Tak Bisa Hemat Soal Makanan
Rabu malam Butet mengabarkan kalau tak mau menelepon. Kami sudah sempat ber-video call sorenya sih. Namun pada jam biasa kami ber-video call, dia mengirim pesan ke saya, menceritakan sesuatu.
Saya pun bertanya padanya, kok belum tidur? Katanya, dia sedang menyaksikan diskusi teman-temannya tentang bagaimana menekan biaya untuk makan. Saya pun membercandainya, "Kamu jadi penonton saja?"
Dia menjawab, lewat pesan tertulis tapi saya menangkap keseriusannya, "Aku sadar kalau soal makanan, aku tak bisa murah."
Dan memang demikian!
Harap dicatat bahwa tidak murah ini bukan berarti mahal. Sama sekali tak berarti makanan mewah. Yang dimaksud di sini adalah mengutamakan kualitas, meski jadi harus mengalokasikan dana lebih besar. Dalam batasan wajar, tentunya!
Misalnya soal nasi. Kami sekeluarga "tak bisa" makan selain beras Thai—Kamalis juga sih, tapi itu lebih mahal lagi. Beras long grain yang merupakan jenis populer di Prancis (ini klaim saya dengan dasar bahwa hanya beras inilah yang bisa kami temui saat awal merantau 25 tahun yang lalu) kurang cocok dengan selera kami. Tidak bisa pulen. Dan tentu saja tidak wangi!
Idealnya beras dibeli di toko Asia. Namun toko Asia tidak dekat. Dan belakangan kami malas menyetok sampai 20 kg di rumah susun kami yang dapurnya mungil. Apalagi beras Thai ini bisa ditemukan di swalayan dalam berbagai merek: merek besar, merek jaringan swalayan, dan merek ekonomis.
Merek ekonomis sudah kami coret dari daftar makanan. Belum pernah mencoba berasnya sih, sebenarnya. Tapi produk makanan lain benar-benar jauh dari standar kami. Demikian juga produk non makanan. Kami masih memakai amplop dan kertas HVS-nya kok.
Merek swalayan masih cukup sering kami gunakan. Beras Thai adalah salah satunya. Asal tak lupa mengurangi dosis air saat memasak, beras supermarket bisa diandalkan.
Terus terang favorit kami adalah beras Thai bermerek besar. Paling mahal untuk jenis beras Thai di swalayan dekat rumah kami. Masih ada merek lain yang lebih mahal yang untungnya tak tersedia di swalayan langganan itu. Eh? Hehehe. Dan ya, masih lebih murah ketimbang beras Kamalis.
Meski tak harus makan setiap hari, untuk kami nasi harus memenuhi standar kualitas selera. Atau justru karena tak harus makan setiap hari ya, jadi kami bisa menaruh standar tinggi? Heu ....
Yang jelas, Butet tak berani mencoba beras lain di rantaunya. Dia hanya membeli beras Thai dengan merek yang sama dengan yang biasa kami makan di rumah.
Agak lebih mahal, memang. Tapi toh dia kan sendirian. Di rumah, 1 kg beras bisa untuk 4 kali makan bertiga. Sekitar 12 porsi tergantung nafsu makannya. Hihihi. Banyak nggak sih itu, btw? Fyi, kami tidak makan nasi untuk sarapan.
Rasa tak bisa ditipu. Apalagi Butet. Untuk hal sesederhana gula (harus gula tebu, bukan gula bit yang biasa ada di Prancis), santan (harus santan kental Kara), atau merica (harus merica hitam Indonesia!) pun dia pilih-pilih. Untuknya, tak ada yang bisa menggantikan kecap manis dan teh hitam melati Indonesia!
Dan ini berlaku untuk berbagai macam makanan. Membuatnya "tak bisa" makan makanan jadi dari swalayan. Untungnya, anak itu tak suka ngemil!
Membaca pesan jujurnya tadi, saya pun menjawab, "Baguslah kalau kamu menyadarinya."
Dan Butet menyadari dengan tanggung jawab: tidak memaksakan membeli kalau memang belum perlu dan memanfaatkan promosi yang selalu ada, berganti-ganti setiap minggunya.
Yah, seperti yang biasa kami lakukan di rumah juga lah. Meski lagi-lagi, dengan tanggung jawab level berikutnya: jangan sampai menimbun barang karena tergoda promosi!
Uang saku Butet tidak besar. Lebih kecil dari rata-rata nasional menurut hasil riset sindikat mahasiswa Fage. Namun saya berpesan pada Butet untuk tidak terlalu mengkhawatirkan defisit di bulan pertamanya hidup sendiri ini. Namanya juga baru adaptasi kan!? Semoga tak terjadi sih ya. Tapi paling tidak, bisa menjadi pengalaman untuk mengatur dananya di bulan-bulan berikutnya. Insya Allah.
Comments
Post a Comment