Memimpikan Bandung Tanpa Macet

Tema Tantangan Blogging Mamah Gajah Ngeblog bulan Agustus 2023 ini adalah "Keinginan yang Masih Ingin Dicapai Mamah" yang diusulkan oleh Mamah Risna dan Mamah Ilma.

Seperti mamah-mamah lain dalam diskusinya di Telegrup, saya mencoba mengelis. Bahagia dunia-akhirat? Itu hakiki. Selalu sehat jasmani-rohani? Pasti. Berhaji ke baitullah? Tentu, buat setiap muslim. Mementaskan anak-anak? Jelas. 

Keinginan konkret yang terpikir mungkin adalah membawa anak-anak ke tanah leluhurnya di Pematang Siantar. Yang saya sendiri juga belum pernah ke sana tuh. Lalu mungkin hal-hal yang masih ingin dipelajari—yang berkaitan juga dengan impian profesi?—sudah sempat tertuang di Tantangan Blogging MGN Juli 2022. Menurunkan berat badan? Ah, sudahlah (sambil ngunyah).

Definisi keinginan menurut KBBI Daring

Menurut KBBI Daring, keinginan berkaitan dengan ingin; hasrat; kehendak; harapan. Menulis sambil menunggu Butet workshop gambar—cerita tentang workshop-nya lain kali lagi—saya terpikir atas suatu harapan besar.

Kemacetan Lalu-lintas

Workshop Butet diselenggarakan oleh sebuah toko alat gambar yang terletak di Jl. Soekarno-Hatta. Dari Antapani, jaraknya (saya ambil jalur yang biasa kami lalui) adalah 11 km untuk pergi dan 13 km untuk pulang. Memang beda jarak, karena beberapa jalur merupakan jalan satu arah. 

Sudah tiga kali Butet mengikuti workshop di sana. Semangat, dia. Kami berangkat jam 8 pagi. Sesuai perkiraan, perjalanan memakan 30an menit saja. Pulangnya, jam 12 siang, perjalanan memakan waktu ... satu jam lebih. SATU JAM! Memang makin siang makin banyak kendaraan. Namun apakah perbedaan 2 km dari kedua jalur bisa menjustifikasi durasi perjalanan pulang yang sampai lebih dari dua kali lipat dari perjalanan pergi???

Perbandingan durasi perjalanan pergi dan pulang menurut Google Maps

Kemacetan adalah hal yang lumrah di Bandung. Beberapa kali ibu mertua saya mengajak jalan-jalan spot to spot, yang ditolak suami saya dengan alasan malas dengan kemacetan. Ke satu tempat saja. Ke tempat lainnya lain kali lagi, usul suami saya. Nggak macet ah, kata Mamah. Standar kemacetan kami memang sudah berbeda!

Kalau Ucok dan Butet bertanya mengenai suatu perjalanan keluar rumah, pertanyaannya bukan "berapa jarak lokasinya", tetapi "berapa jarak tempuhnya". Bukan "jauh nggak?", tapi "lama nggak?".

Kemacetan tidak hanya membuang waktu. Merepotkan kita dalam memprediksi durasi perjalanan. Selain itu, merugikan secara fisik! Ucok dan Butet sering mabuk perjalanan. Dan tahun ini, untuk pertama kalinya saya merasakan pusing akut berkepanjangan akibat tekanan darah tinggi!

Apa yang Salah?

Kemacetan parah Bandung saya rasakan sejak dibangunnya beberapa jalan layang di tengah kota. Tahun berapa itu? Ah, sudahlah. Yang jelas, saat itu dijanjikan bahwa sesudah jalan layang terbangun, kemacetan bakal berkurang. Bahkan tak ada lagi. Nyatanya? Kemacetan rasanya justru makin merata!

Jelas tak bisa menyalahkan tol Cipularang yang memang mendatangkan lebih banyak orang Jakarta ke Bandung dengan lebih cepat. Kemacetan terjadi tidak hanya di akhir pekan dan hari libur saja. "Paling ya tengah malam sampai menjelang Subuh," jawab pak sopir Gocar saat saya tanya kapan Bandung tak macet.

Peningkatan kemacetan tak hanya saya rasakan di Bandung. Di Solo pun begitu juga. Semakin ke sini, semakin macet saja. Meski jelas belum separah Bandung. Kalau Jakarta sih, sudahlah, tak perlu dibahas saya tak bisa membandingkannya. Karena saya hampir tak pernah benar-benar beredar di Jakarta. 

