Mengunjungi Mont Saint Michel
Selasa kemarin saya makan siang di rumah seorang sahabat. Kami bertiga sudah berteman cukup lama. Sudah belasan tahun. Si tuan rumah sedang berlibur di Prancis. Sudah beberapa tahun ini dia mengikuti dinas suaminya di Chad. Ya, negara di Afrika itu. Karenanya, senang sekali bisa berkumpul kembali.
Sambil makan, kami bercerita ngalor-ngidul. Saya menceritakan tentang perjalanan kami ke Rennes. Dan tentu saja, tentang Mont Saint Michel.
Kedua sahabat saya ternyata belum pernah dan sudah lama ingin ke sana. Salah satu pertanyaan pertama mereka adalah: jadi bagaimana cara kalian menyeberang? Dengan kapal kah?
Buat yang sudah berpengalaman, mungkin ini pertanyaan menggelikan. Saya sendiri pun tertawa. Bukan menertawakan mereka. Karena saya mengerti benar apa yang mendasari pertanyaan itu!
Mont Saint Michel sering kali digambarkan sebagai kota-pulau di tengah lautan. Kastil tinggi menjulang yang dikelilingi air.
![]() |
Foto: Wikipedia (Amaustan - Own work, CC BY-SA 4.0, Link) |
Saat akhirnya memutuskan ke sana, kami masih ragu akan siklus pasang-surut yang kabarnya istimewa itu. Apakah sudah jauh-jauh ke sana lalu tak bisa ke pusat kota karena air sedang pasang? Atau lebih parah lagi: sudah sampai lalu terjebak laut pasang dan tak bisa mengejar bus untuk kembali ke Rennes?
Tentu saja kami sudah mencoba mencari informasi di internet. Ada jadwal pasang-surut segala. Tapi kami tak mengerti. Atau mungkin ada penolakan bawah sadar kami karena laut diprakirakan pasang pas saat kami tiba di sana?
Karena tidak yakin itu, kami memutuskan untuk tak membeli tiket masuk ke Abbaye secara online. Kami berpikir untuk membeli di tempat saja, sambil melihat dulu suasana dan mencari informasi lebih jelas. Dan ternyata belakangan kami dapati bahwa membeli di tempat lebih murah 2 euros per orang! Lah?
Kami tetap berangkat, dengan pertimbangan bahwa kalaupun tak bisa menyeberang, pemandangan dari jauh sudah indah. Lagipula tujuan awalnya kan mau melihat Laut Atlantik tuh. Sudah tercapai, lah!
Saat tiba di lokasi wisata, kami langsung menuju pusat informasi. Tadinya sempat bingung: nanya apa ya? Kami lihat orang-orang langsung berjalan atau menaiki shuttle yang tersedia tanpa bertanya-tanya.
Kami pun mulai dengan menanyakan tentang akses ke Abbaye. Petugas menjelaskan bahwa kami bisa naik shuttle gratis yang dikenal dengan sebutan Le Passeur 15 menit, atau jalan kaki dua kali lipatnya. Hanya 2,5 km saja, memang.
Penasaran dan daripada sesat di jalan, saya menanyakan tentang air pasang. Apakah kami dijamin bakal bisa pulang hari itu dan tidak terjebak di kota-pulau?
Petugas tertawa ramah. Jangan khawatir, katanya. Jarang sekali air pasang sampai menyentuh tembok benteng kota. Mungkin hanya 1—2 kali setahun. Harap hati-hati saja kalau jalan di pantai. Jangan terlalu jauh tanpa pemandu, karena bagaimanapun juga air pasang bisa terjadi dan bisa menjebak kita. Apalagi pasir di sana merupakan pasir hanyut.
Melihat sabarnya petugas—dan tidak ada yang mengantri di belakang kami, saya melanjutkan pertanyaan dengan indeks pasang laut yang ada di website. Katanya, selama masih di bawah 100, tenang saja. Air laut hanya akan menyentuh benteng saat angka mencapai 110. Itupun tak akan sampai menyentuh jembatan penyeberangan. Hanya sekali-dua dalam setahun, air menggenangi daerah antara ujung jembatan dan gerbang masuk kota.
Mendengar penjelasannya, saya baru tenang. Baiklah. Mungkin foto yang sering terlihat di mana-mana itu saat ekstremnya. Saat saya cerita ke sahabat-sahabat saya kemarin, mereka bilang bahkan memang seperti itulah yang sering diperlihatkan di televisi: kota yang dikelilingi air!
Saya pun melanjutkan cerita sambil memperlihatkan foto-foto, tentang bagaimana kami memilih berjalan kaki menuju kota tua. Ada yang bersepeda, dan kemudian kami lihat ada tempat parkir khusus sepeda di sana. Beberapa orang memilih jalan memutar, turun menyusuri pantai.
Kendaraan bermotor pribadi tak bisa menyeberangi jembatan. Di depan gerbang kota hanya ada mobil polisi, mobil petugas, lalu ada Le Passeur dan satu bus jurusan Pontorson (di mana stasiun kereta api terdekat berada) yang bisa masuk.
Memasuki kota Mont Saint Michel tidak berbayar. Kita bisa berjalan-jalan berkeliling. Ada jalan bertangga, tapi kita bisa memilih yang banyak landainya.
Hanya masuk ke Abbaye yang berbayar. Di sini ada banyak sekali tangga. Salah satu kawan merasa kesulitan. Dan saya memahaminya. Sepertinya, untuknya memang akan sulit untuk mengunjungi Abbaye.
Kedua teman makin penasaran dengan Mont Saint Michel. Mereka berdua suka bepergian bermobil. Dan saya katakan pasti menarik sekali. Karena dengan bus pun, kami melewati kota-kota kecil yang cantik. Kota-kota yang tersebar di sana-sini, diselingi padang rumput dengan sapi-sapinya, ada pula hutan kecil yang hijau dan adem. Jalannya pun meski kecil, bagus dan tidak ramai.
Ada hotel di lingkungan wisata Mont Saint Michel. Dengan mobil, mereka bisa memilih hotel di kota tetangga. Apalagi jika dilewati bus dari Pontorson. Praktis. Tak perlu membayar tempat parkir yang kabarnya cukup mahal.
Kami sendiri masih ingin kembali ke Mont Saint Michel. Terutama Butet yang belum sempat melukis di tempat. Dia juga penasaran ingin berpetualang lebih jauh di pantai. Ingin bertemu dengan anjing laut yang katanya ada banyak di sana. Dengan pemandu, tentunya, ya!
---
Informasi lebih lanjut: Destination Mont Saint Michel
Comments
Post a Comment