Tanpa Internet? Bisakah?
Mati listrik panjang 24 Mei 2025 yang lalu meninggalkan kesan yang dalam. Tentu saja itu bukan satu-satunya kejadian mati lampu di daerah kami. Namun itulah yang terpanjang.
Pemadaman listrik sering terjadi di musim panas, terutama disebabkan oleh kebakaran hutan. Ada pemadaman sebagai akibat langsung kebakaran karena api yang merambah kabel atau bahkan sentra listrik, ada pula pemadaman preventif untuk menghindari penjalaran api.
Pemadaman listrik yang sebelum itu kami alami hanya berdurasi menit. Seingat saya belum pernah sampai melampaui jam. Dan tentu, belum pernah sampai memutus saluran internet dan bahkan seluler segala seperti Sabtu itu.
Seperti yang sempat saya ceritakan, kekhawatiran terbesar saya terletak pada jalur komunikasi yang terputus. Padahal kami sebenarnya tak bisa dimasukkan dalam golongan yang intensif berkontak dengan keluarga di Indonesia ataupun Ucok di rantau. Namun jelas, kami (saya, paksu, dan Butet) tidak merasa terlalu terganggu atas ketiadaan internet.
Pas d'Internet? Ca Va!
Kami pertama kali menyadari ketiadaan jaringan internet saat Butet hendak mencari referensi untuk menggambar. Oh, tidak ada internet? Ya sudah, menggambar yang lain saja dulu. Spotify yang tadinya didengarkannya secara streaming, diganti dengan playlist berisi lagu-lagu favoritnya yang sudah diunduhnya sebelumnya.
Saya sendiri sedang mencari referensi untuk mengayakan informasi tentang buku bahasan Club Lecture yang dijadwalkan pertemuannya siang itu. Tak ada internet? Ya sudah. Toh tidak perlu-perlu amat pencarian informasinya. Saya manfaatkan waktu dengan membaca buku saja.
![]() |
SMS dari perusahaan listrik yang menjanjikan pengurangan tagihan listrik sebagai kompensasi |
Perlu waktu untuk Paksu menyadari ketiadaan internet. Seperti biasa, dia memanfaatkan Sabtu pagi dengan membaca buku. Saat tak bisa mencari buku lain di aplikasi Kindle di tabletnya, dia berpindah membaca buku fisik yang sudah dimilikinya.
Ya! Kami memang sedang beraktivitas dengan menggunakan internet. Namun tanpa itu, ternyata bisa-bisa saja.
Aktivitas tanpa Internet
Siang itu saya dan Butet keluar rumah. Jalan kaki ke arah perpustakaan kota. Kebetulan listrik menyala lagi saat kami tiba di sana. Pas saat jadwal mulainya pertemuan Club Lecture. Kami pun bisa masuk ke perpustakaan kota yang tentu saja pintunya dioperasikan dengan listrik.
Kalau listrik belum menyala juga? Tidak masalah! Personil perpustakaan sudah merencanakan untuk memindahkan pertemuan ke taman kota. Sejalan dengan rencana saya dan Butet untuk ke taman saja, jika pertemuan Club ditiadakan siang itu.
Pertemuan Club tentu saja diselenggarakan tanpa internet. Butet menggambar di luar juga tanpa internet. Justru sengaja mencari referensi di luar. Saya sendiri sudah terbiasa lebih memilih membawa buku bacaan untuk memanfaatkan waktu saat menemani Butet menggambar di luar daripada browsing media sosial.
![]() |
We time dengan Butet tanpa internet |
Kalau diingat-ingat, sebenarnya me-time untuk saya memang relatif jauh dari internet. Selain streaming film dan serial tentunya, ya. Saya masih lebih suka membaca buku fisik ketimbang buku digital, misalnya. Atau menonton film di bioskop. Jangan tanya soal televisi. Kami tak punya pesawat TV. Dan transmisi siaran TV di Prancis sudah mengunakan saluran internet!
Dari kejadian 24 Mei, terbukti ketiadaan internet selain sebagai media komunikasi tak mengganggu kami. Namun apakah tetap demikian jika berlanjut lebih lama?
Kalau saya pikir-pikir lagi, sepertinya itu masalah kebiasaan saja ....
Take It for Granted
Kita Saya sering kali memandang internet itu sebagai sesuatu yang wajar, yang sudah biasa. Take it for granted. Persoalan sesedikit apapun mencari ke internet. Ingin tahu soal cuaca saja, bukannya membuka jendela rumah dan melihat ke luar, tapi malah membuka "jendela" di komputer dan mencari informasi prakiraan cuaca!
Kita bisa saja mendengarkan musik dari radio. Memang ada iklannya sih ya!? Referensi gambar dengan melihat aslinya lebih disarankan ketimbang menggambar dengan referensi dari internet yang tentu saja dalam mode 2D. Hanya membaca buku fisik yang mungkin masih menjadi refleks untuk saya pribadi.
