Mamah Gajah Rumahan

Hari Senin dan Selasa ini Butet mengikuti brevet blanc. Pra-EBTA lah, kalau jaman saya di tahun 90an dulu. Nggak tau namanya apa sekarang. Pra-UN? Yah, semacam latihan Ujian Nasional dengan soal-soal yang disusun oleh sekolah sendiri...

Tadinya, saya mau nulis tentang itu. Tentang, ya, ya, di Indonesia nggak ada UN lagi... Dan di Prancis, SMP itu nggak ada ijazahnya lho!... Tapi mungkin lain kali... Karena kemarin, tetiba saya disadarkan bahwa deadline Tantangan Blogging Mamah Gajah Ngeblog adalah jam 6 pagi! WIB, tentunya!... 

Saya tau kalau deadline mulai Januari 2022 ini bukan lagi hari terakhir setiap bulan, tapi dimajukan. Yang saya tidak sadar adalah jamnya. Karena dengan perbedaan waktu, tentu saya harus punya manajemen tersendiri...

Enfin bref! Tentu saja saya sudah mulai nge-draft. Tema Tentang Dirimu, Mamah Gajah! cukup menggelitik. Apalagi kebetulan saat-saat ini Butet sedang sibuk dengan masa-masa orientation. Bukaaan... Bukan orientasi siswa alias pemloncoan gitu. Orientation di sini adalah dalam arti penjurusan...

Lho? Bukannya Butet baru kelas 3 SMP? Emang kalau masuk SMA langsung ada penjurusan?

Tidaaak... Kelas 1 SMA di Prancis masih umum. Baru kelas 2-nya ada penjurusan. Hanya saja, tidak semua SMA memiliki jurusan yang mungkin diminati oleh siswa. Bisa sih, pindah sekolah. Tapi ya biar siswa ada gambaran juga ke depannya kalau-kalau musti pindah di kelas 2. Karena untuk pindah sekolah kan nggak bisa serta-merta juga. Beberapa sekolah sudah membuka pendaftaran sejak Desember untuk tahun ajaran yang dimulai September! Termasuk sekolah Butet yang sekarang...

Masa-masa penjurusan adalah masa yang penuh ujian. Tak cuma buat anak, yang kadang belum tau, mau ke mana ke depannya. Bahkan seringkali masih terpecah akan minatnya sendiri yang tak searah...

Masa penjurusan juga merupakan masa ujian untuk orang tuanya. Apalagi saya yang merupakan Mamah Gajah, notabene berpendidikan cukup tinggi, tapi tak bekerja. Di sinilah gelitik itu saya rasakan. Bagaimana cara memotivasi anak perempuan untuk tetap menarget tinggi di saat ibunya sendiri ternyata pada akhirnya tak berprofesi ... dan bahagia-bahagia saja? πŸ˜„

Tapi Butet sendiri tahu, mengapa saya tidak bekerja. Bukan karena dilarang suami! Banyak lho, orang di Prancis yang mengira begitu, melihat saya berjilbab. Bukan juga karena jilbab saya! Dunia IT jauh lebih terbuka. Posisi yang tidak memerlukan kontak dengan klien, tidak menghambat perempuan berjilbab bekerja di bidang ini...

Banyak orang berasumsi saya tidak bekerja berkaitan dengan pakaian saya. Bukan! Bukan karena larangan agama! Berkali-kali saya menegaskan. Istri RasuluLlaah saja bekerja kok!...

Ceritanya, saya datang ke Prancis untuk pertama kalinya dua puluh tahun yang lalu dengan visa visiteur. Visa ini kemudian bisa digunakan untuk mengajukan izin tinggal setelah sampai di Prancis...

Visa visiteur saya adalah untuk istri salariΓ©, istri pegawai. Untuk memperolehnya, disyaratkan bahwa suami saya harus mampu menghidupi saya selama di Prancis. Yang ini dibuktikan dengan kontrak kerja dan slip gaji...

Syarat ini ditegaskan lagi dengan surat pernyataan bertanda tangan bahwa suami saya akan menjamin tempat tinggal dan biaya hidup saya, plus surat pernyataan dari saya sendiri bahwa saya tidak akan bekerja!...

Larangan bekerja ini sudah gugur saat saya mendapatkan izin tinggal 10 tahun, lima tahun kemudian. Namun saya sudah tak berminat lagi mencari pekerjaan. Sudah menikmati posisi sebagai ibu rumah tangga, meski awalnya di rumah saja bukanlah cita-cita saya... 

Meski ternyata hepi-hepi saya, tetap, kalaupun bercita-cita menjadi ibu rumah tangga, saya meminta Butet untuk tidak jadi melupakan untuk membekali diri dengan pendidikan setinggi mungkin...

