Swedia 2021 H7 : Uppsala

Kami memutuskan untuk tetap ke Uppsala. Tak ada ide kunjungan juga di Stockholm. Dan memang kami ingin melihat kota utama perguruan tinggi-nya Ucok itu...

Kami kontak sepupu. Menangabarkan rencana itu. Menanyakan cara menuju ke tempat tinggalnya. Tak akan lama-lama. Sekedar ingin tahu saja daerah mereka tinggal dan laporan ke keluarga besar kalau kami sudah menyempatkan berkunjung. Sekedar menyampaikan boneka landak, simbol pulau Gotland yang sudah kami beli sebelumnya untuk keponakan kecil kami, agar tak diakuisisi Butet...

Kami naik kereta dari stasiun central. Membeli tiket langsung di mesin sebelum berangkat. Dari papan pengumuman jadwal, kami lihat ada kereta yang melewati Uppsala per setengah jam. Lumayan banyak juga...

Tempat duduk kami bernomor. Jadi tak bingung-bingung mencari. Saat berangkat, kereta tak penuh. Banyak penumpang yang naik di pertengahan perjalanan, di stasiun Arlanda yang merupakan kota airport utama Swedia. Dan memang terlihat kebanyakan dari mereka membawa koper-koper besar berlabel maskapai penerbangan...

Kereta sampai di Uppsala 40 menit kemudian. Memang hanya berhenti di stasiun Arlanda Central saja...

Sampai di Uppsala, kami tak menyangka. Kota sepi sekali. Tak terlihat banyak orang. Dan dingin sekali. Lebih dingin ketimbang Stockholm yang sudah lebih dingin dibanding Visby...

Kami mencari arah ke kathedral. Karena di depannya terletak gedung utama Universitas Uppsala...

Angin bertiup kencang dan dingin. Masih tak terlihat orang-orang di jalanan. Toko dan restoran juga tutup. Karena hari Minggu kah? Atau karena memang benar-benar kota pelajar, hingga saat libur begitu jadi kosong penduduknya?...

Kathedral sedang dalam renovasi. Tak mudah membuat foto cantik di sana. Apalagi rintik-rintik mulai turun juga...

Kami lanjutkan ke gedung utama Universitas Uppsala. Sepi. Ada beberapa anak muda bergerombol di halamannya. Hendak menerbangkan drone, rupanya. Entah untuk senang-senang saja, atau memang ada misi tertentu. Belakangan kami berpapasan dengan anak-anak muda yang seperti membuat reportase... 

Kami lanjutkan perjalanan ke kastil Uppsala. Sebenarnya tidak masuk rencana. Tapi hari masih pagi. Belum tengah hari. Kami berniat ke rumah sepupu sesudah makan siang, tepat sebelum kembali ke Stockholm sekalian saja...

Kastil Uppsala tidak menarik. Eh tapi memang kami tak benar-benar berkeliling. Lelah dengan jalan menanjak. Sudah lelah juga setelah seminggu liburan, sepertinya. Jenuh dan malas bereksplorasi. Apalagi dengan waktu terbatas...

Memang kami tak bisa berlama-lama. Suami saya ada janji temu dengan rekan-rekan kerjanya di Stockholm. Janji yang sudah sempat ditunda karena salah satunya sempat sakit. Karenanya kami harus memperhitungkan waktu selama di Uppsala...

Tapi kenyataannya justru suami saya sendiri yang santai. Dia mengajak ke botanical garden yang memang tak jauh dari kastil tapi tak berada di jalur kembali ke stasiun, tempat kami harus mengambil bus untuk ke rumah sepupu...

Tak lama kami di taman yang indah itu. Tak sempat mengeksplorasi setiap sudutnya juga. Tiba-tiba suami tersadar kalau kami masih harus makan siang...

Kami pun jalan balik ke kota mencari tempat makan. Pilihan jatuh di Max. Max lagi? Yah, sekalian mengetes bagaimana Max di Uppsala. Dan ternyata tidak asin seperti di Stockholm. Meski Butet masih memilih Max Visby sebagai favoritnya...

Saat makan, kami melihat seseorang masuk membawa tas Flying Tiger. Ah, kami tak terpikir mencarinya di google map sebelumnya. Ternyata Flying Tiger tak jauh dari Max dan berada di jalur ke stasiun. Tentu saja kami tak melewatkannya!...

Tak terlalu berharap, ternyata toko buka di hari Minggu begitu. Kami melihat-lihat saja. Butet tak membeli apa-apa padahal sudah kami ijinkan. Yang kemudian disesalinya belakangan, karena kami tak sempat membeli suvenir di Uppsala...

Dari Flying Tiger, kami ke langsung ke stasiun. Mencari halte bus ke rumah sepupu ternyata tidak mudah. Lokasi haltenya membingungkan. Memang ada peta, tetapi tidak jelas...

Setelah berputar-putar keluar-masuk stasiun, kami dapati halte terletak di pinggir jalan, di luar stasiun. Tapi memang stasiunnya sendiri terbuka. Kita bisa mengakses kereta langsung dari jalan. Tak perlu masuk lokal stasiun...

Untuk naik bus di Uppsala, kami harus membeli tiket terlebih dahulu melalui aplikasi. Tidak ada cara lain? Entahlah. Itu informasi yang suami saya dapatkan dari sepupunya... 

Asal tahu saja, dia bahkan tak menanyakan jurusan busnya. Hanya nomornya saja. Walhasil, kami harus menelepon menanyakan lagi sebelum menentukan harus menunggu di halte seberangnya atau bukan. Untung saja busnya belum datang!...

