Empat Hari di Kopenhagen 2024

Senin 6 Mei kemarin Butet kembali sekolah lagi setelah dua minggu libur musim semi. Begitu masuk, Senin dan Selasa dia langsung ujian akhir tahun untuk pelajaran-pelajaran non spesialiasi. Liburnya tak benar-benar libur, memang. Harus bersiap ujian untuk mata pelajaran Bahasa Prancis dan Bahasa Inggris untuk hari Senin, lalu Pendidikan Sains, Bahasa Jerman (bahasa asing pilihan), dan Sejarah-Geografi untuk hari Selasa.

Karena itulah Butet menolak jalan-jalan di minggu kedua liburan. Dan kebetulan kami menemukan tiket pesawat murah, pas di hari pertama libur sekolah. Tak heran perjalanan kami jadi terasa sudah jauh sekali. Sudah dua minggu berlalu sejak kunjungan kami ke Kopenhagen itu.

Bukan Menengok si Ucok

Beberapa teman yang saya kabari mengenai perjalanan kami ke Kopenhagen langsung berkomentar, "Nengok si Ucok?"

Tapi bukan! 

Pertama, Ucok di Swedia, bukan di Denmark.

Kedua, dari Stockholm ke Visby saja susah, apalagi dari Kopenhagen!

Kami sudah sempat menawari si Ucok untuk menyusul ke Kopenhagen. Kalaupun tak sepanjang kami di sana, minimal selama weekend untuk ganti suasana lah. Tapi dianya nggak mau. Dia yang muda dan sendirian saja merasa ribet. Apalagi kalau harus kami yang bergerak bertiga kan!?

Tanpa Agenda

Entah kenapa saya tidak seantusias biasanya dalam menyiapkan agenda perjalanan kali ini. Biasanya saya membuat itinerary cukup detil dari hari ke hari mau ke mana saja berikut jalurnya. Sepertinya saya ingin santai saja kemarin itu. 

Pada kenyataannya, perjalanan kami padat juga. Keluar hotel sesudah sarapan, meski sarapannya cukup siang—dan bukan sekalian makan siang, seperti yang biasa kami lakukan saat liburan (heu)—, dan pulang sudah malam, meski kadang menyempatkan balik ke hotel dulu untuk salat. Dan memang saat seminggu yang lalu bersemangat mencatat perjalanan, ternyata saya bisa mencapai lebih dari 1000 kata per harinya!

Di kedatangan hari pertama yang sudah lewat tengah hari kami sempat berjalan kaki ke Strøget, melihat-lihat Kongens Nytrov, mengunjungi Nyhavn, dan menyusuri kanal—akibat melewatkan penyeberangan dan harus memutar—melalui depan gedung Museum Perang, Perpustakaan Kerajaan, serta Pusat Arsitektur Denmark. Malamnya kami makan di restoran Kappo Ando yang untung masih ada satu slot padahal sudah dipesan sejak sebulan sebelumnya!

Hari kedua kami naik kapal umum menuju Taman Langenie untuk ke Festival Sakura, mengambil foto patung Putri Duyung, mengunjungi Museum Desain, mampir ke Gereja Marmer, dan sorenya berjalan-jalan di Taman Tivoli.

Hari ketiga kami menelusuri di daerah Norreport, bertemu pawai pengawal istana, mengambil foto Menara Bundar, melihat-lihat Taman sang Raja, mengunjungi Istana Rosenborg, lalu menyusuri Strøget akibat terdampak masalah metro yang kena problem teknis.

Hari keempat agak kecewa karena pameran permanen Pusat Arsitektur Denmark ternyata sedang tutup. Kunjungan jadi pendek, kami lanjutkan sedikit berjalan-jalan di area hotel lalu pergi lebih awal ke airport. Sayang pesawatnya nggak bisa ambil yang lebih cepat ya!? Hahaha.

Semua boleh dibilang kami agendakan dadakan di tempat. Kalau ada satu yang saya persiapkan adalah bahwa saya menyempatkan belajar bahasa Denmark di Duolingo. Baru sampai unit "Talk about Travelling". Jadi sudah bisa bilang "et billigt hotel" (hotel murah) atau "et lille vaerelse" (kamar yang kecil)! Hahaha.

