Perjalanan Dinas

Hari Sabtu, 11 Maret yang lalu, saya ke Marseille. Ke kantor konsulat untuk acara perkenalan dengan konsul baru. Dalam situasi normal, kami tak biasa hadir dalam acara semacam itu. Jauh. Yang diundang biasanya warga di sekitaran Marseille saja juga.

Tapi kali ini saya hadir. Saya diundang sebagai Pantarlih. Dengan surat tugas yang resmi segala!

Masa Pemogokan

Pemberitahuan mengenai acara sudah ada sejak dua minggu sebelumnya. Namun tanpa undangan, saya tak berani beli tiket juga. Apalagi di masa sedang banyak greve begini. Pemogokan kerja untuk aturan mengenai pensiun memang sangat berdampak pada transportasi umum.

Sejak awal saya sudah berpikir untuk naik bus saja. Bukan hanya karena harga tiket bus lebih murah dari harga tiket kereta. Namun lebih karena kereta terlalu tak bisa diandalkan. Tanpa greve nasional pun sudah banyak pemogokan. Apalagi saat ini kan!?

Selama greve, FlixBus dan Blablabus menyatakan menjamin transportasi di hari greve. Sempat deg-degn apakah benar demikian karena untuk jadwal acara, hanya Blablabus yang bsia membaca saya pada waktunya. Padahal sama-sama dikelola SNCF, perusahaan kereta. AlhamduliLlaah semua lancar.

Terminal bus antar kota lebih dekat dari rumah. Hanya 300 meter saja. Jalan kaki bisa santai. Tak perlu mengandalkan bus kota untuk ke stasiun kereta yang 2 km jaraknya. Yang mungkin bus kotanya pun mogok juga.

Pilihan saya tepat. Di dalam bus, saat perjalanan berangkat, radio menyiarkan berita bahwa hanya ada 1 TGV dari 2 yang jalan! Entah bagaimana untuk kereta regional.

Acara Santai

Bus berangkat on time, tapi sampai Marseille terlambat 20 menit. Niat santai-santai terpaksa dibatalkan. Untung saja! Ternyata ada travaux perbaikan tangga berjalan menuju stasiun metro. Tangga berjalan terpanjang yang saya kenal sampai saat ini!

Petunjuk ke arah metro tidak jelas. Katanya ada navette untuk ke sana. Memang kalau harus turun tangga lumayan juga. Tapi navette tak terlihat. Dan toh saya sudah turun sepertiga jalan. Lagipula turun ini. Enteng. Harus dipikirkan alokasi waktu pulangnya saja. Karena naik jelas jauh lebih berat!

Tangga utama Stasiun Marseille Saint Charles 

Metro lancar. Jalan ke kantor konsulat juga lancar. Saya sampai 10 menit sebelum acara dijadwalkan mulai. Namun ternyata acara satu jam lebih lambat dimulainya, entah mengapa. Sekalian biar dekat waktu makan siang, mungkin ya?

Acara berjalan santai. Kekeluargaan. Saya sempat diminta maju bersama rekan-rekan Pantarlih saat PPLN mengadakan sedikit sosialisasi. Sempat deg-degan karena ada pertanyaan bernada kritik agak keras dari warga ... yang kebetulan masuk dalam wilayah kerja saya! Namun semua bisa terjawab dengan baik dan belakangan kami berbincang santai bersama.

Jalan-jalan di Kota

Meski diikuti makan siang, ramah-tamah, dan rapat PPLN segala, masih banyak waktu tersisa sebelum jadwal bus untuk pulang tiba. Salah seorang rekan PPLN yang juga anggota PPI mengajak saya untuk ke kafe legendaris Marseille. Tak langsung. Kami mampir dulu ke tempat tinggalnya untuk mengambil sesuatu karena dia ada acara lain.

Saya pun diajak sight seeing kota Marseille dengan bus, bersama satu teman PPI lain. Memang saya belum pernah jalan-jalan di pusat kota. Selama ini tak jauh-jauh dari sekitaran Prado—daerah kantor konsulat dan wisma—dan Vieux Port saja. Paling ke mall Les Terasse du Port sambil ke Mucem (museum peradaban eropa dan mediterania). Masih sekitaran Vieux Port juga.

Seperti kata teman saya, Marseille-nya seperti Jakarta. Penuh ... dan kumuh! Nggak separah itu sih. Tapi untuk ukuran penduduk pesisir pantai Cannes, jelas jauh beda. Dan saya terus terang mengatakan padanya bahwa tak bisa membayangkan hidup di sana.

Dalam perjalanan dari halte ke rumahnya, kami menemukan sebuah lemari kecil di pinggir jalan. Masih bagus dan terlihat kokoh. Sepertinya kayu asli. Bukan medium, serpihan kayu yang dipadatkan itu.

Saya biarkan kedua mahasiswa mengangkat lemari. Saya bantu membawakan barang mereka saja. Kalau harus angkat-angkat, jelas saya tak mampu. Apalagi perjalanan masih jauh.

Dan karena pertimbangan itu juga saya memutuskan membatalkan ke kafe. Melihat waktu, rasanya terburu-buru. Apalagi memikirkan harus naik tangga ke stasiun karena eskalatornya rusak tadi. Meski akhirnya saya diantar memutar lewat belakang demi jalur yang lebih landai.

Perjalanan Dinas Kedua

Kalau berangkatnya telat 20 menit, pulangnya lebih cepat 15 menit. Pikir-pikir, mungkin saat berangkat tidak memperhitungkan waktu rehat. Sedangkan perjalanan pulang memperhitungkan waktu rehat tapi ternyata tidak digunakan. Tapi bisa jadi memang perhitungan kepadatan jalan yang memang meleset.

Saat menyadari sudah agak dekat terminal, saya berniat mengirim kabar. Namun keduluan suami yang mengirim pesan; mau makan apa?

Jelas saja permintaannya untuk saya mengirim kabar sekira 20 menit sebelum sampai tak bisa saya penuhi. Pesan saya terkirim hanya beberapa menit sebelum bus berhenti.

Ini adalah kedua kalinya saya meninggalkan rumah untuk "keperluan dinas". Yang pertama saat Lokakarya Pengajar BIPA yang menginap segala. Kali ini cuma seharian. Tapi sudah cukup membuat suami dan anak jajan untuk makan hari itu!


Comments

Popular posts from this blog

Memimpikan Bandung Tanpa Macet

Televisi

Pindah or not Pindah