Logo komunitas ITB Motherhood
yang menghimpun para Mamah Gajah

Lalu, untuk apa pendidikan tinggi jika nantinya "hanya" menjadi ibu rumah tangga?

Saya tak perlu menyusun presentasi tentang mengasah otak, kemampuan analisis, atau tentang kepercayaan diri. Butet bisa melihat sendiri perbedaan antara ibu yang berpendidikan dengan ibu yang lulusan SD saja. Karena jangan salah! Ibu-ibu seperti ini banyak bertebaran di sekitar kami!...

Pendidikan, tidak hanya menghasilkan ilmu. Pendidikan juga membekali kita saya dengan pengalaman dan wawasan. Interaksi dengan pengajar, teman sebaya, kakak kelas, adik kelas, juga orang-orang di sekitar kita. Bekal yang mungkin sesederhana bagaimana cara berbicara dengan teman sekampus itu berbeda dengan cara berbicara dengan pelayan warung kecil tempat saya makan siang. Yang kasusnya di sini tak sekampus dengan saya, tentunya!... 😜

Semakin jauh pendidikan, semakin banyak yang kita pelajari. Semakin banyak pengalaman dan wawasan yang bisa kita dapatkan. Dan saya yakin, meski mungkin tak diterapkan dalam suatu profesi, semua ilmu pasti bermanfaat! Menjemur baju pun bisa dioptimisasi algoritmanya!

Tinggal di negara maju yang secara garis besar masyarakatnya punya apriori bahwa pendatang itu miskin dan kurang terpelajar, membuat saya belajar untuk justru lebih rendah hati. Cara bicara dan cara pandang orang seringkali mencerminkan tingkat sosial dan pendidikan mereka sendiri. Dan Butet melihat juga itu! Bagaimana di luar orang berbicara kepada kami dengan gayanya masing-masing, sesuai dengan wawasan mereka sendiri...

Sesama ibu rumah tangga pengantar-jemput anak sekolah, ibunya tidak sama dengan kebanyakan lainnya. Ibunya bisa mendampinginya belajar dan mengerjakan PR. Ibunya bisa membantunya saat dia tak memahami pertanyaan dalam tugasnya. Sampai kelas 3 SMP sekalipun! Terutama bahasa Inggris dan matematika. Kalau bahasa Prancis sih ya maaf, nyerah saja... Tapi sssttt... 🀫😁

Tak semua orang tua berhasil mendorong anaknya belajar lebih giat untuk menaikkan nilainya. Saya tekankan ini pada anak perempuan saya itu. Juga pada abangnya...

Bayangkan saja. Kalau orang tua tak berpendidikan tinggi, apakah anak akan menurut dengan mudahnya, saat disuruh sekolah tinggi? Kalau nilai-nilai sekolah orang tuanya tidak bagus, apakah anak akan respek saat disuruh meningkatkan nilai? 

Jadi, pendidikan tinggi orang tua sebagai alat menekan anak? Ya nggak gitu juga sih... πŸ˜‚

Saya dan suami, yang juga Papah Gajah, tetap melihat potensi dan keterbatasan mereka. Kami mendorong anak-anak untuk berusaha semaksimal mereka. Tidak perlu memaksa mendapatkan nilai sempurna di bidang-bidang yang mereka lemah di sana...


Gerbang masuk ITB
(screenshot dari Google Maps)


Saya dan suami juga tidak menuntut anak-anak memasuki perguruan tinggi terbaik bangsa ternama. Perbedaan sistem pendidikan dan sistem seleksi perguruan tinggi di Prancis tidak mendukung untuk itu. Belum lagi soal minat anak-anak sendiri...

Yang kami lakukan adalah membuka kesempatan mereka sebesar-besarnya. Tak hanya soal dukungan dana (semampu kami, tentunya!), namun terlebih wawasan yang seluas-luasnya. Karena kadang-kadang, kita tidak memilih sesuatu karena kita tak tahu bahwa pilihan itu ada!

Tak semua orang punya pilihan. Ada yang tak bisa kuliah karena terhambat biaya. Ada yang memaksa kuliah demi ijazah sebagai syarat bekerja. Ada yang bekerja karena harus mencari nafkah. Ada pula yang tak bekerja karena tak ada kesempatan. Karenanya, saya bersyukur masih punya pilihan. Dan berharap anak-anak akan menemukan pilihan yang menyenangkan juga...

Saya yakin bahwa 4++ tahun pembekalan di Kampus Gajah memengaruhi cara pandang saya saat ini. Cara pandang Mamah Gajah. Dengan plus ataupun minusnya. Mamah Gajah rumahan! πŸ˜‡

Tulisan ini meraih badge "Paling Relatable" πŸ₯³

Comments

Popular posts from this blog

Berbagai Hidangan Kambing Khas Solo

Memimpikan Bandung Tanpa Macet

Televisi