Mengenang Kenekatan

Seperti biasa, sejak tahun 2018, saya mengikuti tantangan menulis 30 Hari Bercerita di Instagram. Sesuai namanya, 30 hari saja selama bulan Januari. Tak ada batas minimal kata. Caption foto saja juga boleh...

Biasanya saya posting sekitar jam 3an. Sesudah Asar. Atau sambil nunggu Asar. Hari Senin ini saya posting cepat. Jam 9 pagi. Pasalnya, siang tadi saya sudah janji dengan teman...

Saya sudah menyanggupi mengantar teman saya itu ke dokter. Bukan. Bukan urgent. Dokter mata kok. Bikin janji temunya juga sudah sebulanan yang lalu! 

Ceritanya teman saya ini belum lama datang dari Indonesia. Belum pede berbahasa Prancis, katanya. Makanya dia minta ditemenin...

Pada akhirnya sih elle s'est débrouillée assez bien. Saya jadi pendukung moral aja. Plus tempat penitipan barang saat dia harus masuk ruang periksa.

Sekalian memotivasi untuk keluar rumah juga tuh. Sudah semingguan ini Prancis dingin sekali. Daerah kami tak lewat dari 10°C. Bikin malas keluar rumah. Lagipula memang nggak bisa juga karena lutut kambuh.

AlhamduliLlaah hari ini sakit di lutut sudah hilang. Padahal saya masih merasakan sakit saat salat Subuh. Memang belum bisa diluruskan sepenuhnya. Tapi saya bisa bilang bahwa keluar rumah tadi tak memperburuk keadaan...

Di dokter mata cepat saja. Kami sempatkan ngopi—coklat panas untuk saya—di sebuah brasserie di kota sambil ngobrol bertukar cerita. Lalu kami belanja di toko Asia. Teman saya mencari Indomie rebus yang ternyata sedang kosong stoknya...

Saat saya ajak mampir ke boucherie, malah dia menemukannya di sana! Saya jadi ikut lega, tak jadi merasa bersalah gantian memintanya menemani saya belanja! Hehehe...

Dalam bus di perjalanan pulang, saya jadi terpikir, ingat masa lalu di awal-awal saya tinggal di Prancis, lebih dari 20 tahun yang lalu...

Saat itu saya lekas berani keluar rumah berdua Ucok bayi yang baru berusia beberapa bulan saja. Dengan gendongan depan, saya naik bus yang hanya ada tiap dua jam sekali dari Sophia Antipolis yang waktu itu masih terpencil untuk ke Cannes. Lalu sambung bus lagi untuk ke Mougins demi check up bulanan ke dokter anak.

Pulangnya, karena tak bisa mengandalkan bus yang dua jam sekali itu, kami naik bus dulu ke Cannes, naik kereta ke Antibes, lalu lanjut naik bus ke Sophia yang jalur ini lebih sering: sejam sekali! Tak mudah juga kan!?...

Pernah suatu kali saya ketinggalan bus sepulang dari dokter. Atau pernah juga dari supermarket yang busnya sama, yang sejam sekali itu. Saya ingat melipir ke McD di belakang halte untuk beli minum sambil menyuapi si Ucok yang alhamduliLlaah sholeh, tidak rewel...

Hanya tentu, papanya yang biasa pulang makan siang panik. Anak-istrinya tak ketauan rimbanya. Taun 2001, ponsel masih belum umum di Prancis. Ketinggalan, memang. Karena di Indonesia, saya sendiri malah sudah pegang handphone!...

Kalau dipikir-pikir, rasanya tak masuk akal. Bagaimana mungkin saya nekat keluar rumah sendiri, jauh dan rumit perjalanannya, bawa bayi pula, dengan kemampuan bahasa Prancis yang minim begitu?

Tapi saya di sini. Masih di sini. Baik-baik saja. Dan Ucok juga. Mungkin dengan pengalaman itu daya juangnya justru terpatri sejak bayi?...

Uniknya, beberapa tahun kemudian kami pindah rumah ke Cannes. Rumah yang letaknya tak jauh dari halte tempat saya dulu turun bus dari Sophia dan berganti bus ke Mougins, praktis sebulan sekali. Dan itu tak langsung saya sadari. Perlu beberapa saat tinggal, untuk akhirnya mengenali...


Comments

Popular posts from this blog

Berbagai Hidangan Kambing Khas Solo

Memimpikan Bandung Tanpa Macet

Televisi