Di Tanah Lada

Senang sekali menemukan satu eksemplar buku ini di iPusnas. Hanya sehari sesudah saya selesai mebaca buku Keajaiban Toko Kelontong Namiya. Ini buku ke tiga yang saya selesaikan sejak tahun baru! Wah, semangat amat yak!?...

Anak Kecil yang Pintar Berbahasa Indonesia

Menceritakan perjalanan Salva, seorang anak perempuan berumur 6 tahun yang gaya bicaranya seperti orang besar. Salva selalu menggunakan bahasa baku, dan kata-kata yang keluar dari mulutnya kadang kala tak terduga. Entah itu dari kedalaman maknanya, ataupun dari pilihan katanya sendiri...

Salva mulanya hidup bersama papa dan mamanya di sebuah rumah yang nyaman. Namun kemudian papanya memutuskan agar mereka pindah ke Rusun Nero yang kumuh dan tanpa perabotan. Kenapa? Supaya dekat dengan tempat judi, kegiatan favorit papa...

Papa orang yang kasar. Dia tak segan memukul istri dan anaknya. Sampai suatu saat Mama tak tahan dan memilih kabur dari Rusun Nero dengan membawa Salva... 

Masalahnya, di Rusun Nero, Salva sudah memiliki teman yang bernama P. Salva tak mau meninggalkan P di Rusun Nero karena papa P juga jahat. Salva ingin membawa P hidup bersamanya di rumah neneknya, di Tanah Lada...

Cerita yang Menggemaskan

Cerita bergulir dari sudut pandang Salva. Anak umur 6 tahun yang pintar bicara. Tak dijelaskan kapan dia belajar membaca. Tapi sudah pintar saja mencari kata dalam kamus yang dihadiahkan oleh kakeknya di ulang tahunnya yang ke tiga!

Saya sebut menggemaskan, menggemaskan dalam dua artian. Gemas bahasa Jawa yang artinya suka karena lucu untuk kelakuan tokoh anak-anaknya, juga gemas dalam bahasa Indonesia yang artinya jengkel untuk kelakuan tokoh dewasanya. Saya sendiri baru tahu kalau dalam bahasa Indonesia hanya ada konotasi negatifnya...

Dialog Salva dan P dikemas apik dengan nuansa kepolosan. Meski menurut saya P terlalu kekanakan untuk umurnya yang sudah 10 dan pergaulannya yang tak dalam lingkungan anak-anak...

Pembicaraan kedua anak itu sering kali dalam dan berat. Bahkan kadang menyayat hati...

Saya terkesan pada suatu adegan di mana P mengatakan bahwa dia bukan pengamen, membantah terkaan Salva. Dia suka main gitar, itu saja. Jadi dia main di mana pun dia mau. Dia senang saja saat orang-orang memberinya uang saat dia main-main itu...

Tentu saya tersenyum di bagian itu. Namun jadi trenyuh saat dilanjutkannya bahwa dari uang yang diterimanya itulah dia membayar uang kontrak kamar yang disewanya bersama papanya!

Saya kesal dengan tokoh-tokoh dewasanya yang tidak dewasa. Kurang aksi! Bagaimana mungkin seorang perempuan dewasa berdiam diri saat harus pindah dari rumah layak ke rusun kumuh hanya untuk mendekati tempat perjudian suaminya? Apa perlunya mereka pindah, sedangkan tak diceritakan bahwa mereka harus menjual rumah sebelumnya, misalnya karena harus membayar hutang akibat perjudian? Apalagi mereka baru saja mendapatkan warisan yang besar!

Setidak peduli itukah orang-orang di Jakarta? Bagaimana mungkin membiarkan anak kecil keluar dari hotel sendirian? Naik bajaj berdua saja? Membeli tiket bus antar pulau?

Dengan alur seperti itu, saya mengharapkan perjalanan mulus dan lancar sampai ke Tanah Lada, rumah nenek Salva yang hangat, seperti lada yang menghangatkan makanan kita...

Kalau Tahu Akhirnya, Saya Tak Akan Baca

Saya mengantri buku ini setelah terkesan dengan buku Jakarta Menjelang Pagi. Sejak musim panas. Sabar sekali? Nggak ada pilihan. Saya masih belum tahu bagaimana car menghapus antrian di iPusnas. Di buku itu ada tokoh anak-anak juga. Tapi tidak berakhir tragis seperti buku yang satu ini...

Biasanya, saya tak keberatan akan akhir tragis. Saya malah cenderung lebih suka cerita dengan sad ending ketimbang happy ending yang dipaksakan. Tapi tidak untuk ketragisan yang menimpa anak-anak!

Saya tak tahu apa tujuan penulis untuk membuat akhir tragis bagi anak-anak pintar itu. Kenapa tidak akhir yang terbuka saja, misalnya? 

Saya tak menyarankan buku ini untuk anak-anak dan remaja. Mungkin di atas 15 tahun lah. Atau dengan pendampingan dan dialog. Karena saya rasa, buku ini kurang cocok untuk mereka yang belum mantap karakternya...

Tapi tetap, saya suka dengan gaya penulisan Ziggy Zeszyazeoviennazabrizkie yang namanya harus saya googling dan copy-paste ini. Pantas lah, meraih berbagai penghargaan kepenulisan. Saya masih mengantri buku ketiga yang tersedia di iPusnas: Semua Ikan di Langit. Sepertinya ada anak kecil lagi. Semoga kali ini anak kecilnya baik-baik saja... 😇


Comments

Popular posts from this blog

Berbagai Hidangan Kambing Khas Solo

Memimpikan Bandung Tanpa Macet

Televisi