Merendahkan Diri, Bukan Rendah Diri
Hari ini saya makan siang sendiri lagi. Suami saya ke luar kota lagi. Ke tempat kliennya. Sepertinya, ini awal dari perjalanan dia harus ke luar kota 3 hari setiap minggunya...
Siang ini saya memasak nasi goreng. Nasi goreng dengan kambing sisa tongseng. Dengan tongseng sisa paha kambing panggang kecap. Daur ulang tingkat dua!... 😋
Pagi tadi saya berhasil menyelesaikan satu podcast lagi. Sayangnya target menyelesaikan podcast terakhir diangnya gagal. Ada teman menelepon. Kami berbincang lama hingga Butet SMS mengabarkan sudah di bus. Dan itu artinya teman saya sudah agak terlambat menjemput anak-anaknya!...
Tapi senang juga. Sudah lama kami tak berbincang. Ngalor-ngidul dari urusan anak-anak (tentu saja!) sampai soal kredit rumah. Dan perbincangan mengingatkan pada seorang teman lain, yang belakangan menjauh. Yang kemudian saya pikir ada unsur iri darinya atas saya...
Iri? Apa sih, yang dilihatnya dari saya sehingga bisa diirikan?... Memang saya sendiri tak sadar sebelumnya. Saya pikir dia sama, atau bahkan lebih dari saya di berbagai hal. Kecuali tinggi badan. Dan beratnya juga... 😝 Tapi dari pembicaraan-pembicaraan, belakangan baru saya simpulkan adanya ketidakpuasan pada dirinya...
Tiga hal membuat saya sampai ke kesimpulan ini adalah komentar kesalnya akan informasi yang didapatnya dari saya tentang khitan di Prancis, sungutnya yang berlebihan saat mereka batal membeli mobil, dan lalu diamnya dia sesudah proses pembelian rumah kami...
Ceritanya si teman menanyakan ke saya pengalaman mengkhitankan Ucok di Prancis. Ya ceritalah saya apa adanya. Tahap-tahap dari periksa ke urolog, konsultasi dokter ahli bius di rumah sakit, lagi proses operasinya...
Saya sudah jelaskan bahwa jika khitan dilakukan tidak karena ada masalah, maka akan dikenakan biaya yang tidak akan diganti oleh jaminan sosial. Saya ceritakan bahwa akhirnya khitan Ucok tak berbiaya karena dianggap perlu. Dana yang sudah kami siapkan pun bisa digunakan untuk keperluan lain...
Sepertinya teman saya tadi tak pernah konsultasi ke spesialis di luar rumah sakit. Memang biaya dokter ahli cukup tinggi. Dan hanya diganti sebagian saja oleh jaminan sosial. Tidak seperti di rumah sakit yang sudah murah, diganti sepenuhnya oleh jaminan sosial, pula!... Saya pikir dia tahu itu. Tapi sepertinya tidak. Buktinya dia ngomel-ngomel seakan misinformasi, bahwa saya tidak memberitahunya akan ada biaya konsultasi urolog!
Saya diam saja, membayangkan jika biaya urolog saja dia marah-marah, apalagi biaya khitannya nanti? Dan benar saja. Akhirnya dia memilih mengkhitankan anaknya di Indonesia... Lebih murah. Kalau tidak menghitung tiket pesawat, tentunya!... Tapi waktu itu, saya biasa-biasa saja mendengar keputusannya...
Saat saya membeli mobil, teman saya langsung sesumbar kalau dia dan suaminya mau membeli mobil juga, mengganti mobilnya yang sudah agak tua. Banyak komentar tentang merk ini lebih bagus dari itu, berteori tentang bensin atau diesel, dan sebagainya dan seterusnya. Saya yang memang tidak mengerti, tidak banyak menanggapi...
Pada akhirnya, dia tidak jadi mengganti mobil. Katanya mobilnya masih bagus. Mobil jaman sekarang tidak sekuat yang dulu. Dan sebagainya dan seterusnya. Waktu itu, saya santai saja menanggapinya...
Sampai tiba saatnya kami membeli rumah. Kami membeli rumah yang kami kontrak selama 10 tahun karena pemiliknya ingin menjualnya. Daripada harus pindah juga, dan ternyata kami bisa, akhirnya kami membelinya...
Saat mendengar kabar saya membeli rumah, teman lama tadi menyatakan ingin membeli juga. Saya jelas heran! Pasalnya, dia tinggal di rumah dinas. Tak perlu bayar uang sewa seperti kami. Dan dia sudah pasti akan mewarisi rumah keluarga suaminya yang semata wayang. Untuk apa beli rumah?...
Teman saya sempat cerita soal janji temu ke bank menanyakan tentang kredit. Tapi sesudah itu, tak ada kabarnya lagi. Dan dia menjauh sedikit demi sedikit...
Pembicaraan tentang rumah dengan teman siang tadi itulah yang membuat saya ingat dengan teman lama saya ini. Teman siang tadi, cerita bagaimana dia mencari rumah untuk dibeli, dan ternyata harganya terlalu mahal untuknya. Memang dia mencari di pusat kota... Saya ingatkan padanya untuk mencari tahu dulu, berapa besar kredit yang bisa dia dapatkan. Karena di Prancis, mengambil kredit tidak semudah di Indonesia. Tak cukup dengan jaminan BPKB saja...
Kredit di Prancis diberikan pada mereka yang dinilai mampu membayarnya. Selain dari pendapatan, dilihat juga berapa orang yang dijamin dengan pendapatan itu; berapa besar pengeluaran kita, apakah ada kredit lain...
Mengetahui berapa besaran kredit yang bisa kita ambil membuat kita tahu seharga berapa rumah yang bisa kita beli. Jangan sampai kita mencari rumah, sudah jatuh cinta, eh ternyata tak bisa membelinya, kan!?... Dan itupun baru harga nominal rumahnya. Belum biaya notaris, lalu iuran bulanan sebagai pemilik apartemen juga pajak kepemilikan rumah yang tergantung luas dan lokasi rumahnya...
Saya memang mengingatkan teman siang tadi yang lebih muda dari saya. Tapi saya juga tak mengecilkan hatinya. Karena toh siapa tahu mereka ternyata bergaji lebih besar ketimbang suami saya, kan!?...
Pengalaman dengan teman yang lama tadi membuat saya lebih sering menempatkan diri di bawah yang lain dalam hal materi. Tidak memandang kalau orang lain bisa, saya pasti bisa juga dalam hal harta. Karena kita tak tahu, di balik penampilannya yang sederhana, mungkin sebenarnya dia lebih berada ketimbang kita...
Kebetulan sekali pagi tadi budhe saya mengirim sebuah gambar yang sangat menyentil diri saya sendiri. Tak tahunya hari ini ternyata berjalan seperti tadi...
Comments
Post a Comment