zoom KBK ke dua di tahun 2022. Sesuai dengan yang diagendakan di awal tahun, Selasa ke empat setiap bulannya. Semoga ke depannya tetap bisa terlaksana sesuai jadwalnya...

Total ada 11 peserta. Tapi maksimal hanya 8 pada waktu yang sama. Ada yang datang di awal, ada yang datang di tengah, ada yang datang di akhir. Hmmm... Baru terpikir kalau hanya saya yang bertahan dari awal sampai akhir! Hahaha...

Tapi tak mengapa. Memang begitu format pertemuan Klub Buku KLIP: ngobrol santai! Waktu yang dialokasikan selama 3 jam memang menghimpun kemungkinan adanya peserta yang ingin gabung, tapi tak bisa fulltime...

Kami memerhitungkan juga waktu sholat yang berbeda dari WIT, hingga WIB. Karena waktu sesudah makan siang itu pendek. Sedangkan peserta KLIP tersebar di seluruh Indonesia. Bahkan dunia! Tidak mungkin menyesuaikan salah satu pewaktuan saja. Tidak adil, rasanya...

Hari ini, zoom berlangsung 3,5 jam! Padahal hanya ada 4 presenter! Tapi ngobrol kami panjang sekali!...

Obrolan panjang terbagi menjadi dua. Di awal dan di akhir. Keduanya dengan peserta yang berbeda. Uniknya, tema obrolannya sama: mau ke mana dunia literasi Indonesia?

Heu... Maafkan kalau saya tak bisa menamainya dengan benar. Karena saya sendiri hanya sebatas suka baca dan cinta Indonesia. Masih jauh, pengetahuan kesastraan saya...

Obrolan pertama dipicu oleh sebuah novel yang ditulis oleh seorang penulis sastra yang meraih banyak penghargaan di dalam maupun di luar negeri. Yang salah satu bukunya saya suka, tapi kurang untuk yang lain. Dan bahkan saya tak mampu membaca salah satu bukunya lagi, karena menurut saya terlalu vulgar...

Seorang peserta mempertanyakan di mana sebenarnya batasan vulgar? Apa vulgar yang boleh, dan apa yang tidak? Dan kami membahas pergeseran nilai yang terasa di dunia literatur Indonesia...

Obrolan bagian ke dua, dipicu oleh keresahan akan metropop. Genre populer yang tidak ada dagingnya, kalau menurut salah satu peserta obrolan. Yang penamaan genre ini, sampai saat saya menulis ini, tidak saya temukan di luar Indonesia. Cmiiw...

Di dalam metropop yang merupakan bacaan ringan pun kami menemukan pergeseran nilai. Kami melihat penggeneralisasian kehidupan metropolitan yang serba hura-hura, partying dan clubbing. Tapi apakah itu realitas? Sedangkan gaya hidup demikian itu bukannya murah dan bisa diraih oleh karyawan pemula...

Kami mencurigai banyak penulis yang tidak melakukan riset mendalam sebelum menulis. Hanya dari melihat. Atau membaca. Itupun apakah yang dilihat dan dibaca adalah realita dan bukannya fiksi karya orang lain lagi...

Penulis yang dikenal sebagai sastrawan religi (?) sekalipun kami lihat mengalami pergeseran. Ada kecentilan yang lebih dalam dibanding karya-karya awalnya...

Kami menyayangkan tema-tema yang mengimpor dari luar, yang kadang tidak sesuai dengan nilai-nilai Indonesia. Tak hanya dalam pemilihan buku terjemahan. Tapi juga di dalam buku lokal sendiri yang mulai "tercemar". Kami yang rata-rata sudah menjadi orang tua mengkhawatirkan masa depan anak-anak kami dengan jenis bacaan yang demikian...

Dari dua obrolan tadi, kami sepakat bahwa untuk menentukan pilihan bacaan keluarga tidak bisa sekedar mencontoh orang lain. Setiap keluarga, setiap orang punya nilai yang mungkin berbeda. Sesama orang Indonesia sekalipun. Kalau ingin rekomendasi, pilihlah dari sumber yang sekira menganut nilai yang sejalan dengan kita...

Komunikasi untuk bacaan anak sangat penting. Obrolkan apa yang mereka baca. Dari sebelum memilih buku, selain untuk memastikan sesuai dengan nilai yang kita anut, juga untuk menyesuaikan dengan minat anak sendiri. Jangan lupakan itu!... Hingga saat anak selesai membaca. Diskusikan apa yang dia tangkap dari bukunya. Arahkan jika perlu...

Dari sini kami menyayangkan akan minimnya panduan penerbit akan batasan usia pembaca. Tak semua orang tua sempat membaca terlebih dahulu buku yang akan diberikan ke anak-anak mereka. Termasuk di sini guru ke siswa. Terutama buku untuk usia pra remaja dan remaja yang batasannya sangat tipis...

Kami juga menyesalkan penerbit yang seakan hanya mengejar omzet saja. Banyak-banyak menerbitkan buku yang menyebabkan tema yang sama berulang lagi-dan lagi --dan sayangnya memang masih selalu banyak pembeli--. Atau sekedar menyerap buku laris dari luar negeri tanpa memfilter lagi dengan nilai Indonesia...

Sengaja saya tidak menyebutkan penerbit, judul buku, ataupun nama penulis untuk tidak menimbulkan polemik. Biarkan itu jadi diskusi internal kami saja. Tapi kepedulian kami rasanya layak untuk dicatat...

Dan tentu saja saya tak akan menerbitkan podcast dari obrolan kami tadi... 😜


Comments

Popular posts from this blog

Memimpikan Bandung Tanpa Macet

Televisi

Pindah or not Pindah