![]() |
We time dengan Paksu di bioskop tanpa sinyal internet maupun seluler |
Menonton film di bioskop mahal? Bioskop jauh? Justru bisa sekalian dimanfaatkan untuk mengurangi konsumsi layar kan!?
Perlu resep? Ada buku. Tak ada buku? Mengapa tak dimanfaatkan sekalian menanyakan kabar keluarga dan sahabat?
Saya sendiri merasakan saat di Indonesia lebih memilih memesan makanan via aplikasi ketimbang berjalan kaki 500 meter dengan alasan trotoarnya tidak walkable. Duh!
Prioritas
Saat jalan-jalan keluarga, internet diabaikan, ngobrol diutamakan. Saat kumpul dengan teman pun begitu. Ponsel ada, tapi hanya untuk berjaga kalau ada panggilan penting. Sampai-sampai suka lupa mendokumentasikan hidangan acara ke dalam foto.
Maklum, ibu-ibu. Jaga-jaga kalau ada panggilan dari anak atau sekolah anak. Atau dari orang tua. Kalau suami sih biasanya sudah mengerti pentingnya we time-nya ibu-ibu ini.
![]() |
Tidak mau diganggu kecuali oleh anggota keluarga tertentu |
Sering kali saya set ponsel dengan mode Ne pas déranger di saat-saat tak mau diganggu begitu. Dengan pengecualian: hanya terdengar notifikasi jika suami, anak-anak, serta adik-adik kami yang mengontak. Tidak yang lain. Tidak juga orang tua kami yang sudah sepuh yang suka salah pencet ponsel. Heu.
Saya biasa sengaja mematikan suara ponsel agar tak terganggu saat sedang membaca ... atau kepengin tidur! Kalau sedang di bioskop atau pertemuan Club Lecture sih sudah jelas ya. Juga saat kursus dan pertemuan resmi lainnya. Meski harus diakui, sambil mengintip sewaktu-waktu kalau ada pesan penting, tapi jelas, tak sambil browsing!
Tak Bisa karena Tak Terbiasa
Tak bisa dipungkiri bahwa internet sudah menjadi bagian dari kebutuhan sehari-hari di zaman dengan kemajuan teknologi yang pesat ini. Dalam beberapa bidang (pekerjaan, komunikasi, ...), internet adalah kebutuhan pokok yang tak bisa ditinggalkan. Namun saya yakin masih ada banyak hal yang sebenarnya bisa kita jalani tanpa internet.
![]() |
Satu-satunya tablet yang dimiliki anak-anak adalah milik Butet, jatah dari pemda saat masuk lycée |
Saya jadi ingat saat mendapat pertanyaan tentang bagaimana caranya anak-anak saya tak ketergantungan pada gawai. Mengapa mereka suka membaca dan menghabiskan waktu dengan menggambar. Bagaimana saya menunggu sampai usia SMA untuk memberi mereka smartphone, yang itupun tanpa koneksi internet seluler.
Menurut saya, jawabannya sama: pembiasaan!
Internet tetap kita manfaatkan untuk mencari jalur perjalanan, informasi tujuan wisata, tempat makan, ... Usahakan untuk menghimpunnya sebelumnya. Juga musik serta buku digital. Agar kita bisa menikmati me time sepenuhnya tanpa distraksi. Juga saat we time yang bisa dimanfaatkan semaksimal mungkin untuk mempererat kedekatan dengan orang-orang tersayang.
---
Tulisan ini diikutkan dalam Tantangan Blogging Mamah Gajah Ngeblog bulan Juni 2025 yang mengambil tema Me Time tanpa Internet yang diusung oleh Mamah Host Shanty
Eh, aku baru tahu loh kalau telpon bisa diset hanya bisa dihubungi oleh orang tertentu saja. Penting sih ini untuk mengurangi distraksi.
ReplyDeleteMenyaring notifikasi dan ringtone aja teh. Telpon yang lain tetep masuk, tapi jadi mute. Lumayan sih. Jadi mengurangi kebiasaan dikit2 nengok hp tiap kali ada notifikasi 😁
DeleteKeren banget, baru ngasih smartphone ke anak setelah SMA
ReplyDeleteMasih "kalah" sama temen Butet yang baru dikasih smartphone pas udah kelas 3 SMA. Dan emang "hasilnya" dia juara olimpiade matematika juga kimia 😁
DeleteMba Alfi.. ku juga gitu, Mba. Kalo lagi ngumpul sama temen-temen, malah suka lupa foto-foto. Kecuali ada temen lain yang ngajakin. Karena ku sudah fokus dengan isi obrolan ehehe.
ReplyDeleteRelate, Teh, heuheu, di Indonesia, lebih milih beli makanan via GoFood walau deket 😂
-Uril
Toss duluuuu. Meski benernya, yg gofood jarak dekat itu bukan sesuatu yg membanggakan, yak!? 🫣
Delete