Retak Tulang

"Bonjour, madame. Comment-allez vous?" sapa Bu Dokter ramah.

"Euh, comment dire..." Saya bingung menjawabnya. Tapi tak perlu.

"Encore le genou?" potong Bu Dokter melihat bagaimana saya terpincang memasuki ruang periksa.

Ha! Akhirnya Bu Dokter ingat siapa saya. Sudah belasan tahun menjadi medecin traitant (dokter perawat, yang jadi referensi), beliau belum juga hafal siapa saya. Beberapa kali masih memanggil monsieur --gubraks dah!--. Tapi tahun ini memang sudah entah berapa kali saya konsultasi untuk masalah lutut kiri.

"Ouh la! Kenapa itu?" lanjutnya saat melihat kaki kiri saya. Saya jadi geli sekaligus ngeri, kok sampai dokter kagum dengan lebam di kaki saya. Memang segitunya kah?

Ya, akhirnya saya ke dokter! Setelah diyakinkan seorang teman, sambil berbincang di telepon dengannya, saya mengecek platform janji temu daring.

Kalau saya tak membuat janji temu, selain karena memang malas sekali ke dokter, juga karena kemarin saya lihat tak ada satu pun slot kosong untuk hari ini. Saya pikir ya sudah lah. Lihat saja dulu perkembangannya dan mungkin bikin janji untuk Selasa. Ya! Menunda lagi!

Untung ada teman saya itu yang menegur. Mengingatkan, bahwa mungkin hari ini tak apa, bisa sebuh begitu saja, tapi hati-hati dengan efeknya kelak. Jangan sok kuat. Ambil waktu untuk mengurus diri. Bla bla bla, gna gna gna. Katanya, secara saya nggak berani ngeluh sama ibu karena takut membuatnya khawatir, maka dia yang sok-sokan cerewet jadi ibu saya! Padahal ibu saya ... memang cerewet sih!... Hihihihi...

Kok ya pas, ada slot kosong pukul 14.30. Waktu yang tepat sesudah selesai makan siang. Satu jam sesudah azan Zuhur. Ada waktu santai untuk jalan terpincang 500 meter menuju tempat praktek dokter.

Untung saja! Karena memang benar saya tak bisa jalan seperti biasa. Kalau cuma mondar-mandir ruang tamu ke dapur, saya masih bisa jalan cukup tegak. Tapi sesudah 100 meter keluar rumah, rasa nyeri masih mendera. Saya memperlambat langkah. Membiarkan orang-orang yang tadinya jauh di belakang mendahului saya. 

Saya kenakan masker sebelum memasuki gedung. Sampai di depan pintu masuk praktek, saya lihat ditempelkan pengumuman kewajiban mengenakan masker. Wajar, meskipun di luar masker sudah tak diwajibkan. Namanya juga tempatnya orang sakit. Apalagi ada indikasi kenaikan kasus positif Covid 19 di daerah kami. 

Ternyata di dalam ada satu orang yang mengantri yang tidak mengenakan masker. Untuk dokter lain. Bukan dokter saya. Kemudian ada satu orang lagi masuk yang lagi-lagi tak mengenakan masker. Untuk dokter lain juga. Ya sudahlah.

Saya sendiri tak begitu memperhatikan apakah pasien sebelum saya mengenakan masker. Yang jelas, dokter saya mengenakannya. Dan sebelum pandemi, dia tak biasa mengenakan masker.

Bu Dokter memastikan bahwa saya tersandung, dan bukan kejatuhan barang. Meyakinkan bahwa biru lebam di kaki saya tidak menyakitkan. Mendiagnosis bahwa tulang kelingking kaki kiri saya retak, melihat ada bengkak tapi tak ada deformasi.

Karena saya merasa bahwa rasa sakit berkurang, dokter tidak mengharuskan saya untuk rontgent. Beliau tetap meresepkan kalau sekira rasa sakit bertambah lagi. Karena retak di kelingking tidak perlu digips juga. Hanya saja beliau mengkhawatirkan wilayah lebamnya yang cukup besar juga.

Beliau mengajari saya membebat jari kelingking dengan jari manis. Mencegah gerak kelingking agar tulangnya lekas kembali terkonsolidasi, juga untuk mengurangi beban tumpuan ke jari kelingking.

Perban ini tidak boleh basah. Harus diganti setiap hari. Dan saya harus bersabar selama 2 sampai 3 minggu, waktu standar untuk tulang yang retak kembali menyatu.

Dua sampai tiga minggu. Sejak mulai tersandung. Karena kejadiannya tepat Rabu yang lalu, berarti tinggal 1-2 minggu lagi kan ya!?

Yah, sabar dulu. Tak boleh banyak jalan-jalan dulu. Termasuk mengantar Butet ke halte untuk berangkat sekolah. Mumpung minggu ini ada papanya yang bekerja di rumah. Biar gantian. Jarang-jarang juga.

Semoga tak perlu sampai rontgent. Semoga sudah bisa sembuh setelah cukup 2 minggu saja. Atau malah kurang dari itu. Karena terpikir kursus pianonya Butet tiap Jumat malam. Lalu kursus bahasa Jepang saya yang akan dimulai Selasa depan. 

Ah, sudah lah... Pikirkan lagi nanti saja...


Comments

Popular posts from this blog

Memimpikan Bandung Tanpa Macet

Televisi

Pindah or not Pindah