Kurang Update

Tanpa rencana, tetap saja berharap. Sebelum berangkat, sudah ada bayangan ingin ke sana-sini, tapi tanpa banyak menggali. Jadi ya harus sadar penuh, harus bisa menerima saat kenyataan tak sesuai harapan. 

Beberapa tak terlaksana karena kelalaian diri, seperti saat batal ke Galeri Nasional yang tutup karena tak mengecek jadwal bukanya. Atau karena keterbatasan diri, seperti saat kelelahan jalan dan malas kembali ke toko roti ternama di Strøget yang mengakibatkan harapan makan Danish biscuit dan pastry tak tercapai. Atau batalnya makan di Festival Sakura karena harus mencari toilet yang berlanjut perubahan agenda kunjungan museum. Atau gagal makan Smorrebord karena saat berada di wilayah rumah makan belum merasa lapar dan saat sudah lapar sudah jauh dari tempat makan yang menarik.

Beberapa lagi disebabkan oleh faktor luar. Seperti saat batal makan siang di Pujasera Tivoli karena kemacetan metro. Atau saat ke Museum Desain dan Pusat Arsitektur yang ternyata sebagian koleksinya sedang tidak dibuka untuk umum.

Namun memang saya lihat di Denmark Kopenhagen ini tak cukup jelas update informasi nya. Tak hanya museum yang mungkin tingkat update-nya tidak terlalu tinggi. Soal kendaraan umum saja, jangankan real time, update berita pun tak ada!

Hanya empat hari kami di Kopenhagen, dua kali mengalami masalah metro! Kedua masalah itu baru kami ketahui saat sudah berada di jalurnya. Tak ada pengumuman di pintu masuk, misalnya. Jadwal metro masih ditayangkan normal di papan petunjuk. Tak ada pengumuman di website maupun aplikasi DOT juga!

Bayangkan orang-orang yang tergopoh-gopoh menuruni tangga stasiun metro (ada lift dan eskalator sih) dan kemudian mendapati metro tak berjalan! Seingat saya rata-rata jalur metro terletak 3 lantai di bawah tanah. Ada 3 eskalator/tangga yang perlu dituruni. Untuk kemudian naik lagi! Itupun kalau mereka tak membawa sepeda. Karena memang sepeda begitu menjamurnya di sana!

Tak Seindah yang Dibayangkan

Ternyata negara yang katanya penduduknya paling bahagia kedua sesudah Finlandia itu tak seindah yang saya bayangkan. Saya mengharapkan kota yang rapi tertata, tertib di mana-mana. Saat baru keluar pesawat saja, saya langsung dikejutkan dengan keberantakannya!

Rasanya sudah lama sekali saya tak keluar dari pesawat, memasuki gedung bandara, dan berpapasan langsung dengan penumpang pesawat yang akan naik! Bandara internasional negara besar, ini lho! 

Sepanjang perjalanan menuju tempat pengambilan bagasi, kami harus jalan zig-zag menembus penumpang yang antri masuk pesawat di gate-gate lain. Layaknya antri di terminal bus saja. Karena kalau di stasiun kereta kan per jalur terpisah ya!?

Memasuki stasiun metro bandara pun demikian. Berantakan dan terlihat tak terawat. Tak ada sampah sih. Tapi saya melihat debu, tanaman liar di rel kereta, cat yang mengelupas, ... Aduh, tak terbayang menemui seperti itu di bandara yang biasanya kinclong deh! Dan metro bandaranya sendiri juga terlihat tua.

Tapi begitu memasuki stasiun metro di kota, semua bersih dan rapi. Terlihat baru, memang. Belakangan kami lihat di pintu depan stasiun tertera tahun 2019 atau 2020. Entah apa maksudnya. Kami duga sih tahun renovasinya.

Stasiun metronya sendiri relatif sepi. Saya suka penempatan jalurnya yang dua metro searah. Praktis, tak takut salah arah. Di peak hour sekalipun, belum pernah sampai mengalami berdesakan. Masih bisa berdiri dengan nyaman di sepanjang perjalanan.