Jumlah kendaraan bermotor hampir sama dengan jumlah penduduk!
(Sumber: Antara)

Jadi, apa yang salah? Apakah karena makin banyak penduduknya? (Saya belum mengecek statistik kependudukan.) Apa karena makin banyak kepemilikan kendaraan bermotor? (Saya ngeri, melihat iklan-iklan tentang mudahnya mengambil kredit konsumsi, untuk tidak membahas pinjol yang menyesatkan.) Atau karena kurang tertibnya pengguna jalan itu sendiri?

Yang jelas, saya sudah tak berani menyetir di Indonesia sejak merantau, menyadari bahwa saya sendiri pun ternyata tak benar-benar memahami peraturan lalu-lintas Indonesia sepenuhnya. Bagaimana saya berharap orang lain taat kalau saya sendiri selama itu tak tahu aturan?

Keinginan Muluk?

Tulisan ini baru saya selesaikan tiga minggu setelah dimulai. Setelah saya kembali ke perantauan. Setelah hampir seminggu kembali ke kota yang saat lalu-lintas berjalan secara kontinu tapi dengan kecepatan 5 km/jam sudah disebut sebagai kemacetan. Dan pusing saya berangsur menghilang. 

Tentu saja, kita tak bisa membandingkan Cannes dengan Bandung. Dengan populasi yang berlipat 3 di periode musim panas pun, jumlah penduduk Cannes masih hanya 1/10 penduduk kota Bandung. Padahal luas kota Bandung hanya dua kali lipat Cannes!

Kota termacet di Indonesia tahun 2019
(Sumber: Antara)


Keinginan saya memang besar. Ingin Bandung tidak macet. Ingin bisa jalan-jalan dengan nyaman. Tak ada rasa cemas akan terlambat sampai tujuan karena kemacetan. Tak ada mabuk perjalanan, apalagi tekanan darah yang tak terkendali.

Jelas, keinginan ini tidak akan bisa saya capai sendiri. Bisa apa saya, yang ke mana-mana hanya tergantung pada sopir ini? Jalan kaki pun sudah tak ada nyali. Tak hanya kendaraan yang sembarangan, polusi yang menyesakkan, tapi juga ketiadaan trotoar di berbagai bagian jalan!

Bisa (kembali) jalan kaki dengan nyaman di Bandung adalah keinginan saya yang lebih besar lagi. Seperti di tahun 90-an, mungkin? Saat saya memilih berjalan kaki ke kampus dari kosan di Cisitu. Bukan karena mau mengirit biaya, tapi lebih karena tak mau berdesakan di dalam angkot? Bukan cuma mau pamer jaket himpunan, tapi memang karena udaranya yang masih dingin segar.

Aminkan Saja!

Saat mencari foto untuk mengilustrasi tulisan ini, saya menemukan bahwa pemerintah sudah menyadari permasalahan kemacetan Bandung (dan Jakarta) ini. Sudah disadari pula efeknya terhadap kesehatan mental. Membacanya, saya jadi merasa tidak sendiri. Stres gara-gara kemacetan memang ada.

Pra uji coba sudah menggambarkan kondisi nyatanya!
(Sumber: Republika)


Berbagai usulan solusi sudah diajukan—pembangunan fly over sepertinya lupakan saja, deh! Salah satunya adalah pembentukan Tim Cakra oleh Satuan Lalu-lintas Polrestabes Bandung, tanggal 19 Agustus 2023 kemarin. Semoga saja lekas mendatangkan perkembangan positif, menuju Bandung tanpa macet.

Keinginan saya terlalu besar?

Bukankah kita harus bermimpi setinggi-tingginya?

Aminkan saja, lah!










Comments

  1. Teh Alfi nulis tentang Bandung agar ga macet. Aku kayanya terlalu kzl sama Jakarta macet sampai udah males ga pakai keinginan segala, haha mungkin karena udah ga tinggal disitu.

    ReplyDelete
    Replies
    1. Itu dia kenapa aku juga ga bahas kemacetan Jakarta teh! Hihihi. Kalau Bandung, aku msh ingin kembali ... dan pengin lebih menikmati. Semoga bisa lagi πŸ˜‡

      Delete
  2. Aamiin... yang kencang. Sebagai penduduk Bandung, saya memilih untuk berdiam di rumah saja -terutama di akhir pekan- karena tahu diri saja, bahwa saya tak akan tahan dengan macetnya kota. Mendambakan transportasi umum yang aman, nyaman dan terjaga kesediaannya, sehingga kita bisa ke mana-mana tanpa capek nyetir sendiri dengan waktu tempuh dan biaya yang rasional.

