Selamat Jalan Eyang Putri
Sabtu lalu, tepat 21 tahun setelah pertama kalinya saya menginjakkan kaki di Prancis. Sudah beberapa kali saya berniat menulis tentang itu. Tapi kemudian batal. Suasana hati tidak mendukung. Menulis di blog tentang hal-hal lain pun terasa berat. Ada yang mengganjal...
Eyang putri kami, ibu dari ibu mertua saya, uyutnya Ucok dan Butet, meninggal dunia hari Jum'atnya... 😢
Menikah dan praktis langsung merantau, saya tidak banyak berinteraksi secara langsung dengannya. Tapi bukan berarti saya tak merasa kehilangan. Bukan berarti tak banyak kenangan saya tentang beliau...
Sebagai cucu mantu perempuan pertama, saya rasakan bagaimana perhatian beliau sejak saya baru menikah dan langsung berpisah jauh dengan suami saya, cucunya. Setiap kali kami berlibur ke Indonesia, beliau selalu menengok kami pagi-paginya mendahului kami mengunjunginya. Kecuali terakhir kami mudik 3 tahun yang lalu, yang untuk pertama kalinya saya dan anak-anak ke Solo dulu sebelum ke Bandung. Yang sampai di Bandung sudah segar dan tak jetlag lagi...
Saya tahu, eyang memang suka jalan-jalan. Apalagi yang namanya silaturahmi, mengunjungi keluarga. Kalau tak dilarang, sudah akan terbang ke Prancis menengok kami!...
Tapi saat beliau datang ke rumah mertua, anaknya, tempat kami tinggal jika di bandung, dan bilang kasihan ke saya, pasti capek perjalanan, saya melihat perhatiannya yang mendalam. Saat beliau melarang saya membangunkan anak-anak yang jetlag dan baru bisa tidur sesudah Subuh, saya rasakan ketulusan yang nyata...
Mudik terlebih dulu bersama anak-anak ketimbang suami, tidak membuat eyang mengabaikan kami. Justru sebaliknya! Eyang malah benar-benar mengurusi saya dan anak-anak. Seakan menunjukkan tanggung jawabnya terhadap kami selama cucunya, penanggung jawab kami yang sebenarnya, sedang tidak ada di tempat...
Saat mudik tiga tahun yang lalu kami sempat menginap di rumahnya. Memang ada giliran piket sejak eyang putra meninggal dunia beberapa tahun sebelumnya. Kesehatan eyang putri juga menurun. Bukannya kami melayani, eyang tetap saja sibuk memastikan kami makan malam, tempat tidur kami nyaman, dan cukup selimut. Dan untuk pulangnya, eyang memaksa kami diantar dengan mobilnya!...
Eyang dalam ingatan saya masih aktif, meski tak segesit sebelumnya. Kesehatannya menurun setahun sesudahnya. Sayang sekali jadwal kami mudik tertunda saja karena pandemi. Dan kami tak bisa bertemu dengannya lagi...
Itu adalah kehilangan besar saya yang ke sekian setelah saya merantau. Kehilangan besar pertama saya adalah saat meninggalnya yangati, eyang putri saya sendiri, ibu dari almarhum bapak saya...
Saat-saat itu saya sangat terpukul apalagi saat ibu meminta saya menelepon om, adik dari bapak. Ada kebingungan dari diri saya. Untuk apa? Mengucap bela sungkawa? Lha saya sendiri kan juga berduka. Itu eyang saya! Dan saya tidak ada di sana!...
Tapi saya yakin bukan itu. Belakangan saya mendengar berulang kali cerita ibu tentang saat-saat terakhir yangati, di mana ibu mendampinginya. Mungkin ibu sedemikian sedihnya, ingin saya juga di sana, hingga tak tahu mau berkata apa lagi...
Saat eyang kakung meninggal, tak ada permintaan seperti itu. Ibu tahu bahwa saya juga kehilangan. Apalagi sedang berada di kejauhan. Kesedihan bertambah dengan ketidakmungkinan mengantarkan orang-orang tersayang ke peristirahatan terakhir mereka...
Selain dua eyang, ada om, pakdhe, sepupu, paman, uwa, budhe, dan sepupu lagi yang pergi selama saya di perantauan. Setiap kali, ada rasa tak percaya, saat mudik nanti tak bisa bertemu dengan mereka lagi. Makin lama makin sadar, bahwa memang waktu tak bisa kembali...
Terharu, saat berita tentang meninggalnya eyang saya dapati di sebuah wag non keluarga yang saya ikuti. Bahkan saat beliau sudah pergi pun, eyang putri tetap membuat saya bangga menjadi cucu mantunya...
Allahummaghfirlaha warhamha wa'afiha wa'fuanha... 🙏
Comments
Post a Comment