Dilema Alas Kaki

Sejak Kamis kemarin, saya sudah mencoba mulai keluar rumah lagi. Kebetulan suami ada meeting pagi-pagi, saya manfaatkan keluar mengantar Butet ke halte. Sambil mencari alas kaki yang tepat. Alas kaki saat jari kaki beperban memang suatu masalah tersendiri...

Saat periksa ke dokter, saya mengenakan sandal jepit. Merek Swallow. Ya! Swallow dari Indonesia. Produk fashion yang saya beli di Alfamart dekat rumah mertua untuk diri sendiri. Selain dua kemeja Nevada --yang bonus gratis satu-nya untuk si Butet... 

Bu dokter mengingatkan untuk berhati-hati. Karena sandal jepit riskan tersangkut. Bahaya kalau sampai terinjak orang. Tidak cuma bagian belakang, tapi lebih-lebih bagian jari yang retak. Atau kena roda troli saat berbelanja. Mendengarnya, saya jadi nyeri juga...

Bu dokter menyarankan untuk mencari alas kaki yang terbuka, tapi ada pengamannya. Heu... bagaimana mendeskripsikannya ya!?... Sepatu-sandal lah! Lebih aman dan mantap melindungi kaki dari sandal saja, tapi jari tetap leluasa...

Kebetulan satu-satunya sepatu-sandal saya ketinggalan di Solo saat harus mendadak kembali lagi ke Bandung bulan lalu. Tapi toh itu juga sudah ngepas tanpa perban. Jadi sepertinya tak akan cocok dengan kondisi kaki saya saat ini... 

Saya pun mencari sepatu yang dulu saya beli daring dengan ukuran standar saya, tapi tak pernah dipakai karena ternyata kebesaran. Saran alternatif bu dokter adalah mengenakan sepatu apa saja, yang penting aman dan tak menekan jari beperban. Yang nyaman lah...

Kemarin saya pakai sepatu itu. Terasa pas dengan tambahan perban. Saat diam, rasanya hanya sedikit menekan. Saat mulai jalan, tekanan makin menjadi. Jalan 100 meter dari rumah ke halte saja, sakitnya membuat meringis juga...

Sorenya saya coba sepatu lain. Sepatu kets milik Butet yang sama persis modelnya dengan milik saya. Ukurannya pun sama. Saya longgarkan talinya. Saya kenakan, sepertinya nyaman juga...

Kalau model dan ukuran sama, kenapa tak mengenakan sepatu saya sendiri? Karena sepatu saya sudah diatur dengan sol spesial untuk masalah lutut. Tidak mudah untuk mendapatkan posisi tali sepatu yang sudah terasa cocok itu. Saya tak mau mengubahnya hanya untuk 1-2 minggu...

Namun kemudian saat saya pakai jalan ke halte tadi pagi, tekanan ke jari kelingking tetap saja mengganggu. Jelas saya tak bisa jalan jauh. Dan saya tak mau juga memaksakan dan menyebabkan penyembuhan kaki saya jadi berlarut-larut...

Yang tadinya cukup optimis bisa mengantarkan Butet kursus piano, saya jadi urung. Padahal saya sudah sempat mencari jadwal bus malam untuk pulang. Karena bus reguler sudah selesai beroperasi mulai jam 8 malam. Kalau harus jalan kaki seperti yang biasa kami lakukan, jelas tak mungkin dengan pengalaman jalan ke halte dekat rumah itu... 

Kalaupun naik bus, masih ada jalan kaki. Tapi hanya 200 meter saja di tempat kursusnya. Tadinya saya pikir yah, lumayan lah, daripada jalan kaki 850 meter, kan!? Saya masih belum percaya diri untuk menyetir. Takut malah membahayakan orang lain...

AlhamduliLlaah suami bisa mengantar Butet lagi. Kali ini dia lebih siap dengan krisis remaja anaknya yang malas keluar rumah. Apalagi kalau dengan usaha. Karena biasanya tinggal duduk manis di mobil saja!...

Saat di rumah sendirian, saya berpikir untuk membeli sandal baru. Tapi rasanya repot juga, karena saya tak bisa keluar rumah. Pilihannya adalah membeli daring. Sedangkan ukuran alas kaki sangat bervariasi dari merek ke merek. Bahkan merek yang sama dengan model yang berbeda...

Sempat mencari-cari di berbagai toko online. Karena saya memikirkan bagaimana Selasa nanti saya harus berjalan kaki ke tempat kursus bahasa Jepang yang berjarak 1 km itu. Kebetulan sedang ada French Days saat ini. Diskonan entah dalam rangka apa. Tapi akhirnya urung. Tidak yakin soal ukuran, dan apakah benar-benar bisa nyaman untuk jari saya...

Sepertinya saya mau naik bus saja ke sana untuk sementara. Kebetulan ada halte pas di depan tempat kursusnya. Memang hanya 2 halte saja. Jarak yang biasanya saya jalani saja sambil menggerakkan badan. Yah, untuk sementara. Lagipula mungkin saya masih harus jalan kaki untuk pulangnya. Karena saat saya keluar kursus belum tentu bertepatan dengan jadwal bus yang lewat di sana...


Comments

Popular posts from this blog

Memimpikan Bandung Tanpa Macet

Televisi

Pindah or not Pindah