    ReplyDelete
    Replies
    1. Aamiin aamiin aamiin. Dan kita dengan mudahnya sukses ketemuan ya teh πŸ€—πŸ˜˜

      Delete
  3. Aamiiin!!! Salah satu yang jadi potensi reverse culture shock pas balik ke Bandung. Semoga segera ada transportasi umum yang nyaman dan menjangkau sampai pelosok γ… γ… 

    ReplyDelete
    Replies
    1. Naini, aku malah heran karena baru kali ini ke Bandung lagi hanya dalam jarak setahun. Biasanya minimal 2 tahun. Mustinya ga kaget2 amat kan ya? Apa justru krn keseringan? πŸ€”πŸ˜…

      Delete
  4. Jadi keinget diskusi rada panas bersama anakku kedua Mas yang kuliah di PWK/PL. Saat kerja praktek di MITJ dia tertarik banget dengan transportasi publik di Jakarta. Tapi entah kenapa? Kayak rumsing gitu kalau membahas transportasi Bandung he3 ...
    Kebetulan sih rumahku di Jatihandap, jadi ke kampus dan tengah kota gak terlalu macet. Sedangkan sepupu yang tinggal di area Buah Batu dan Soekarno Hatta sering banget bilang Bandung macet ... macet ... dan macet ...
    Sedangkan di Jakarta rumahku terbilang tengah kota juga ...Ya sudah tahan banting dengan macetnya jalanan ibukota, tapi memang TJ, KRL, MRT, LRT plus Jaklinko sudah cukup membantu gak harus pakai kendaraan pribadi.

    ReplyDelete
    Replies
    1. Kmrn anakku sempat coba transportasi umum Jakarta. Dia bilang bagus. Pengin nyoba yang di Bandung juga, sebenernya. Tapi liat jalanannya aja ... ya, begitulah ... udah rumsing sendiri! πŸ€ͺ

      Delete
  5. Mba Alfi, lagi serius baca, tiba-tiba ada kalimat 'pamer jaket himpunan', ngakak kali lah daku Mba.

    Ini aku bacanya sambil mbaten, "IYESSS IYESS IYESSS suarakan terus Teh Alfi."

    Populasi sudah berlipat jumlahnya Mba. Bandung juga banyak perguruan tinggi yang mana setiap tahunnya, banyakan yang masuknya daripada yang lulusnya.
    Konon kabarnya, sudah sejak lama para planolog ITB memberikan banyak masukan untuk mengatasi kemacetan di Bandung, jalanan kotanya ditata dengan tepat jitu, namun 'ditolak' oleh pihak yang berwenang mengurusi kota Bandung.

    Contoh kecilnya: itu perempatan Pasteur, yang arah datang dari Jakarta (keluar jalan tol) dan dari arah jalan Surya Sumantri, selalu panjang mengular, setidaknya setiap kali saya lewat situ ya begitu kondisinya. Kan bisa dibikin lurus saja, nanti yang arah lain dibelokkan untuk putar U gitu, atau simply bikin jembatan. Ehehe.

    Nuhun Teh sudah mengangkat ini. Aamiin aamiin, semoga Bandung makin nyaman, dan tanpa macet meski makin padat penduduknya. :)

    ReplyDelete
    Replies
    1. Aamiin. Semoga lekas ada realisasi solusi yang tepat, kerja sama antara pamerintah dan para ahli ya. Pengin tetap senang jalan2 di Bandung dengan lebih nyaman πŸ˜‡

      Delete
    2. Jadi pengen tahu jaket himpunannya...hehe...Soal macet di Bandung, kadang beruntung dapet jam engga macet sih. Kalau jam bubaran sekolah, atau akhir minggu jelas macet parah. Jadi kalau ada undangan nikahan, aku pilih pakai grab/go car aja...

      Delete
    3. Anak2ku kagum ga percaya lho bu Hani: pake jaket buat ke kampus? Apa ga mateng? πŸ˜… Beneran dingin woiii. Bukan hanya pamer ajaaa πŸ˜‚πŸ˜‚

      Delete
  6. Aku bahkan mengimpikan ada angkutan air melalui sungai Cikapundung untuk mengurangi kemacetan di kota Bandung. Gemes banget emang sama macetnya kota ini terutama pas weekend.

