Mempertanyakan Karyawisata

Beberapa hari yang lalu, saya dan seorang kawan membicarakan tentang reaksi para petinggi pemda atas kejadian kecelakaan bus yang menimpa peserta study tour sebuah SMK di Jawa Barat yang memakan korban jiwa. Berita kecelakaannya sendiri tadinya tak terlalu saya ikuti. Sedih dan miris. Tak tega rasanya menelusuri informasi yang sampai menampilkan tangkapan Tiktok salah satu pesertanya. 

Reaksi pertama saya baca di Instagram Surat Kabar Solopos: Disdikbud Jateng Larang Sekolah Gelar Study Tour! Lah??? Kenapa jatuhnya jadi study tour dilarang? Gimana pertimbangannya?

Dan ternyata keesokan harinya saya membaca di Instagram Kantor Berita Antara bahwa pemda DKI Jakarta pun senada: Pemprov DKI Melarang Perpisahan dan Study Tour di Luar Sekolah!

Yang pertama terlintas di kepala adalah "dagelan!". Ini menggelikan sekali! Ada berapa orang yang mengambil keputusan itu? Ada Surat Edaran resminya, lho! Tak adakah satupun dari mereka yang berpikiran sama dengan saya?

Alhamdulillah ternyata ada. Menteri Parekraf mengunggah dalam feed-nya bahwa yang bermasalah bukan study tour-nya, melainkan kelayakan kendaraan, fasilitas, dan sumber daya manusianya.

Saya belum menelusuri lagi kelanjutan beritanya. Apakah Pemprov Jawa Tengah dan DKI Jakarta meralat (menarik?) surat edarannya? Atau ada pemda lain yang mengeluarkan edaran serupa?

Saya tak mau membahas lebih lanjut juga. Baik dari segi pengambil keputusan pemerintah daerah, pertimbangan, argumen yang diajukannya, tanggapan netizen, maupun dari penggunaan kata "study tour" sementara ada istilah "karyawisata" yang jelas tercantum dalam KBBI.

Saya ingin mencatat saja bahwa di Prancis pun ada karyawisata. Eh? Ya iya lah ya. Bedanya, karyawisata tak dianggap sebagai hal yang memberatkan, karena tekanan sosial di Prancis tak begitu kentara. Lho?

Karyawisata Sekolah Prancis

Karyawisata sudah diadakan sejak TK. Kebanyakan kecil-kecilan saja: ke museum, menonton film, pertunjukan teater, sirkus, ... Paling lama seharian. Karyawisata dengan menginap baru dimulai usia SD. Yang mana anak Prancis masuk SD di usia 6 tahun.

Di usia SD, perjalanannya tidak jauh dan tidak lama. Biasanya masih dalam lingkup kabupaten saja. Pergi Senin, pulang Jumat. Seperti hari sekolah lah. Dan memang diadakan di periode sekolah. Namanya juga karyawisata, dan bukan liburan kan!?

Mungkin perlu dicatat bahwa kabupaten kami, DĂ©partement Alpes Maritimes, adalah daerah turis. Di musim dingin karya wisata bisa ditujukan ke gunung bersalju, saat suhu mulai panas ke pulau yang berjarak 30 menit naik kapan dari daratan.

Mulai usia SMP, perjalanan merambah luar kabupaten, luar provinsi. Ada juga yang sampai ke luar negeri. Dari daerah kami, lebih dekat ke Italia ketimbang ke ibukota negara di Paris sana!

Ucok sempat karyawisata ke gunung saat kelas 2 SD dulu. Butet baru mulai karyawisata dengan menginap saat 6e (setingkat kelas 6 SD). Dari kedua karyawisata itu, tak semua teman sekelasnya ikut!

Kenapa Tak Ikut Karyawisata?

Kalau ada siswa yang urung ikut karyawisata, pasti ada alasannya. Saya menghimpun 4 alasan berdasarkan pengalaman yang saya alami atau lihat sendiri:

1. Orang Tua Tak Mengizinkan 

Ini terutama untuk anak-anak yang masih kecil. Beberapa orang tua belum bisa melepaskan anaknya menginap tanpa keluarga. Karenanya, mereka tak memberi izin anaknya ikut karyawisata. Dan izin orang tua yang tertulis dan bertanda tangan (baik secara fisik maupun secara digital) ini wajib diserahkan. Untuk karyawisata kecil tak berbayar sekalipun! Karena itu artinya membawa anak keluar dari lingkungan sekolah.

