Teman Mendengarkan

Waktu saya menulis tentang hobi mendengarkan, saya mendapatkan banyak komentar dari sana-sini yang menyatakan hebat, keren, dan sebagainya --aheu--. Susah lho, mendengarkan, begitu katanya. Saya tanggapi dengan ah, biasa aja lah. Dan itu sepenuh hati. Karena saya rasa mendengarkan itu normal-normal saja...

Sampai saat kemarin saya mendapatkan banyak cobaan...

Saya banyak mengulang cerita yang sama ke kanan-kiri. Kadang saya sampai bertanya-tanya pada diri sendiri, ragu apakah saya belum bercerita pada orang itu. Mungkin tak secara langsung. Tapi bisa jadi saya sudah menceritakanya secara tertulis. Entah itu saat bertukar pesan pribadi, atau mungkin di sebuah grup yang sama-sama kami ikuti. Saya tak mau membuat orang bosan juga...

Kebanyakan menyimak cerita saya dengan sabar. Menunjukkan kepeduliannya dengan mendengarkan sampai saya selesai berbicara. Memberi komentar ala kadarnya untuk menaikkan moral saya. Tapi tidak untuk beberapa orang...

Ada yang memotong menceritakan keribetan persiapan perjalanan mereka liburan. Ada yang memotong menceritakan ketidaksempatan belanja selama liburan. Ada yang memotong dengan menceritakan kondisi ayah mertua mereka sendiri. Bahkan ada yang langsung memotong dengan cerita keluarganya terkena Covid saat saya baru memulai menceritakan keribetan kami saat si Ucok ketauan terkena virus itu, padahal yang terjadi padanya sudah lama dan saya sudah mengetahui ceritanya dari orang itu sendiri!... 

Terus terang saya tidak menyangka mendapatkan reaksi demikian dari mereka. Baru saya mengeluhkan 1-2 kalimat, mereka sudah "menanggapi" panjang lebar. Akhirnya, bukan saya yang cerita. Tapi justru mereka yang mengisahkan isi hati mereka. Padahal mereka sendiri yang mulanya menanyakan kabar...

Mereka adalah orang-orang yang saya anggap masuk dalam lingkaran pertemanan saya. Mereka termasuk orang-orang yang boleh dibilang banyak saya dengarkan. Mereka yang sering datang, menelepon, atau menulis pesan panjang-lebar minta masukan. Mereka yang suka bilang kenapa hanya aku yang cerita dan kamu tidak? Dari kejadian kemari itu, sudah jelas lah jawabannya...

Seperti komentar-komentar yang saya dapatkan dari tulisan saya, mendengarkan ternyata memang perlu skill tersendiri. Tidak semua orang bisa mendengarkan...

Saat merasa sedih begitu, Allah langsung mengingatkan bahwa bahwa selama ini saya dikelilingi oleh cukup banyak orang yang juga suka mendengarkan...

Kemarin, seorang teman dikirim-Nya untuk menelepon. Saya hanya sempat berkabar dengan pesan-pesan pendek dengannya sejak keberangkatan saya liburan. Panjang. Sampai 1 jam 44 menit! Detil sekali? Kebetulan saya ingat melihat pewaktuan saat kami mengakhiri pembicaraan...

Dia bercerita, saya mendengarkan. Saat saya cerita, dia gantian mendengarkan. Masing-masing ada gilirannya...

Pagi tadi, saya dipertemukan-Nya kembali dengan seorang teman. Kami duduk di sebuah boulangerie. Dia pesan capuccino, saya pesan coklat panas. Kami tak makan apa-apa. Sudah lewat waktu sarapan dan tak lama lagi waktunya makan siang...

Kali tadi, saya cerita duluan. Dan teman saya dengan sabar mendengarkan kisah perjalanan sepanjang 4 tahun kami tak bertemu. Lalu kemudian dia gantian cerita. Sama panjangnya. Rencana ngobrol maksimal 2 jam molor jadi hampir 3 jam!...

Teman pertama adalah teman Indonesia pertama saya di Prancis. Meski jarang bertemu secara langsung, komunikasi selalu terjaga. Teman ke dua adalah teman asli Prancis pertama saya. Meski sudah 4 tahun hanya saling mengirim pesan selamat ulang tahun, ternyata saat bertemu kami tidak kehilangan keakraban sama sekali...

Tak salah kalau selain menyandang predikat teman pertama, mereka adalah teman terdekat saya di perantauan ini. Pasti salah satu duanya dari mereka juga lah saya banyak belajar mendengarkan...



Comments

Popular posts from this blog

Memimpikan Bandung Tanpa Macet

Televisi

Pindah or not Pindah