    ReplyDelete
    Replies
    1. Alternatif menarik itu teh! Memang sepertinya perlu jaringan angkutan umum yang bagus sih ya. Semoga bisa lekas terealisasi πŸ˜‡

      Delete
  7. Teh, aku juga gak bakal berani nyetir di Bandung lagi sejak akhirnya memutuskan nyetir di Chicago. Udah gak sanggup harus nyalip, cari celah, juga macet berjam-jam 🏳️🏳️🏳️

    Di sini macet tetep ada, namanya juga kota besar apalagi sering ada event gede. Tapi orang-orangnya masih mau ikut aturan dan teratur. Jarang banget ada motor juga. Di Bandung tuh pusing sama motor yang suka nyalip terus tau-tau jedug, ngebaret mobil. Dah lah, gak mau emosiku diuji kayak gitu lagi hahaha

    ReplyDelete
    Replies
    1. Aku jadi penumpang aja lebih sering milih merem teh. Ga tidur. Ga bisa juga krn jalan ga lancar kan!? Merem sambil ngobrol! πŸ˜…

      Delete
  8. Soal kemacetan di Indonesia kyknya tinggal tunggu wktu aja selama regulasi kepemilikan dan pembelian kendaraan sangat mudah. Di Balikpapan pun skrg mulai macet di jam pagi dan sore.
    Negara2 maju yg produksi kendaraannya malah disana bebas macet dan udara bersih ya..

    ReplyDelete
    Replies
    1. Permasalahan kota besar yang padat juga sih teh. Paris dan Marseille macet juga kok. Dan polusi. Meski Bandung emang jauh lbh parahhh 🫣

      Delete
  9. Aku juga kangen negara di Eropa itu selalu bagian bisa jalan kaki kemana-mana. Sama mungkin ada macet tapi nggak ngefek sama hidup orang yg pake transportasi umum. Haha.

    Btw anak-anakku juga tanah leluhurnya di pematang siantar. Tapi mereka juga belum pernah kesana. Haha.

    ReplyDelete
    Replies
    1. Wiii ... jangan2 masih sodaraan, kita? πŸ€—

      Delete
  10. Ya, Bandung memang makin macet. 20 tahun lebih saya meningalkan kota Bandung dan sekarang di Yogyakarta. Kalau ke Bandung, saya sudah bingung dengan lalu lintasnya. Sudah banyak yang berubah dengan adanya pembangunan di mana-mana. Semoga pemangunan yang terus berlanjut dilakukan sambil menata kota Bandung agar lebih rapi.

    ReplyDelete
    Replies
    1. Aamiin. Emang kerasa pas dr bandung ke jogja kemaren. Pdhl nginep di deket malioboro. Tapi tetep lbh nyaman di jogja. Macetnya saat2 tertentu aja. Semoga bisa dipertahankan, bahkan lebih dirapikan ya πŸ˜‡

      Delete
  11. ini kayak tulisan caleg aja nih, semoga aspirasi masyarakat terwujud ya jeng, hahaha...

    ReplyDelete
    Replies
    1. Masih ada waktu nyaleg kah? Eh? πŸ˜‚
      Aamiin. Buat aspirasinya. Bukan buat nyalegnya! 😜

      Delete
  12. Teh Alfi, Bandung rasa miliki kita semua yaaa, jadi perlu berbagai analisa dari tempat yang terdekat, sampai yang terjauh yaaa dari Bandung pun. Ikut meng-amin-kan.

    ReplyDelete
    Replies
    1. Yang berada di Bandung mungkin sudah terbiasa ya? Beradaptasi dengan kondisi, perlahan secara bertahap. Kyk keluargaku juga santei2 aja. Biasa aja naik mobil/motor buat jarak hanya 500 meter. Adududuuuuhhh 🫣

      Delete
  13. Bener banget teh Alfiii.. sering kali keinginan sampai ke ujung langit, yang di depan mata terlupakan.hahaha.

    Baru sadar jalan layang malah bikin macet. Soalnya kalau di jakarta, jalan layang berlapos-lapis itu membantu banget. Jadi ga kebanyakan gas rem karena lampu merah. Aku orang jakarta coret yang termasuk males ke bandung pas weekend kalau nggak ada perlu. Udah sampai di bandung pun mending diam aja dirumah. Maceeet ga kuaaatπŸ˜‚

    ReplyDelete
    Replies
    1. Euh, nggak tau juga apakah jalan layangnya yang bikin macet sih teh. Mungkin karena merasa ada jalan layang trus pada berlomba-lomba beli kendaraan bermotor sendiri, yang akibatnya membuat masalah kemacetan baru? Entahlah ... πŸ€”

      Delete

Post a Comment

Popular posts from this blog

Berbagai Hidangan Kambing Khas Solo

Televisi