2. Kesehatan

Orang tua sering kali lebih memilih menahan anak yang memiliki masalah kesehatan mengikuti karyawisata. Bisa jadi karena keterbatasan fisik, atau karena keterikatan akan pemberian obat yang tak mungkin dikelola sendiri oleh si anak.

Ada pula kasus khusus di luar kendali di mana anak sudah terdaftar karyawisata tapi akhirnya tak bisa mengikuti karena jatuh sakit pada jadwalnya.

3. Biaya

Untuk sekolah negeri, sebagian besar biaya karyawisata disubsidi oleh pemerintah. Orang tua tetap harus merogoh kantongnya untuk melengkapi kekurangan biaya. Dan uang saku, tentunya, yang sebenarnya tidak perlu-perlu amat karena semua biaya akomodasi sudah masuk dalam biaya karyawisata.

Untuk sekolah swasta, karyawisata merupakan swadaya sekolah. Biaya dibebankan hampir sepenuhnya pada orang tua. Sebagai bayangan, untuk perjalanan yang sama, orang tua siswa swasta harus mengeluarkan dua kali lipat dibanding orang tua siswa negeri.

Besar atau kecil, tetap saja itu biaya. Belum tentu semua orang tua sedang memiliki kelonggaran pada saat dijadwalkannya batas pembayaran karyawisata, kan!?

4. Administrasi

Nah, ini pembahasannya agak-agak menyangkut politik. Eh? Hehehe.

Seperti yang sudah kita maklumi, paspor Prancis memiliki kekuatan yang cukup hebat. Untuk perjalanan di Eropa, sudah tak perlu dipertanyakan lagi. Untuk keluar Eropa, hanya sedikit negara yang masih mewajibkan mereka yang berpaspor Prancis untuk mengambil visa. Itupun kebanyakan bisa visa on arrival.

Beberapa siswa tak bisa mengikuti karyawisata karena keterbatasan ini. Butet, misalnya, bulan lalu tak bisa mengikuti karyawisata ke Boston. Proses permohonan visa ke Amerika Serikat memakan waktu yang tak singkat sedangkan sekolah perlu jawaban cepat. Kalaupun bervisa, siswa seperti Butet akan terpisah pada saat pemeriksaan imigrasi. Dan ini tentunya akan membuat urusan guru pendamping jadi rumit.

Butet tidak sendiri. Ada temannya yang berkewarganegaraan Aljazair yang juga tak ikut. Satu lagi, orang Rusia, bahkan kalaupun mengajukan, sangat mungkin ditolak visanya dalam situasi dunia saat ini.

Tetap Bersekolah

Boston bukan karyawisata pertama yang tak bisa diikuti Butet. Tahun lalu, dia tak bisa mengikuti karyawisata ke Wina yang hanya berjarak satu minggu dengan karyawisata ke Dublin. Waktu itu, alasannya adalah biaya. 

Kalau tadi saya sempat menyinggung tekanan sosial yang ringan, ini berkaitan dengan organisasi para siswa yang tak mengikuti karyawisata. Seperti yang saya sebutkan tadi, karyawisata diadakan di hari sekolah. Mereka yang tak ikut ... ya masuk sekolah!

Demikian pula dengan Butet untuk kedua karyawisata itu, dia tetap masuk sekolah. Kebetulan karena karyawisata diadakan untuk kelas-kelas khusus saja, hanya kelas khusus itu yang ditiadakan. Kelas umumnya tetap normal dengan jumlah siswa yang tak terlalu terasa bedanya. 

Kecuali memang saat karyawisata ke Boston yang agak menumpang masa liburan. Ya kalau itu, siswa yang tak ikut tak perlu ke sekolah. Perjalanan kami ke Kopenhagen bisa sedikit menghiburnya.

Pembelajaran

Tentu saja Butet kecewa saat tak bisa ikut karyawisata. Sebuah pengalaman berharga bisa mengunjungi kota lain di negara lain. Kami sudah pernah ke Wina sih. Tapi jelas berbeda, jalan-jalan bersama teman-teman dibanding dengan jalan-jalan bersama keluarga, kan!?

Namun saya juga yakin, tidak bisa mengikuti karyawisata pun merupakan suatu pembelajaran tersendiri: bahwa tak semua keinginan bisa serta-merta dipenuhi, bahwa ada faktor dalam dan/atau faktor luar yang mungkin menghalangi rencana kita, dan bahwa dia tidak sendiri, masih ada yang lain yang berada dalam kondisi yang sama dengannya.


Comments

Popular posts from this blog

Memimpikan Bandung Tanpa Macet

Pindah or not Pindah

Berbagai Hidangan Kambing Khas Solo