Namun memang jaringan metro di Kopenhagen kecil. Hanya 4 jalur. Salah satunya, nomor 3 yang jalurnya diberi tanda warna merah, berputar-putar saja di tengah kota. Untuk kami sih cukup ya. Bahkan mungkin sebenarnya tak perlu.

Copenhagen Card, Perlukah?

Hotel kami masih termasuk berada di kota. Dari pusat keramaian yang juga tempat bertemunya 4 jalur metro di Kongens Nytrov hanya berjarak sekitar 1 km saja. Kalau kami tak perlu ke restoran yang di satu ujung kota yang lain dari hotel, rasanya kami tak perlu membeli tiket transport.

Paksu refleks saja membeli City Pass karena kantornya berada di luar kota. Saat dinas, biasanya dia mendapatkan hotel di sisi luar kota yang lain, pula! Jadi untuknya, ke kota cukup jauh dan harus menggunakan metro.

Tapi kalau kemarin kami tak membeli tiket transport, jadinya tak bisa merasakan berbagai jalur metro dan kapal umum sih ya!? 

Kami sempat mempertimbangkan membeli Copenhagen Card. Namun karena berniat santai sesuai ritme mood, kami urung membelinya. Dengan harganya yang cukup mahal, kami tak mau terikat untuk memaksimalkan penggunaannya. Seperti yang terjadi dengan tiket metro: kami sampai mencari itinerary yang harus dicapai dengan metro! Hahaha.

Setelah menjalani sendiri, Copenhagen Card saya rasa hanya "untung" untuk wisatawan yang membawa anak kecil di bawah 11 tahun. Apalagi satu kartu dewasa bisa membawa 2 anak kecil. Ada tarif remaja untuk usia 11-15 tahun, sedangkan Butet sudah 16 tahun. Padahal di museum-museum dan istana yang kami kunjungi, ada tarif gratis untuk di bawah 18 tahun! Rugi kan, kalau hanya dipakai di sisi transportasi dan di Taman Tivoli saja!?

Kami yang hanya mengunjungi Museum Desain (100 DKK), Tivoli Garden (160 DKK), Istana Rosenberg (140 DKK), dan Pusat Arsitektur (50 DKK), ditambah City Pass 48 jam (100 DKK) masih bersaing dengan harga Copenhagen Card 48 jam yang 739 DKK kan!? Sisa budgetnya bisa untuk minum air sepuasnya saat makan di restoran. Karena berbeda dengan di Prancis yang bahkan bisa minta air minum (dari keran) di semua tempat makan dengan gratis asal membawa wadahnya, air minum yang berasal dari keran berbayar di retoran-restoran di Denmark

Next?

Kalau yang saya tulis di sini banyak sisi negatifnya, itu karena sisi senang-senangnya sudah ditulis dalam 4 tulisan harian, ya!

Jelas kami tidak merasa rugi mengunjungi Kopenhagen. Sungguh sebuah pengalaman tersendiri menyusuri kota yang suhu maksimalnya adalah suhu minimal tempat tinggal kami. Wajar Butet protes, suhu segitu tapi tak ada salju. Karena memang hanya di gunung salju kami merasakan jalan kaki di suhu 4°C di tengah hari di Prancis Selatan ini. 

Berikutnya ke mana?

Hohooo. Calm down!

Sempat tergoda untuk mencari sembarang tiket last minute untuk grand pont mulai Rabu sampai Minggu. Sama seperti di Indonesia yang cuti bersama hari Jumat kejepit karena Kamis 9 Mei Kenaikan Yesus Kristus, di Prancis ditambah dengan Rabu 8 Mei yang libur nasional Kemenangan Prancis di Perang Dunia II! 

Tapi kami menahan diri. Perlu nabung buat ke Indonesia, libur musim panas nanti. Mana harga tiket melonjak tinggi. Selain karena periode libur panjang, sepertinya ditambah efek diselenggarakannya Olimpiade di Paris. Semoga masih rezeki, bisa mendapatkan yang terjangkau ya. Aamiin.


Comments

Popular posts from this blog

Memimpikan Bandung Tanpa Macet

Pindah or not Pindah

Berbagai Hidangan Kambing Khas Solo