Perjalanan 15 menit naik bus melewati kota yang sepi, hijau, dan adem. Rumah-rumah dan gedung-gedung apartemen dilatari hutan yang rimbun. Dan bus melewati gedung utama Universitas Uppsala dari sisi lain yang kami foto sebelumnya!

Dari halte, kami masih harus jalan 500 m-an lagi. Suasana hutan yang adem sebenarnya menyenangkan. Tapi suami sudah mulai panik sejak menyadari bahwa hanya ada bus tiap setengah jam dan waktunya semakin mepet. Saya sarankan untuk mengundur janjiannya dari jam 4 ke jam 5. Dia mengikuti saran saya untuk mengundur. Namun hanya 30 menit...

Akhirnya kami bertemu sepupu di bawah apartemen. Sendiri saja. Anak dan istrinya tetap di rumah. Kami tukar-menukar kado. Ternyata mereka sudah menyiapkan buku untuk Butet sebelum mereka jatuh sakit...

Kami sempatkan berkeliling di sekitar gedung apartemen. Berfoto dengan istri sepupu di balkon. Masuk sedikit ke hutan melihat banyaknya blackberry liar yang bisa dipetik siapa saja...

Memang ada hutan di belakang apartemen sepupu. Kami bahkan sempat melihat dua ekor rusa. Induk dan anaknya. Tak sempat kami foto karena mereka lekas pergi. Sepertinya kami sama-sama kaget. Tidak menyangka. Menurut sepupu, biasanya rusa terlihat saat musim dingin saja. Tapi saat itu udara Uppsala seakan musim dingin di Cannes juga sih...

Tak lama kami mohon pamit. Selain tak mau mengganggu istirahat mereka yang belum sehat, kami juga harus mengejar bus yang jarang itu. Tapi kami tetap saja menyempatkan memfoto kucing yang kami lihat di perjalanan...

Kami naik bus dari halte yg lain yang lebih dekat dari halte sebelumnya. Entah kenapa tak ditunjukkan halte yang itu untuk datangnya. Mungkin memang suami dan sepupunya mengobrol seperlunya saja...

Bus datang terlambat beberapa menit. Sampai di stasiun hujan turun. Tak deras. Lekas kami mencari mesin untuk membeli tiket. Kebingungan kami tak mendapatkan tiket untuk kereta yang segera berangkat. Yang ada hanya untuk kereta sejam setelahnya!...

Akhirnya kami mendapatkan tiket tanpa jam dan tanpa nomor tempat duduk. Entah apakah itu tiket yang benar atau tidak. Yang jelas malah lebih mahal ketimbang tiket berangkat. Meski saya tetap bersyukur tak ada kontrol tiket di sepanjang berjalanan, dan tak ada penumpang lain yang mengklaim tempat duduk kami...

Kami berpisah di stasiun. Suami ke janji temunya, saya dan Butet ke mall. Butet ingin ke Muji. Jaringan asal Jepang yang hanya ada toko di Paris dan Lyon di Prancisnya. Mau beli pernak-pernik alat tulis, katanya...

Saya sendiri tak mengenal Muji. Ternyata tokonya menjual macam-macam juga. Tak hanya alat tulis, namun juga pakaian dan perlengkapan rumah...

Saat Butet membeli binder dan loose leaf, saya jadi teringat masa-masa SMA menggunakan loose leaf untuk mencatat. Lalu kemudian ternyata loose leaf-nya made in Indonesia, saya jadi berpikir jangan-jangan saya sudah menggunakan produk Muji sebelumnya? Karena memang ada banyak produk Jepang yang jamak di Indonesia, tapi tidak (belum?) populer di Eropa...

Dari Muji kami berjalan pulang. Sudah mengenal jalur, kami sempatkan mampir ke Pressbyran dan 7eleven. Tapi di keduanya kami tak menemukan O'boy, minuman coklat instan yang sempat kami beli di Ica Visby dan Butet suka...

Tapi kami sudah lelah untuk mencari Ica. Kami memilih pulang saja untuk istirahat. Malam itu, suami saya sudah memesan meja di restoran tempatnya membeli bibimbap malam sebelumnya...

Kami ke restoran agak terlambat. Suami saya baru kembali ke hotel setengah 7 lebih. Sampai saya jadi yakin bahwa tempat dipesan untuk setengah delapan. Ternyata jam 7! Untung kami tak lambat-lambat amat dan tempat kami masih dijaga...

Restoran penuh. Memang tak besar. Makananannya memang enak. Dan porsinya sebesar bibimbap take away. Bahkan rasanya lebih besar...

Saya memesan nasi goreng udang. Dari penampakan, mirip sekali dengan nasi goreng keliling yang suka kami beli malam-malam di Bandung. Rasanya pun sama!... Mungkin saking senangnya, saya sampai tak sempat mengambil fotonya...

Kenyang dan bahkan agak kesusahan menghabiskan porsi, saya tak mengambil dessert. Padahal ada ketan mangga di daftar menunya. Butet memesan mochi aisu meski tak berhasil menghabiskan ramen bebeknya, dan suami saya tetap memesan macha aisu meski berhasil membantu Butet menghabiskan porsinya...

Begitulah kami menghabiskan malam terakhir liburan di Swedia dengan makan makanan Asia!... 😄


Comments

Popular posts from this blog

Memimpikan Bandung Tanpa Macet

Televisi

Pindah or not Pindah